01-3 | Figo: Selamat Lulus, Selamat Menempuh Hidup Baru, Nala
······✤······
Cerita dari Figo Adhi Djuarsa:
Selamat Lulus, Selamat Menempuh Hidup Baru, Nala
······✤······
Senin, 22 April 2019
Seminggu berlalu. Gue nggak tahu gimana kelanjutan kabar soal Nando dan Nala. Gue nggak pernah mempertanyakannya karena takut ganggu pikiran Nala yang lagi giat-giatnya nyusun skripsi. Gue memilih untuk tahan diri gue. Dan untuk sementara, gue menceritakan ini ke Rakha. Jujur gue takut diledekin karena memperkarakan hal begini. Tapi gue kan juga punya hati. Laki-laki juga punya hati. Bisa cemburu kalau pacarnya akrab sama laki-laki lain.
"Lo sempat lihat isi DM sama WhatsApp-nya, Go?" tanya Rakha setelah gue menceritakan si laki-laki yang menelepon Nala, dan yang mengirim pesan minta follow back itu. Gue diam sejenak. Kenapa Rakha baru bilang sekarang, sih. Harusnya gue lihat aja WhatsApp-nya minggu lalu. "Harusnya lo buka sekalian. Mumpung dikasih HP-nya, kan."
"Gue sempat lihat DM-nya sih, Kha," balas gue. Rakha diam, seperti menunggu kelanjutan cerita gue. "Banyak DM dari cowok. Semuanya di-mute, tapi. Cuma gue dan temen-temen kampusnya yang nggak di-mute."
Rakha mengangguk-angguk. "Hati-hati lo. Saran gue, kalau emang lo udah dapat bukti kalau dia ini selingkuh, mending cut aja langsung. Sumpah, percaya sama gue, yang bisa jadi tukang selingkuh itu bukan cuma laki."
Meski dalam hati tidak sepenuhnya percaya pada ucapan Rakha, gue tetap mengangguk untuk menghormati opininya. Mata gue dibutakan. Menurut gue, nggak mungkin ada perempuan yang tega menyelingkuhi laki-laki. Karena di mana-mana, pasti laki-laki yang berbohong dan selingkuh di belakang ceweknya.
Selasa, 4 Juni 2019
Gue sukses tutup telinga dari omongan Rakha beberapa bulan silam, dan inilah hasilnya. Gue dan Nala baik-baik aja. Nggak ada masalah apapun. Gue percaya Nala nggak selingkuh, karena:
1) Nala selalu mau angkat telepon gue kapan pun dan di manapun, yang gue simpulkan ini berarti nggak ada laki-laki lain yang mengganggu perjalanan hubungan kita.
2) Nala nggak pernah nolak untuk ketemuan meskipun kadang gue ajak sangat mendadak. Bahkan, kalau gue tiba-tiba datang ke rumahnya pun, dia selalu ada di rumah.
Sampai hari ini, semua baik-baik aja. Gue nggak pernah protes tentang apa yang sudah gue lihat sebelum-sebelumnya. Soal Nala masih main Tinder? Nah itu akan gue bahas hari ini dengannya. Kebetulan kami sekarang lagi nongkrong di kafe. Semulanya gue sibuk dengan tugas gue sendiri, dan Nala sibuk dengan skripsi kesayangannya itu.
Dua jam sudah kami habiskan diam-diaman. Sekarang waktunya gue meminta Nala menyisihkan waktunya untuk gue sebentar. "La, boleh nggak aku bicara sebentar? Jangan sambil kerjain apapun," tanya gue dengan hati-hati.
Secepat mungkin Nala mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Gadis itu mengangguk. "Boleh," katanya semakin meyakinkan.
"Kamu ... masih main Tinder?" gue kembali mengajukan pertanyaan tanpa berbasa-basi. Gadis di depan mata gue itu diam sesaat. Kami bersitatap tanpa bicara. Empat detik. Lalu Nala tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Kenapa? Even setelah kita udah jadian setengah tahun, kamu masih main aplikasi cari jodoh begitu?"
"Ya ... nggak cari jodoh juga, sih. Aku cuma cari temen. Emangnya kenapa?" balas Nala. "Lagian, kita juga ketemu dari Tinder. Apa salahnya aku cari temen dari Tinder?"
Kedua mata gue menyipit. Harusnya nggak begitu jawaban yang masuk akal. "Lah, kita kenal dari Tinder terus kita sampai jadian, La. Kamu kenalan sama cowok lain sampai move WhatsApp dan Instagram, mau jadian juga sama mereka?"
Nada bicara gue meninggi. Gue nggak tahan rasanya. Ini jadi pertengkaran pertama gue bersama Nala yang langsung meledak hebat. Setelah pertengkaran ini, berhari-hari gue dan Nala nggak komunikasi, nggak ketemuan di kampus, bahkan gue, pada saat itu, berpikir untuk putus aja dari Nala.
Minggu, 9 Juni 2019
Pintu depan rumah gue berulang-ulang diketuk. Mengganggu waktu main PS gue di ruang tengah. Ck, kenapa sih, Mama harus ketuk pintu dulu kalau mau masuk? Padahal Mama dan Papa bawa kunci rumah sewaktu pergi tadi pagi.
"Kenapa nggak buka pakai kunci aja si—" dan, ucapan gue terhenti begitu gue memutar kenop pintu dan mendapati bukan Mama yang datang. Melainkan Nala. Iya, Nala yang entah masih pacar gue atau nggak ini. Lebih kagetnya lagi, dia langsung memeluk gue. Erat banget seperti lagu balonku yang dinyanyiin anak-anak di taman kanak-kanak.
"Go, maaf," tuturnya dengan nada bicara begitu bersalah. Dia hampir menangis, bahkan. "Maaf, Go. Aku seharusnya nggak kayak gitu, Go."
Gue diam, bahkan nggak balas pelukannya meski Nala memeluk gue semakin erat. Detik selanjutnya, Nala mulai betul-betul menangis. Seperti perempuan yang baru saja putus cinta saat lagi saying-sayangnya. Mendengar dia nangis untuk pertama kalinya, gue luluh begitu aja. Gue balas dekapan Nala, bahkan gue mengelus kepalanya yang berlabuh di dada gue.
"It's okay," bisik gue lembut. "Jangan nangis lagi, Nala."
Hanya itu yang bisa gue ucapin ke Nala. Tapi kelihatannya Nala membaik. Isak tangisnya sedikit demi sedikit mereda selama gue mengusap-ngusap kepalanya. Nala kemudian melepaskan dekapannya, membuat gue kini melihat wajahnya yang basah karena air mata.
Kedua tangan gue bergerak menangkup pipinya. Gue menyeka air mata yang membasahi wajahnya. Kemudian kami sama-sama diam, saling tatap satu sama lain tanpa suara.
Selanjutnya, entah setan datang dari mana, gue memejamkan mata, mendekatkan wajah gue ke wajah Nala. Gadis di depan gue ini ikut tutup mata. Tanpa izin satu sama lain, bibir kami bertemu. Nala nggak berontak, yang selanjutnya gue artikan kalau dia nggak keberatan.
Senin, 29 Juli 2019
Meski awalnya sempat canggung karena gue tiba-tiba cium Nala beberapa bulan lalu, tapi pada akhirnya semua kembali normal. Gue nggak pernah lagi mempermasalahkan perkara Tinder dan cowok-cowok itu. Gue biarkan Nala tenang dengan skripsinya. Dan sesuai rencana juga, dia bakal wisuda semester depan. Sekarang kesibukan Nala adalah mempersiapkan pendaftaran wisuda dengan segala macam tetek bengeknya.
Sementara, gue mempersiapkan hal lain selain mulai menyicil pendahuluan skripsi gue. Mulai dari siang ini gue sudah memantapkan keputusan: "Kha, temenin gue lihat-lihat cincin tunangan, yuk!"
Tepat seperti dugaan gue, Rakha yang lagi menikmati sepiring nasi rames itu langsung terbatuk-batuk dan sibuk mencari air. "Mau ngpain lo, anjir?" tanyanya. Kayak kaget banget. Segala nanya, lagi. Ya jelas gue mau ngelamar Nala, lah!
"Ngajak Nala tunangan. Mumpung doi udah lulus, dan gue sebentar lagi lulus. Nggak ada salahnya, kali," balas gue dengan begitu tenang. Gue bahkan masih bisa menikmati bakso tanpa tersedak seperti si Rakha yang cupu ini. "Ya, hitung-hitung surprise lah, Kha, di hari kelulusannya."
Rakha geleng-geleng sambil ketawa. Ih, ngeremehin gue, ya.
Rabu, 18 September 2019
Acara selesai lima belas menit lalu, dan sekarang gue masih menyaksikan Nala yang asyik banget foto-foto bareng teman-teman sejurusannya. Sementara gue masih berdiri di dinding ruang serbaguna ini, menyaksikan senyum merekah semua wisudawan tersebut.
"Figo, nggak mau foto sama Nala?!" tanya salah seorang perempuan dengan setengah berteriak. Gue ingat namanya Asti, teman dekat Nala selama kuliah. Gue beberapa kali ketemu dia kalau jemput Nala di gedung jurusannya. Mereka juga sering latihan bareng sampai malam.
Senyum gue mengembang sambil melangkah mendekat kepada mereka. "Boleh, fotoin ya," kata gue sambil menyakukan tangan kanan gue ke celana bahan yang gue kenakan. Gue lantas ambil posisi berdiri di sebelah Nala. Kami foto benar-benar kaku.
Masalahnya apa? Gue deg-degan! Gue masih mikirin gimana caranya, dan kapan gue harus keluarin ini cincin yang akhirnya gue beli minggu lalu bersama Rakha. Duh, mana nggak ada Rakha di sini. Gue harus melancarkan aksi sendirian.
"Ya elah, kaku banget kayak kanebo kering!" ujar Asti. "Orang tuh, digandeng, kek, dirangkul kek, apa kek."
Gue diam sejenak. Nala hanya terkekeh sambil menoleh ke arah gue sekilas. Gue punya ide, dan setelah ini gua akan berterima kasih banyak kepada Asti. Tangan kanan gue yang dari tadi di dalam saku celana, kini gue keluarkan, bersamaan dengan kotak cincin yang gue sakukan. Gue lantas merangkul Nala, dan membuka kotak tersebut di depan wajahnya.
Nala kembali menoleh ke gue. Dia diam. "Eh, apaan, nih?" tanyanya. Sedetik setelahnya, dia langsung melepaskan rangkulan gue.
Senyum gue mengembang. Tanpa berpikir panjang, gue lantas berlutut di depan Nala. Semua orang melihat ke arah gue. Sumpah. Ini memang mendadak banget, sih, dan gue juga nggak kasih tahu apapun ke teman-teman Nala.
"La, selamat wisuda. Selamat datang di dunia yang luas, yang kita nggak tau bakal berbahaya atau menyenangkan. Maka dari itu, kasih aku izin buat selamanya jagain kamu, La. Dengan ini, aku mau mengikat kamu di dalam satu komitmen seumur hidup," tutur gue. Entah kenapa bisa lancar bak jalan tol di tengah malam.
Nala mematung. Dia kayaknya mau nangis, deh. Tapi, pada akhirnya Nala mengangguk. Gue pun langsung menyematkan cincin di tangan gue ke jari manis kirinya. Gue lantas berdiri, bersamaan dengan Nala memeluk gue.
Perjalanan kita mungkin baru dimulai di sini.
··✤··
······✤······
✤ to be continued ✤
······✤······
··✤··
··
·
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro