02-1 | Audiya: Mahasiswa Baru, Lingkungan Baru, Perkara Baru
······✤······
Cerita dari Audiya Putri Pranita:
Mahasiswa Baru, Lingkungan Baru, Perkara Baru
······✤······
Kamis, 2 November 2017
Kurang lebih dua bulan aku udah menyabet status sebagai mahasiswa di Universitas Budi Dharma. Sedari awal, aku sering sekali ditawarkan teman-temanku masuk organisasi ini, organisasi itu, ikut kegiatan ini, ikut kegiatan itu, bergabung dengan ini, dengan itu, dan segalanya. Iya, aku memang tergila-gila dengan organisasi, dan itulah kenapa mereka memberiku berbagai macam tawaran, baik dari yang memang aku minati, sampai yang paling tidak kusangka aku akan ditawari.
Seperti sore ini, contohnya. Aku sedang duduk bersebelahan dengan seorang kakak tingkat dua tahun di atasku. Namanya Frieska, seorang Wakil Ketua BEM Universitas (setahuku) yang kebetulan berada di satu jurusan yang sama denganku, Sastra Inggris.
Segala rayuan ia luncurkan dari bibirnya, guna merekrutku ke dalam kepanitiaan acara Dies Natalis yang akan dirayakan secara besar-besaran bulan Februari mendatang.
"Ka, Ka. Maksa banget lo. Lagian, kenapa nggak cari anak angkatan 15 aja sih?" ujar seorang laki-laki yang sejak tadi mengekori Kak Frieska entah dari mana saja. Sesaat, perhatianku teralihkan pada laki-laki tersebut. Aku tahu dia. Ketua BEM Universitas yang sewaktu PKKMB pernah pidato di depan ribuan mahasiswa baru. Tapi aku lupa siapa namanya. Aku melihatnya hampir setiap hari di kampus. Rambut gondrongnya begitu khas.
Eh, kenapa aku jadi memerhatikan dia, sih?
"Serius nih, lo nggak minat, Di?" tanya Kak Frieska sekali lagi. "Tapi kalau tiba-tiba lo minat, boleh banget chat gue atau Wafda, ya."
"Dih, kok gue?" sungut laki-laki itu. Oh namanya Wafda. Aku hanya mengangguk-angguk menanggapi Kak Frieska. Detik selanjutnya mereka berdua berdebat kecil. "Gue emangnya panitia apaan, Ka? Lo tau?"
"Lo anak HPD, kan?" tanya Kak Frieska. "Audi niatnya gue ajak masuk buat gabung sama HPD, jadi anak publikasi."
Kak Wafda mengangguk-angguk. "Eh, bener, tuh. Kita kekurangan anak publikasi. Kerjaannya cuma upload konten di Instagram, tau. Paling sama bikin caption gitu. Asyik banget. Gue sebenernya mau, tuh, dapat kerjaan kayak gitu. Cuma cewek jahanam ini nggak ngasih aja," terangnya panjang lebar.
"Enak aja lo nyebut gue jahanam. Lo tuh laki-laki jahanam!" sahut Kak Frieska. Iya, sekarang mereka ribut di depan mataku. "Gue nggak mau lo pegang Instagram karena apa coba? Typing lo tuh jelek! Nggak tau cara pakai tanda baca dengan tepat, spelling nggak bener. Ih, lo dulu tuh selalu bolos pelajaran Bahasa Indonesia!"
Kak Wafda tahu-tahu menyikiut Kak Frieska sambil tertawa. "Yeh, elo tuh, sok tau! Lo sama gue aja nggak pernah satu sekolah!"
Tahu bagaimana perasaanku sekarang? Bingung setengah mampus. Mereka harus kupisahkan atau nggak, ya? Tapi melihat mereka ribut, aku hanya mampu tertawa-tawa kecil. Kemudian, detik itu juga tiba-tiba aku membulatkan keputusan: "Kak, boleh, deh, gabung."
Senin, 6 November 2017
Setelah aku mengiakan bergabung dengan kepanitiaan acara Dies Natalis kampus, aku lantas bergabung dengan grup HPD yang mana di dalamnya ada Kak Wafda. Hanya Kak Wafda yang berasal dari jurusan yang sama denganku, dan hanya akulah yang berstatus sebagai mahasiswa baru. Sisanya? Mahasiswa seangkatan dengan Kak Wafda, atau lebih muda setahun.
Benar seperti yang Kak Wafda sebutkan, tugas yang dibebankan kepadaku asyik-asyik saja. Aku hanya tinggal menunggu tim desain mengirimkan konten yang perlu kuunggah ke Instagram, dan, tada, dalam lima menit pekerjaanku akan beres!
"Kamu mainan HP terus, chat sama siapa, sih, By?" berbarengan dengan pertanyaan tersebut dilontarkan, Kael, pacarku, merebut ponsel yang tengah kugenggam. Kael langsung melihat layar yang menampilkan chatroom grup HPD. Wajah seriusnya tampak semakin serius. Alisnya bertaut. "HPD Dies Natalis? Kamu kok gabung kepanitiaan Dies Natalis, By? Bukannya English club juga mau ngadain acara bulan depan?"
Aku diam. Suaranya lumayan kencang, bahkan sukses menyita perhatian satu dua orang yang tengah menempati wi-fi corner kampus. "Ya ... iya. Nggak apa-apa kok. Dies Natalis masih Februari, English Town Desember besok. Masih ada jeda dua bulan dari acara English Town ke Dies Natalis, By."
"Tapi tetap aja persiapan untuk Dies Natalis juga berat. Kamu ini baru semester satu. Masih mahasiswa baru. Harusnya masih antusias kuliah, bukannya malah sibuk-sibuk sama organisasi begini!" Kael merespons dengan nada bicara semakin tinggi. Aku semakin takut untuk terus membalas ucapannya. "Siapa yang ngajak kamu masuk kepanitiaan Dies Natalis? Kamu kenal anak BEM Univ dari mana?"
"Aku yang mau sendiri, By—"
"Nggak, By." Lekas Kael menginterupsi ucapanku. "Kamu mahasiswa baru. Belum ada satu semester, nggak mungkin kamu kenal anak BEM Univ dan kamu tiba-tiba minta masuk begitu aja ke kepanitiaan."
Jujur sekarang aku bingung setengah mati. Tidak mungkin aku menyebutkan nama Kak Frieska dan Kak Wafda. Bisa-bisa mereka habis di tangan Kael. Alhasil kuputuskan untuk tetap diam selama Kael mencari tahu sendiri dari ponselku.
Sedikit-sedikit aku mengintip. Kael melihat isi chat WhatsApp di ponselku, mengecek kontak yang kusimpan, melihat semua chat dari nomor asing yang tidak kusimpan, dan terakhir melihat grup HPD. Mati saja aku sekarang. Kael pasti menemukannya.
Jantungku berdebar tak keruan kini.
Jari Kael berhenti menelusuri ketika ponselku sudah menampilkan bagian teratas grup HPD. Tepat seperti yang Kael butuhkan. Setelah membaca nama orang yang menambahkanku ke grup, laki-laki di hadapanku ini memandangku. Begitu tajam.
"Kamu kenal Wafda dari mana?" tanya Kael. Aku tak bersuara, hanya menggelengkan kepalaku pelan. "Ini Wafda Ketua BEM, kan? Dia temen sekelas aku. Kok kamu bisa kenal?"
Aku benar-benar membeku sekarang. Tidak ada jawaban yang kuberikan untuk Kael. Aku geming dan menunduk, sibuk memainkan jari-jariku yang saling bertautan satu sama lain.
"Look into my eyes, Audi," titah Kael. Aku tetap tidak memberikan respons apapun. Tidak juga menuruti perintahnya. Dan selanjutnya, aku hanya terkejut. Sebab Kael dengan cepat mencengkeram pipiku, mengangkat pandanganku untuk balik menatap matanya yang penuh amarah. "Aku tanya, kamu kenal Wafda dari mana?"
Kael benar-benar membuat orang-orang tidak nyaman. Satu per satu orang beranjak meninggalkan wi-fi corner, dan kini tersisa kami berdua yang masih belum menuntaskan perkara sepele ini. Sepele memang. Aku hanya perlu menyebutkan dari mana aku pertama kali bertemu dengan Kak Wafda, tapi perkara lainnya adalah aku tahu, Kael tidak akan tinggal diam. Bisa-bisa Kak Wafda—yang bahkan tidak tahu kalau aku adalah pacar Kael—jadi kena masalah setelah ini.
"Aku nggak diajak sama Kak Wafda, By," akuku pada akhirnya.
"Siapa? Frieska yang wakilnya Wafda itu?"
Mampus. Aku langsung mengutuk diriku sendiri dalam hati. Seharusnya aku memang tidak memberikan jawaban apapun.
"Kalau kamu nggak jawab, aku bisa cari tau sendiri," ujar Kael sambil melepaskan cengkeramannya. Laki-laki itu lantas menyakukan ponselku ke dalam celananya, kemudian beranjak dari kursi yang tengah kami tempati berdua. "Kamu mau pulang sendiri atau aku antar pulang?" tanyanya lagi. Begitu dingin.
Aku tidak memberikan jawaban apapun. Hanya kuikuti langkahnya menuju ke parkiran mobil. Perjalanan pulang kami pun begitu hening. Tidak ada satu pun dari kami yang memulakan percakapan, dan aku tahu ponselku akan disita oleh Kael malam ini. Entah hanya malam ini, entah sampai Kael menemukan siapa orang yang membuatku tergabung ke kepanitiaan Dies Natalis.
Setelah empat puluh menit perjalanan, mobil Kael berhenti di depan pagar rumahku. Aku menoleh ke sebelah kiri, melihat pagar megah yang tertutup rapat itu, lalu kualihkan pandanganku ke Kael setelahnya. "May I get my phone back, Kael?" tanyaku dengan hati-hati. "Masih banyak urusan English club yang harus aku bicarain sama Kak Jenna."
"Sure," jawab Kael. "HP kamu bakalan balik, setelah aku tau siapa anak BEM Univ yang ngajak mahasiswa baru kayak kamu buat gabung sama kepanitiaan acara Dies Natalis."
Aku menghela napas berulang-ulang, menetralkan detak jantungku. "Kamu cuma perlu tau, kan? Nggak akan macem-macem?" tanyaku lagi. Aku benar-benar takut, mengingat tadi Kael bilang kalau Kak Wafda adalah teman sekelasnya. Tapi Kael mengedikkan bahu merespons pertanyaanku. "By, please."
"Kenapa, sih? Kenapa kamu harus melindungi orang itu?" Kael bertanya balik. Aku diam. "Kamu ada apa sama orang ini?"
Mati. Kenapa jadi diputarbalikkan kembali dan aku yang salah begini?!
"You are trying to cheat on me, Audiya?" pertanyaan tersebut kemudian meluncur dari mulut Kael. Kenapa prasangkanya jadi lebih jauh dan tidak masuk akal begini, sih.
"Nggak," balasku. "Aku cuma takut kamu marah setelah tau siapa yang bikin aku terlibat sama kepanitiaan Dies Natalis."
Seringai Kael tampak di wajah putihnya itu. "Udah tau, kan?" tanyanya. Aku tetap geming. "Tau, kan, apa solusinya supaya aku nggak marah?"
Aku tidak menjawab. Detik selanjutnya, Kael mengeluarkan ponselku dan melemparkannya ke pangkuanku. "Mundur sebelum kamu bikin aku dan Wafda berantem," titahnya. "Aku tau Wafda yang ngajak kamu masuk. I know what you think I don't know."
Tidak ada respons apapun dari mulutku selain anggukan pelan untuknya. Iya, aku akan mengundurkan diri dari kepanitiaan Dies Natalis. Aku tahu seharusnya aku lebih rela kehilangan name tag panitia ketimbang kehilangan Kael.
··✤··
······✤······
✤ to be continued ✤
······✤······
··✤··
··
·
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro