Bab 25. Luka dimasa lalu
Hai ... Hai, seminggu nih gak update.
Ya Allah, susah bgt sih mau daily kayak dulu...
Hm, mungkin krn enggak ada semangat dari kalian semua.
-------------------------------------------------------
Jangan menjadi orang bodoh ketika sedang jatuh cinta. Karena yang namanya sakit, mau orang bodoh atau orang pintar, tetap saja obatnya balikan lagi.
Kembali ke dalam ruangan secara bersamaan, kedatangan mereka menjadi perhatian semua orang. Termasuk perhatian Mikaela dan kawan-kawan. Bintang yang masih setia duduk di sana bersama ketiga perempuan cantik itu, hanya tersenyum-senyum menahan tawa sambil terus saja mengunyah makanan yang sedang ia nikmati.
Setelah lelah bertanding, dan baiknya berhasil menang, pemain mana yang menyia-nyiakan kesempatan ini bisa makan dengan sepuasnya tanpa perlu mengeluarkan uang. Apalagi dijamu oleh pak Presiden langsung, benar-benar menjadi suatu kehormatan bagi mereka semua.
Termasuk Bintang.
Akan tetapi diluar dari pada kehormatan yang diberikan oleh pak Presiden, ada satu hal penting lainnya yang membuat Bintang merasa gemas malam ini.
Keadaan yang terjadi antara Mikaela, Hira dan juga Humairah.
Bukan tanpa maksud Bintang mengatakan fakta itu langsung kepada Mikaela. Dia hanya ingin, baik dari pihak Hira atau Mikaela, mereka berdua sadar, hubungan tanpa status itu tidak akan bertahan lama. Apalagi dari pihak Mikaela, yakni ibunya dan beberapa saudaranya, menolak Mikaela dekat dengan Hira, yang berprofesi sebagai seorang pemain bola. Mereka dari awal sudah memberikan peringatan kepada Hira untuk tidak melangkah lebih jauh lagi dalam mendekati Mikaela.
Beberapa bulan lalu, mereka sempat menjauh sejenak, lebih tepatnya Hira yang menjauh, karena takutnya sampai kapanpun ia tidak akan pernah diterima dalam keluarga Mikaela. Namun kondisi tersebut tidak bisa bertahan lama, karena Mikaela sendiri yang langsung mendatanginya dan mengatakan bila ia tidak bisa menjauh dari Hira. Banyak hal yang Mikaela pikirkan dan hanya Hira yang mampu memahaminya. Sedangkan yang lain hanya mampu menjudge tanpa ingin tahu alasan dari keputusan yang Mikaela lakukan.
Tapi sayangnya kedekatan yang mereka berdua lakukan, seperti jalan bersama, selayaknya orang pacaran, hanya bisa dilakukan tanpa persetujuan keluarga Mikaela, terutama ibunya. Sedangkan Hira tidak bisa berlama-lama seperti ini, dia ingin seorang istri yang bisa memahaminya dan mendukung semua keputusan yang ia lakukan. Dan pastinya, jika penolakan tersebut masih terjadi, bukan Mikaela lah perempuan yang bisa Hira jadikan istri.
"Berduaan dari luar mereka?"
"Kayaknya Hira yang kejar itu cewek deh," tanggap Gina sambil terus memerhatikan.
"Yang gue tahu bang Hira udah siapin kado buat Humairah. Mungkin tadi sengaja, pas lihat tuh cewek keluar, bang Hira langsung ikutin dia buat kasih hadiah itu."
Seperti menyiram bensin di atas bara api, Bintang semakin semangat memanas-manasi ketiga perempuan itu. Termasuk Mikaela. Dia ingin ada pergerakan dari Mikaela untuk keputusan hubungannya dengan Hira tuk kedepannya.
"Hadiah?"
"Hm. Kalau yang gue tahu sih gelang tangan. Karena cincin buat nikah, bang Hira pengen Humairah pilih sendiri. Jadi dia belum beli untuk perhiasan nikah."
"Ah? Seriusan?"
"Hum. Serius. Ngapain sih gue bohong. Paling yah ... agak dilebih-lebihin aja. Kayak harga gelang yang bang Hira beli sampai hampir 50juta harganya. Soal didesign khusus. Ada inisial nama mereka di gelang itu."
"Ahh?" Semakin melotot tak percaya, Mikaela menarik kencang lengan Bintang sampai laki-laki itu mengaduh kesakitan.
"Apaan sih?"
"Seriusan lo! Hira keluarin uang sebanyak itu buat tuh cewek?"
"Hahaha, gue enggak tahu harga pastinya, ye. Tapi yang gue tahu gelangnya emang didesihn custom. Jadi pasti harganya mahal."
"La, gue jadi inget si Hira perhitungan banget sama lo waktu lo minta dibeliin baju aja!"
"Bener. Giliran buat tuh cewek yang baru dia kenal, berani keluarin uang sebanyak itu. Gila banget!!"
"Mungkin karena bang Hira sadar, kalau kasih lo banyak hal pun percuma. Nyokap lo kan enggak setuju sama dia. Selama bang Hira masih jadi atlit, jangan harap nyokap lo kasih restu. Lagian, jujur gue bingung deh, kan yang bermasalah tuh bokap lo, kenapa jadi bang Hira yang nanggung getahnya. Dipandang hina karena dia seorang atlit sepak bola. Padahal dari yang gue tahu, dan gue kenal, sosok bang Hira tuh beuh ... cowok impian, suami yang diharapkan banget. Harusnya nyokap lo bersyukur, anaknya bisa punya pacar cowok yang berpenghasilan dan bertanggung jawab. Bukan karena cowok itu seorang atlit jadi disamakan dengan masa lalu."
"Brengsek ya lo, Bin!!!" Pukul Mikaela kencang pada lengan Bintang. "Lo kalau mau nyindir bokap gue, mending pindah deh dari meja ini. Lagian seburuk-buruknya bokap gue, setidaknya berkat dia, gue bisa lahir ke dunia. Walau after that dia menghilang, enggak ada nafkah apapun untuk nyokap gue, bagi gue dia tetap bokap gue. Kalau sewaktu-waktu gue nikah sama Hira atau siapapun cowoknya, tetap dia yang gue cari. Dia yang harus menikahkan gue dengan cowok itu!"
Mengangkat kedua tangannya ke udara, Bintang terburu-buru kabur dari meja ini. Karena bila semakin lama dia di sini, Bintang pasti dimaki-maki oleh mereka semua.
"Lo wajib lihat, cuma gue yang pantes dampingin Hira, untuk saat ini sampai nantinya!"
"Siap ... siap."
Ribut-ribut di meja Mikaela dan kawan-kawan, langsung dinotice oleh sang presiden. Selesai makan, langkahnya mendatangi satu persatu meja para atlit bersama keluarga mereka.
Sampai pada meja yang Mikaela tempati, sang Presiden terlihat diam. Mungkin ia bingung mengapa ketiga perempuan ini bisa berada di area steril untuk orang umum.
"Malam, Pak."
"Malam ... malam. Kok kalian bertiga saja?" tanya sang Presiden ragu. Dia pikir ketiga perempuan ini adalah keluarga atau kekasih dari salah satu atlit. Namun dari yang ia lihat, tidak ada seorang atlit pun duduk di meja ini.
"Ah, iya, Pak. Itu ... anu."
Dari belakang tubuh sang presiden seorang ajudan membisikkan sesuatu ke telinganya, kemudian kepalanya menoleh kembali ke arah meja di mana keluarga Lakeswara duduk tenang sambil menikmati makanan yang disajikan.
"Kamu putrinya Jeffry Pattinasarany?"
Kaget karena nama ayahnya disebut, Mikaela seketika mengangguk.
"Betul, Pak."
"Oke ... oke. Selamat makan kalau begitu."
Tidak melanjutkan kalimat apapun, sang Presiden sedikit banyak tahu kondisi yang terjadi antara sang pemain bola legenda itu dengan keluarganya. Karena itulah, dia tidak ingin melanjutkan apapun dalam pembahasan yang sangat sensitif ini.
***
"Apa itu?" Tanya Lakeswara pada putri kesayangannya.
"Hadiah dari Hira."
"Hadiah?" Ulang Lakeswara, menaikkan sebelah alis hitamnya, kemudian melirik ke arah Hira yang ternyata terpantau sedang mengamati Humairah.
"Apa isinya?"
"Belum Ara lihat. Enggak enak lihat di sini."
"Enggak enak kenapa? Takut semua heboh karena tahu hubungan kalian? Atau ..."
"Atau apa? Please lah pak Jenderal, ini ada pak Presiden, enggak malu apa gangguin anaknya mulu!"
"Bukannya gangguin, tapi ...."
Berhenti berkata-kata, suara ibu Wati, mengintrupsi percakapan Lakeswara dan Humairah. Perempuan itu tersenyum lembut sebelum mengawali kalimatnya.
"Terima kasih ya nak Ara. Ibu bersyukur tadi dibantu ke toilet sama nak Ara. Apalagi nak Ara sadar kalau kaki ibu sakit. Jadi minta tolong agar bisa memakai toilet bagian dalam. Benar-benar bersyukur ibu."
Hira menoleh ke arah ibunya. Ternyata tadi ada interaksi yang tidak ia ketahui antara ibunya dan Humairah.
"Eh, iya, Bu. Sama-sama. Tadi kan kebetulan Ara juga mau ke toilet. Jadi sekalian aja."
"Maafin ibu juga ya, Nak. Abis Hira belum kasih tahu ke ibu siapa calon yang mau dia kenali. Jadinya ibu enggak tahu kalau itu kamu. Duh, ibu jadi malu sendiri, karena enggak kenali calon mantu."
"Ah, enggak papa, Bu. Ara malah udah biasa enggak tahu apa-apa. Bahkan waktu pertama kali ketemu sama Hira ... eh, maksudnya mas Hira aja, nih bapak-bapak bawel enggak kasih tahu apapun soal Hira. Ara disuruh lihat sendiri di lapangan, yang mana calonnya. Untung aja mas Hira kenalin Ara, kalau enggak mah, Ara udah pilih yang lain kayaknya! Soalnya yang itu kelihatan lebih sabaran dari mas Hira!"
Menunjuk ke arah Baba, Hira mendelik kesal. Bisa-bisanya Ara membandingkan Hira dengan sahabatnya sendiri, lalu mengagumi Baba tanpa merasa berdosa.
"Tapi pilihan ayah paling tampan, kan?"
"Hm ... biasa aja, cuma menang putih doang!"
CUMA MENANG PUTIH DOANG? ANJIR LAH SI ARA INI...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro