01-2 | Figo: Jadian, dan Percik Api Pertama
······✤······
Cerita dari Figo Adhi Djuarsa:
Jadian, dan Percik Api Pertama
······✤······
Sabtu, 1 Desember 2018
Kurang lebih dua bulan gue dan Nala dekat. Perjalanan gue kelihatan lancar-lancar aja. Rumah kami ternyata nggak terlalu jauh jaraknya, dan gue bahkan jadi sering makan siang bareng sama Nala. Maaf ya, Rakha, gue jadi nggak makan sama lo lagi. Gue juga mulai sering jalan bareng, entah itu cuma makan ke restoran sepulang kuliah, nonton, main ke Timezone, atau sekadar nemenin Nala shopping ke Grand Indonesia, mal favoritnya.
Hari ini, Nala lagi-lagi ngajak gue ke Grand Indonesia. Gue turutin. Sekarang bahkan gue sudah memarkir mobil sedan yang gue kendarai di depan pagar rumahnya. Kata Nala tunggu sebentar, dia mau pakai sepatu dan pamit ke orang tuanya dulu. Jadilah gue diam di dalam mobil, sesekali ngaca pada spion dalam mobil.
Nggak lama, gue bisa lihat Nala membuka pintu pagarnya dan jalan menuju ke pintu kiri mobil. Gadis berambut panjang sepunggung itu tersenyum ke gue sambil nyapa, "Hei. Sori ya, agak lama. Aku tadi pengin pakai sepatu biru dongker biar berwarna, tapi ternyata dicuci. Jadi harus nyari sepatu lain dulu."
Gue mengangguk-angguk. "Iya, nggak apa-apa. Aku juga santai kok," balas gue. "Jadi, GI lagi, nih?"
Nala mengangguk mantap. Gue lantas menancap gas dengan kecepatan rendah meninggalkan kawasan rumah Nala. Di sepanjang jalan, kami banyak bercakap-cakap. Kadang-kadang kami membahas soal hal-hal yang ada di kampus, kadang kami membicarakan kendaraan-kendaraan yang berjumpa di sepanjang jalan.
Tiba di Grand Indonesia, kami mulai menyusuri tiap-tiap toko sepatu dari lantai bawah. Yes, Nala lagi cari sepatu untuk kuliah, katanya. Padahal gue bahkan sudah bingung kenapa sepatu dia selalu gonta-ganti warna setiap hari. Tapi, tetap aja sekarang dia mau beli sepatu baru. Cewek tuh kenapa, sih?
"Eh, sebentar deh, bajunya lucu banget ya, Go!" ujar Nala sambil menarik tangan gue memasuki toko pakaian di depan mata kami. Matanya berbinar-binar melihat baju model sabrina dengan motif floral berwarna krem yang dikenakan maneken di depan toko.
Gue menganguk. "Iya, lucu. Apalagi kalau kamu yang pakai," balas gue sambil tersenyum. Detik selanjutnya, Nala mencari ukuran dari baju yang dilihatnya tersebut dan berakhir membelinya. Lah, katanya mau beli sepatu, ya?
Berjam-jam kami keliling Grand Indonesia, beli ini-itu, makan siang, keluar masuk toko baju, toko sepatu, sampai toko barang-barang lucu yang gue pun nggak tahu kegunaan mereka untuk apa.
Dan, di tengah kesibukan Nala melihat miniatur-miniatur yang membuatnya heboh itu, gue memutuskan untuk bicara. "La," panggil gue.
Tapi Nala nggak menggubris. Gadis itu justru membulat matanya gara-gara lihat miniatur sepasang kucing yang kalau disatukan, ekor mereka membentuk symbol hati. "Ih, lucu, ya, Go!" ujarnya sambil mengambil dua miniatur yang berpasangan itu. Gue mengangguk. "Kenapa tadi, Go?"
Oh, ternyata dia dengar gue manggil.
Waktunya gue yang deg-degan parah. Gue balik menatap Nala. Perlahan, gue menghela napas, mengumpulkan rasa percaya diri yang jauh lebih banyak lagi, untuk selanjutnya gue bilang, "Aku suka sama kamu, La. Jadian, yuk?"
Nala diam. Nggak seperti orang kaget, tapi cuma diam. Cewek dengan rambut digerai itu tersenyum tipis. Dia meletakkan miniatur kucing yang ada di tangannya. "Kamu serius, Go?" justru pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
Gue mengangguk. Gue serius. Gue yakin. "Aku serius, La. Kalau aku nggak serius, nggak mungkin aku mau nemenin kamu ke mana-mana, kan?"
Senyum Nala kembali mengembang di wajahnya. Dia mengangguk. "Aku mau, Go," katanya. Singkat. Cukup jelas. Gue resmi jadian dengan Nala.
Senin, 3 Desember 2018
Nggak ada satu menit sekali ponsel gue bergetar. Nala selalu sigap untuk segera membalas pesan gue, dan kami jadi berbalas pesan tanpa jeda di tengah kelas yang sedang berlangsung. Ya, gue tahu, dosen Psikologi Pendidikan gue, Bu Asri, sedang asyik-asyiknya menerangkan materi. Tapi maaf, Bu, saya juga lagi asyik-asyiknya jatuh cinta sama pacar baru saya.
"Pepet terus bosss!" ujar Rakha di tengah kesibukan gue mengetik pesan balasan buat Nala. Gue diam, hanya menyikut Rakha agar menyingkir. "Gimana kemarin? Katanya lo jalan ke GI lagi sama dia?"
Gue kali ini mengalah buat menyingkirkan Nala sejenak. Gue merespons Rakha. Gue ceritakan apa aja yang terjadi selama gue dan Nala jalan ke Grand Indonesia dua hari lalu. Nggak ada habisnya Rakha nggak percaya kalau gue sudah jadian.
Ah, dasar teman tidak suportif.
Rabu, 10 April 2019
Hubungan gue berjalan sangat mulus. Gue nggak pernah berantem, gue nggak pernah debat, gue nggak pernah segala-galanya yang negatif. Pokoknya, sampai hari ini pukul dua belas siang, semuanya aman.
Hari ini, Nala dan gue pulang lebih awal. Gue cuma ada kuliah sampai jam satu siang, dan Nala nggak ada dosen di mata kuliah selanjutnya—pukul tiga. Alhasil kita memutuskan buat segera meninggalkan kampus dan menghabiskan beberapa jam bersama sebelum waktunya pulang.
Nala memilih untuk makan di Mal Kelapa Gading, yang searah dengan jalan pulang kami ke Sunter. Gue menurutinya, dan kami berakhir makan Pepper Lunch di foodcourt-nya di lantai atas, kemudian kami juga singgah ke Starbucks selagi masih ada waktu.
Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari membahas soal Nala yang sudah setengah jalan mengerjakan skripsinya, tentang teman-temannya yang sudah lulus dan belum, sampai membahas tentang dosen yang tak kunjung membuatnya lulus mata kuliah padahal sudah mengulang dua kali.
Gue hanya menyimak. Semuanya pun damai-damai saja. Sampai sekiranya setengah jam setelah Nala asyik bercerita, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar panjang. Refleks gue turut menoleh ke layarnya yang menyala, dan Nala secepat kilat meraih ponselnya dan menutup-nutupi layarnya dari gue. Gue nggak sempat melihat namanya, tapi gue sempat lihat foto orang yang menelepon Nala. Seorang laki-laki.
"Siapa, Sayang?" tanya gue dengan tenang. Nala diam nggak menjawab. Dia cuma bergumam sambil sibuk memainkan ponselnya. Kayak sedang ngetik pesan ke orang. Mungkin ke laki-laki tadi. Dan gue putuskan untuk menebak dengan baik-baik, "Temen?"
"Hm?" balas Nala seperti habis kehilangan kesadaran. "Oh, itu. I ... iya, temen. Temen kampus. Dia mau minta video koreografi tari yang minggu kemarin di-share sama dosenku, ternyata."
Gue mengangguk-angguk. Seolah gue percaya. Padahal, tiga jam setelah ini, gue akhirnya berpikir, kenapa harus tergesa-gesa kalau yang menelepon cuma temannya?
Minggu, 14 April 2019
Gue perhatikan, sejak Rabu lalu Nala nggak pernah lepaskan ponselnya dari genggaman. Posesif abis. Bahkan ke toilet pun, ponselnya dibawa, dan perginya lama. Ya seperti sekarang ini contohnya. Sudah hampir setengah jam gue duduk di Starbucks Grand Indonesia, ditinggal sendirian menikmati Vanilla Latte yang gue pesan. Sementara Nala? Katanya ke toilet.
Apa dia nyasar?
Nggak. Nala nggak mungkin nyasar di rumah ketiganya ini. Dia hampir setiap minggu ke sini, jadi pasti sudah tahu tiap-tiap sudut di Grand Indonesia, atau bahkan, sudah tahu nama cleaning service yang kerja di sini.
Genap empat puluh menit setelah Nala angkat kaki dari meja kami, dia kembali. "Maaf lama ya, Sayang. Antre panjang," katanya sambil pasang wajah bersalah gitu. Gue hanya tersenyum mengiakan, tidak memperdebatkan apapun.
Detik-detik selanjutnya, percakapan kami kembali mengalir. Tapi gue nggak bisa bohong. Pikiran gue betul-betul nggak tenang. Sial. Kenapa gue mendadak jadi curigaan begini, sih? Seumur-umur gue gonta-ganti pacar sejak SMP, gue nggak pernah sama sekali curiga kalau pacar gue selingkuh atau apa.
"Kenapa?" tanya Nala di tengah keheningan meja kami. Gue hanya menggeleng dan tersenyum. "Kamu bete karena aku kelamaan ya ke toilet?"
Gue menggeleng. "Nggak, La. Nggak apa-apa kok," balas gue. Sial, gue nggak jago akting, nih. Pasti Nala tahu gue bohong. Setelahnya, Nala hanya mengangguk-angguk, kemudian dia membuka laptopnya di atas meja. Hari ini Nala mau nyicil lanjutin skripsinya, katanya. Sementara gue hanya bakal sibuk nemenin dia karena gue, jujur gue belum mulai apapun. Gue nggak tahu, deh, bakal terlambat sampai kapan kuliahnya. Jalanin aja, pokoknya.
Di tengah-tengah kesibukan kami masing-masing, gue punya ide. "Sayang," panggil gue. "Aku boleh pinjam HP kamu, nggak?"
"Buat apa?"
"Buka Instagram aja. Sinyal aku jelek."
Sumpah demi Tuhan, gue rasa itu adalah alasan paling aneh yang gue buat. Tapi beruntunglah gue, karena Nala kelihatannya terlalu fokus sama layar laptopnya, sehingga dia langsung menyodorkan ponselnya ke gue.
Gue betulan buka Instagram, akun gue pula. Pada awalnya. Sampai bermenit-menit kemudian, gue melihat ada notifikasi yang masuk ke direct message akun Instagram Nala. Gue nggak tahu ini siapa. Penasaran, gue buka pesannya karena memang belum di-accept oleh Nala. Jadi nggak akan ketahuan kalau gue baca.
Gue. Mati. Kutu.
After all this time, Nala masih main Tinder?
··✤··
······✤······
✤ to be continued ✤
······✤······
··✤··
··
·
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro