Bab 29. Seharian dengan keluarga calon suami
Sesuai dengan kesepakatan, aku update lagi.
Selamat baca ya guys...
Semoga banyak yang komen...
-----------------------------------------------
Menggunakan mobil BMW I8 miliknya yang berwarna putih, Hira langsung menjemput Humairah ke rumah besar, selayaknya sangkar emas, tempat tinggal gadis itu berada. Dijaga oleh beberapa TNI berseragam, terlihat sekali pemilik rumah ini bukan lah orang sembarangan. Banyak sekali mobil yang berplat warna hijau berjejer rapi di depan rumah besar itu. Dengan logo bintang, serta seri angka yang menunjukkan kesatuannya, membuat adiknya Hira mengangak lebar melihat sebanyak ini mobil TNI dalam sebuah rumah.
"Mas, iki mobilnya mbak Ara semuanya?" tanya Haris, adik laki-laki Hira berusia 14 tahun.
Begitu kagum melihat mobil besar dan gagah itu terpakir dengan rapi, ada perasaan senang dalam diri Haris karena bisa melihat semua ini secara langsung. Mungkin saat dia kembali ke kampung lagi, Haris akan menceritakan semua pengalaman yang ia dapatkan selama di Jakarta.
"Bukan. Mobil pasukan bapaknya mbak Ara."
"Owh, kirain mobilnya mbak Ara semua."
Sengaja turun dari mobil disaat ia melihat Humairah keluar bersama pak Dede, Hira mencoba untuk tersenyum. Dia yakin Humairah sudah sangat berusaha memilih pakaian yang cukup nyaman, dan terlihat sopan dimata kedua orangtuanya. Karena terbukti dengan jelas saat ini, walau masih memakai celana jeans hitam pendek, namun untuk baju yang Humairah pilih sangat tertutup. Tak lupa gadis itu menambahkan bucket hat berwarna hitam, yang membuatnya terlihat sangat trendy namun tetap santai.
"Hai," sapa Hira terdengar malu-malu. Malu karena tampilan calon istrinya sangat cantik, walau tanpa make up berlebihan sedikitpun.
"Hi."
"Titip non Ara ya, Mas. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya. GPS di ponselnya non Ara tetap aktif sih, Mas. Saya akan standby kapanpun dibutuhkan."
"Iya, Pak. Baik. Kami pergi dulu ya, Pak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Bye pak Dede," lambai jemari lentik Humairah ke arah ajudannya itu.
Sama-sama melangkah menuju mobil Hira, Humaira tidak sedikitpun sadar bila ternyata semua keluarga Hira ikut berjalan-jalan dengannya seharian ini. Gadis itu pikir hanya ibunya Hira saja yang akan pergi bersamanya. Nyatanya tidak.
Ketika Hira membukakan pintu depan, Humairah sangat kaget melihat ada kedua orangtua Hira beserta adiknya duduk di kursi belakang. Padahal mobil sport ini hanya bisa dipakai maksimal 4 orang saja, namun siang ini terasa sesak karena dipaksakan untuk dipakai 5 orang.
Yah, walau badan Haris cukup kurus dan muat untuk duduk di tengah-tengah kedua orangtuanya, tetap saja Humairah merasa sedih melihat keadaan terpaksa ini.
"Siang, Bu, Pak."
"Assalamu'alaikum, Ara. Kita ketemu lagi ya, Nak."
"Iya, Bu."
Tersenyum ramah, Humairah masuk dan mencoba duduk dengan tenang dalam mobil ini. Ketika Hira sudah duduk di kursinya, dan siap untuk mengemudi, refleks Humairah menggenggam erat lengan Hira, memberikan kode melalui lirikan matanya untuk berbicara sesuatu.
"Kenapa?" tanya Hira bingung. "Ada yang ketinggalan."
"Ah, enggak jadi," ucapnya mengurungkan niat untuk mengajak Hira menggunakan salah satu mobil milik ayahnya saja.
"Serius?"
"Iya."
Karena yakin tidak ada yang tertinggal, Hira mulai mengemudikan mobilnya keluar dari komplek perumahan mewah ini menuju mall besar dimana ia akan menurunkan keluarga serta Humairah di sana, sebelum Hira bergerak menuju lapangan untuk latihan.
"Mbak Ara," panggil Haris pelan, demi memecah kesunyian dalam mobil ini.
"Iya," sahut Humairah ramah.
"Mbak Ara enggak punya adek ya di rumah?"
"Ah? Adek?" sahut Humairah bingung.
Dia melirik semua orang di dalam mobil ini, termasuk Hira, yang malah terlihat asik mengemudi tanpa mau ikut campur percakapan yang lain.
"Iya, adek kayak aku gini. Kan mas Hira punya aku sebagai adiknya. Mbak Ara punya enggak?"
"Hehhee, enggak. Kenapa emangnya?"
"Bagus lah. Berarti Haris jadi adeknya mbak Ara ya mulai sekarang. Hehehe, Haris suka banget lihat mobil gede-gede kayak tadi di rumahnya mbak Ara. Nanti kapan-kapan, Haris mau ah lihat bagian dalam mobil itu kayak apa. Mbak Ara mau tunjukin, kan?"
Tanpa ragu, kepala Humairah spontan mengangguk. Rasanya 19 tahun dia hidup, dan selama itu juga dia menjadi anak dari seorang TNI, bahkan sekarang ayahnya sudah menjadi jenderal TNI, Humairah tidak pernah sekalipun penasaran seperti apa bentuk dalam mobil-mobil besar itu. Tetapi kalau dibandingkan dengan Haris, adiknya Hira, anak kecil itu baru sekali melihat sudah begitu penasaran dan ingin melihat dari jarak terdekat.
Humairah tahu, cara orang bahagia berbeda-beda. Tapi dari kejadian ini saja bisa Humairah simpulkan, yang terlihat tak berarti dimata orang lain, terkhusus dimatanya, ternyata begitu hebat dan juga indah dimata Haris.
"Bener mbak Ara?"
"Iya. Nanti kalau kamu ke rumahku lagi, aku minta pak Dede buat ajak kamu jalan-jalan. Enggak cuma lihat isi mobil kayak gitu doang. Tapi bentuk mobil tank, kamu tahu? Nanti pak Dede kasih unjuk."
"Serius?"
"Iya. Serius."
"Janji ya, Mbak."
"Iya, janji."
"Wah, bu, pak, denger enggak. Mbak Ara mau ajak Haris buat lihat mobil-mobil gede itu. Pokoknya mas Hira wajib anterin Haris ke rumah mbak Ara lagi."
"Iya. Nanti kalau mas sama mbakmu ini udah nikah," jawab Hira memberikan pemahaman kondisi bila sebelum akad mengikat, kemungkinan besar Hira untuk mampir ke rumahnya Humairah amat sangat tidak mungkin. Kecuali ada tujuan seperti sekarang ini.
"Mbak, tolong nikah sama masku ini ya."
"Ah?"
***
Setelah di drop pada lobi mall, Humairah langsung menggandeng lengan ibu Wati untuk berjalan masuk ke dalam mall ini. Terlihat jauh lebih sehat dan fit dari waktu itu, langkah kaki ibu Wati cukup ringan mengikuti langkah Humairah dan Haris yang berjalan di dekatnya.
Sedangkan suaminya, memilih satu langkah di belakang, mengikuti orang-orang yang disayang menikmati perjalanan hari ini. Ramainya suasana mall siang ini, tidak menyurutkan langkah mereka. Karena kedatangan mereka ke mall ini, bukan untuk menghabiskan uang, melainkan tuk menghabiskan waktu bersama orang yang ingin disayangi.
"Bu, masuk sini dulu yuk."
Mengajaknya masuk ke dalam sebuah toko pakaian, Humairah tidak ragu memilihkan beberapa pakaian bermerk untuk ibu Wati. Bahkan beberapa bentuk yang sama, Humairah pilih untuk dia pakai bersamaan dilain waktu tentu saja dengan calon ibu mertuanya itu.
Saat berdiri di depan cashier, membayar pakaian yang sesuai, tanpa terasa air mata Humairah menetes begitu saja. Tidak ada kata yang ia ucapkan, tangannya bergetar saat menyerahkan kartu debitnya untuk membayar pakaian yang sudah ia pilih-pilih tadi.
"Kenapa, Kak?"
"Enggak papa, Mbak. Hari ini tanggal berapa, ya?"
"Tanggal 28 Kak. Kenapa?"
"Enggak papa, Mbak."
Menangis dengan senyuman, Humairah benar-benar bersyukur. Setelah kurang lebih 19 tahun dia tidak merasakan kasih sayang ibu, atau kasih sayang keluarga yang lengkap. Hari ini, sosok Hira, laki-laki yang datang ke dalam hidupnya dan bersedia menjadi calon suaminya, seketika membawakan keluarga yang tidak pernah Humairah miliki sebelumnya. Sosok Ibu yang Humairah rindukan selama ini akhirnya ia miliki. Bahkan dia selalu iri jika teman-temannya bercerita memiliki barang yang sama dengan ibunya, sedangkan Humairah tidak pernah bisa melakukan hal itu.
Menunggu proses pembayarannya dilakukan, Humairah mengirimkan sebuah pesan kepada Hira yang menunjukkan betapa dia beruntungnya dia bisa mengenal keluarga Hira
Hira Sayang
Makasih banyak sudah kenalin keluarga lo ke gue.
Hari ini izin pinjam ibu, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro