Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02-2 | Audiya: Posesif Berwajah Proteksi

······✤······

Cerita dari Audiya Putri Pranita:

Posesif Berwajah Proteksi

······✤······

Rabu, 8 November 2017

"Habis ini temenin gue, yuk, Ge," tuturku kepada Gesha selagi kami makan seblak di kantin belakang kampus. "Gue mau cari Kak Wafda, mau ngundurin diri dari kepanitiaan Dies Natalis."

Sontak Gesha mendelikkan matanya. Ekspresi heran tergambar dengan begitu gamblang di sekujur wajahnya. "Kok? Kenapa mengundurkan diri?" tanyanya tidak santai. "Lo keberatan tugasnya karena udah jadi panitia buat acara English Town? Ada yang bisa gue bantu, nggak, supaya lo nggak keberatan?"

Aku terkekeh mendengar tawaran Gesha. Seandainya bukan karena Kael pun, aku sebenarnya tidak keberatan sama sekali dengan tugas yang dibebankan. "Nggak, Ge. Nggak apa-apa. Gue mengundurkan diri aja. Masih semester satu, gue takutnya malah lebih tergiur sama organisasi ketimbang kuliah."

Dengan polos, Gesha mengangguk-angguk. "Iya juga, sih," katanya. "Ya udah, nanti gue temenin."

Tidakkurespons lebih lanjut omongan Gesha. Selebihnya, kami hanya sibuk makan,seraya aku menyempatkan sedikit-sedikit waktu untuk mengirimkan pesan kepadaKak Wafda untuk mengonfirmasi kalau aku akan menemuinya setelah aku makandengan Gesha.

Itu adalah pesan terbaru dari Kak Wafda yang tidak kurespons. Lima belas menit kemudian Gesha dan aku selesai makan. Kami segera beranjak dari kantin, menuju ke gedung Ahmad Yani di area depan kampus.

Begitu keluar dari lift di lantai delapan, aku langsung bisa menemukan Kak Wafda sedang berkumpul dengan beberapa temannya, dengan masing-masing laptop mereka di pangkuan. Ketika aku dan Gesha datang, semua pasang mata memandang ke arah kami.

Sial. Ada Kael yang tengah duduk di dalam lingkaran yang sama. Akan tetapi dia diam. Atau mungkin, sebab Kak Wafda langsung bicara padaku, "Di sana aja ngobrolnya, Di. Takut ganggu temen-temen gue lagi pada nugas."

Dengan patuh aku mengangguk. Aku pun mengikuti langkah Kak Wafda menjauhi kerumunan teman-temannya. Kael sudah memalingkan pandangannya. Sudah kembali sibuk dengan laptopnya.

Kuutarakan alasan yang sudah sedemikian rupa kurancang untuk mengundurkan diri dari kepanitiaan Dies Natalis. Pertama kubilang kalau aku sudah tergabung pada kepanitiaan acara English Town, lalu kubilang lagi bahwa rumahku cukup jauh jaraknya dari kampus, lalu kubilang lagi bahwa Ayah dan Bunda memintaku untuk fokus terlebih dulu pada perkuliahan ketimbang organisasi.

"Yah, sayang banget. Padahal ada sertifikatnya loh, Di. Dan ini juga acara besar. Banyak yang minat bahkan jadi panitia," bujuk Kak Wafda. Aku diam, sedang memutar pikiran untuk memberikan jawaban. Sementara berpikir keras, mataku menangkap Kael yang sesekali menoleh ke arah kami dengan tatapan tajam. Buyar semua rancangan alasan yang sudah kubangun matang-matang semalam. "Tapi, ya udah nggak apa-apa, Di. Mungkin next time. Gue bisa kontak lo, kan, kalau sewaktu-waktu nanti gue butuh?"

Aku mengangguk ragu-ragu. Aku sangat mempersilakan Kak Wafda membutuhkanku untuk urusan organisasi, tapi kelihatannya, Kael tidak demikian. Laki-laki itu masih menatap ke arah kami sesekali.

"Oke deh kalau begitu," tutur Kak Wafda. Laki-laki itu kemudian beranjak dari kursinya. "Gue balik nugas deh, ya."

Sekali lagi aku mengangguk. Gesha dan aku segera pamit, dan aku secepat mungkin menarik Gesha untuk segera pergi dari koridor menyeramkan ini. Aku sudah punya prasangka buruk atas apa yang sedang ada di dalam pikiran Kael saat ini.

"Buru-buru banget, sih, Di?" ujarGesha begitu kami masuk ke lift. Aku hanya tersenyum tipis. Lalu ponselkubergetar. Aku tahu ini siapa.

Nah, kan.

"Ge, gue langsung pulang aja deh," ujarku tiba-tiba. Gesha terdiam sesaat sambil kami terus melangkah. "Lo balik ke kosan aja, gue pulang."

Rencananya aku memang akan ke kosan Gesha untuk bersama-sama mengerjakan tugas di sana seraya aku menunggu waktu rapat English Club jam lima sore nanti. Akan tetapi takdir nyatanya berkata lain. Kalau sudah Kael menentukan pilihan, aku tidak bisa merevisinya bagaimana pun caranya.

"Nggak jadi rapat? Terus lo pulang sendiri?" tanya Gesha.

Aku mengangguk, "Iya, pulang sendiri."

Selanjutnya, Gesha tidak lagi bertanya-tanya. Gadis itu segera pamit dan jalan duluan, sementara aku berbalik ke gedung Ahmad Yani yang belum jauh kami tinggalkan. Gesha belum tahu aku memiliki seorang pacar. Kupikir memang waktunya belum tepat untuk menceritakannya. Atau mungkin, aku tidak akan menceritakan apapun tentang Kael kepada Gesha.

Lima menit aku menunggu, akhirnya Kael datang. Ia tidak menyapaku, melainkan terus saja berjalan di depan mataku. Aku mengikuti langkahnya sampai kami tiba di mobilnya.

Jumat, 17 November 2017

Tanggal empat Desember semakin dekat, yang mana artinya pembukaan untuk acara English Town pun semakin di depan mata. Hari-hariku baik-baik saja setelah aku mengundurkan diri dari kepanitiaan Dies Natalis. Kael baik-baik saja. Semua baik-baik saja setelah seminggu berlalu sejak aku mengundurkan diri.

Sekarang fokusku adalah English Town. Aku tergabung dalam kepanitiaan divisi acara. Bisa bayangkan betapa hebohnya divisi acara yang mengurusi hampir segalanya di dalam sebuah event. Urusan rundown, tema acara, siapa saja pengisi acaranya, dan segala-galanya yang tidak mungkin kusebutkan semua.

Di samping itu, aku ditunjuk untuk menjadi Master of Ceremony. Aku belum membayangkan betapa aku akan pusing dengan naskah MC yang akan diberikan. Aku harus menghafalkan rundown, berbasa-basi kepada orang-orang, mengajak ngobrol narasumber. Selama lima hari.

"Di!" teriakan Kak Jenna, seorang senior sekaligus kordinator divisi acara di English Club, membuyarkan lamunanku. Perempuan dengan rambut pirang itu berjalan mendekat kepadaku yang tengah duduk di pojok basecamp English Club. "Ngelamun aja lo. Nih, rundown udah keluar. Yang ini udah di-acc sama Pak Firman."

Tangan Kak Jenna terulur memberikan beberapa lembar kertas yang dijepit klip. Aku segera menerimanya dan lantas membacanya. Ada lima halaman, masing-masing halaman memuat rundown untuk satu hari acara.

Aku membacanya dengan saksama, satu per satu. Namun tiba-tiba ponselku berdering. Nada dering yang kuatur khusus untuk kontak Kael terdengar begitu keras di tiap sudut ruangan. Segera aku menerima teleponnya dan menyapa, "Halo, kenapa?"

"Kamu udah makan belum? Aku habis beli ayam bakar sama seblak, nih. Sini, aku ke depan gedung UKM," balas Kael.

"Oh." Aku hanya bergumam sambil melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul satu, dan aku memang belum makan siang. Kedatangan Kael tepat sekali. Aku pun pemit dari ruang English Club, dan dapat dengan mudah menemukan mobil Kael yang berhenti tidak jauh dari pintu masuk gedung UKM.

Lantas aku membuka pintu mobil bagian depan, dan menyapa Kael, "Hei, udah lama, by?"

Dibarengi dengan senyum ramah tercetak di wajahnya, Kael menggeleng. "Baru aja. Pas nelepon kamu itu aku baru jalan dari kantin," katanya. "Urusan English Town gimana? Masih banyak yang harus dikerjain?"

Aku mengangguk sambil mengerucutkan bibirku. "Semakin mepet semakin hectic. Tapi untungnya aku nggak begitu hectic, sih. Tugas utama aku sekarang ya cuma pelajarin acara dan isinya aja, sama rundown. Aku bakal jadi MC nantinya."

Mendengar penjelasan begitu, Kael hanya mengangguk-angguk. "Semangat, By," tuturnya sambil mengusap puncak kepalaku. Senyumku lantas terbit. Aksi singkat Kael menyalurkan jutaan sel semangat, persis seperti Kael yang biasanya. "Nanti aku datang, ya, pas lagi free."

Aku mengangguk mantap. Senang sekali mendengar Kael bicara begitu. Aku senang Kael mendukungku. Aku pun mengacungkan ibu jariku padanya. Kemudian kami mulai menyantap makan siang yang Kael beli.

Minggu, 3 Desember 2017

"Di sini aja nih." Kak Jenna berujar pada Kak Reni dan aku yang tengah membawa masing-masing satu kardus berisikan bahan-bahan dekorasi. "Ini untuk di depan panggung kan? Jadi disimpan di sini aja dulu. Nanti kita minta anak laki aja yang pasang."

Kak Reni mengangguk mengiakan pertanyaan tersebut, kemudian kami pun meletakkan kardus tersebut di tempat yang Kak Jenna arahkan. Selanjutnya, Kak Reni kembali melangkahkan kakinya menuju gedung UKM, sementara aku pamit sejenak untuk menjawab telepon. Ya, Kael menelepon.

"Kamu masih di kampus, By?" pertanyaan Kael tidak berbasa-basi. Ia langsung bertanya begitu. "Nggak nginap, kan?"

Aku diam sebentar, hanya bergumam. Sebenarnya aku seharusnya menginap untuk persiapan acara besok, tapi sepertinya pertanyaan Kael adallah pertanda bahwa aku akan dilarang untuk menginap setelah ini.

"Hm ... aku jaga-jaga bawa baju sih, By. Tadinya nggak niat nginap, tapi udah jam sepuluh begini mana ada angkutan umum?" aku membalas. Maaf, Kael. Padahal seharusnya aku bilang kalau aku memang sudah niat menginap.

"Oh, gitu. Udah makan malam?" tanyanya lagi.

"Udah sih, tadi. Bareng-bareng."

"Aku ke kampus, ya. Kamu mau dibawain makan apa?" balas Kael. Aku tidak tahu sekarang harus senang atau merasa terancam. Terancam mengingkari janjiku untuk menginap bersama anggota English Club yang lain, tentunya. "By?"

"Eh? Iya?" hanya begitu responsku.

"Aku boleh ke kampus, nggak?" tanya Kael.

Sebenarnya tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan begini. Pertanyaan Kael benar-benar menjebak. Aku pun menjawab, "Iya, Sayang. Boleh."

Dan, dengan aku bilang begitu, satujam setelahnya Kael benar-benar datang, dan aku akhirnya tidak jadi menginap.Lebih tepatnya, aku tidak berani menjawab tidak ketika Kael bilang, "Mau aku antar pulang atau tetap nginap?"

··✤··

······✤······

to be continued

······✤······

··✤··

··

·

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro