Bab 23. Ibu yang tak pernah kupunya
Yuk, yang masih silent reader, buruan deh komen.
Biar sama-sama saling bantu, supaya komennya banyak...
----------------------------------------
Duduk satu meja dengan kepala negara, dan juga keluarga Jenderal, terlihat sekali kegugupan di wajah Hira dan keluarga. Mereka seolah sadar dengan level kehidupan yang mereka miliki sehingga mau tidak mau Hira dan keluarga lebih banyak diam, mendengarkan, dan akan menjawab ketika diminta. Padahal dalam meja ini pak presiden beserta istri dan juga pak Jenderal terlihat santai membicarakan banyak hal, tentu saja diluar politik, agar Hira dan keluarga jauh lebih nyaman duduk bersama mereka.
"Hira, kalau boleh ibu tahu, kenapa anak gadisnya pak Jenderal Lakeswara nih yang dipilih? Apa karena Hira sudah kenal sebelumnya sama anak cantik itu, atau ada alasan lain? Coba dong ceritain, ibu pengen tahu."
Ibu Arnia, bertanya dengan lemah lembut atas rasa penasaran yang ia rasakan. Karena kondisi yang terjadi benar-benar cross line sekali antara keluarga Jenderal Lakeswara yang mayoritas adalah tentara dengan Hira yang statusnya pemain bola.
Bukan merendahkan pekerjaan salah satu pihak, namun perbedaan lingkungan pastinya akan susah beradaptasi, sehingga mau tidak mau salah satu pihak harus mengikuti kebiasaan yang satunya, agar bisa seirama dalam menjalani rumah tangga kelak.
"Sebenarnya saya sudah kenal dengan pak Lakes dari tahun lalu," ungkap Hira dengan jelas. "Kebetulan pak Lakes datang ke pertandingan lokal setelah dia menonton saya dipertandingan piala Asia. Lama-lama kami mengobrol banyak hal, dan bertanya pada saya, apa saya ada rencana menikah muda? Pada saat itu saya hanya memberikan jawaban spontan yang terlintas dalam pikiran saya."
"Memang jawab apa kamu?"
"Saya jawab, saya mau asalkan memang istri saya bisa memahami semua pekerjaan yang saya lakukan. Apalagi menjadi seorang atlit, kehidupannya berbeda sekali dengan karyawan kantoran pada umumnya. Dan saya harap istri saya kelak bisa menerima kondisi saya dan keluarga tanpa banyak drama."
"Terus-terus? Wah, ternyata ada cerita seperti ini dibalik perjodohan yang terjadi."
"Lalu ... beliau menunjukkan foto Humairah kepada saya, dan bertanya, apa kamu mau menikah dengan anak saya? Jujur pada saat itu saya kaget, dan bingung, mengapa saya yang dipilih beliau. Lalu rasa bingung itu berhasil dijawab olehnya, karena dia percaya pada saya. Sesederhana itu jawabannya, tapi buat saya rasanya sangat luar biasa. Dari sekian banyak orang di dunia ini, tiba-tiba pak Lakes datang dan berkata bila beliau percaya sama saya, seorang atlit muda yang sedang merintis karirnya merupakan suatu kebanggaan untuk saya sendiri. Namun setelah pembicaraan itu, saya ada pertandingan diluar negeri dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga baru beberapa waktu belakangan ini saya bertemu langsung dengan Humairah."
"Wah, berarti Lakes ini orang hebat. Bisa melihat masa depan atlit muda berbakat."
"Hahaha, pak Bagus bisa saja. Bukan begitu, Pak. Sebenarnya saya menilai Hira bukan dari kemampuan dan kehebatan dia saja sebagai seorang atlit, tapi saya juga memerhatikan bagaimana kehidupannya. Sehingga barulah saya yakin dia bisa membimbing putri saya yang nakal ini," ucap Lakeswara sambil menepuk paha Humairah.
Gadis itu mendelik kesal. Dia mendorong tangan sang ayah yang masih saja mencolek colek dirinya seperti sedang menggoda diwaktu yang sangat tidak tepat.
"Kalau begitu, apa Ara sudah siap menjadi seorang istri?" Tanya pak Presiden, yang memanggil Humairah dengan nama kecilnya, seolah dia memang sudah mengenal dekat sosok Humairah, putri dari Lakeswara.
"Ah? Bingung sih kalau ditanya soal itu, Pak."
"Kok bingung?" Tanggap Ibu Arnia dengan senyum ramah tak lepas di wajahnya. "Entah kenapa kalau melihat Ara seperti ini, mirip Rianti ya, Pak. Waktu mau menikah sama Firman juga begini. Kelihatan ragu, tapi sekarang bisa kita lihat sendiri, betapa dewasanya Rianti menanggapi masalah rumah tangga yang terjadi. Lagian, dua orang tidak saling kenal awalnya, lalu dijadikan satu, memang bukan hal yang mudah. Saya sama bapak saja, yang sudah menikah hampir 30 tahun, masih suka ribut. Entah karena saya dandan terlalu lama, sedangkan si Bapak sudah menunggu. Tapi cukup saling tahu masing-masing, dinamik hubungan itulah yang mengikat kami sampai selama ini."
Kepala Lakeswara mengangguk setuju. Mungkin bila sampai saat ini istrinya masih ada, keributan-keributan kecil antara suami istri pasti akan terjadi. Mereka akan saling diam sesaat untuk introspeksi, kemudian mohon maaf kepada pasangan masing-masing.
Sadar bila ayahnya melamun, Omar menatap wajah ayahnya. Tanpa perlu Lakeswara ceritakan, Omar tahu siapa yang tengah ayahnya pikirkan. Sosok istri yang, kurang lebih 19 tahun ini, pergi meninggalkan mereka semua. Andai mereka memiliki sedikit waktu untuk berkumpul bersama, pastinya akan menjadi kebahagiaan yang tak terkira.
"Bener enggak, Bu?" Tegur ibu Arnia kepada ibu Wati yang sejak tadi hanya diam dan mengamati.
"Betul, Bu. Apalagi kalau soal anak-anak, entah itu soal pendidikan, atau kesehatan, atau yang sering diperdebatkan adalah mengenai makanan yang dikonsumsi anak-anak, pasti kita akan ribut dulu. Kalau dipikir-pikir mengenai makanan adalah hal yang paling sepele, tapi ada saja yang diperdebatkan. Entah itu dikatakan tidak baik untuk dikonsumsi oleh anak, takut pilek lah, atau sakit perut lah. Tapi sebagai bapak, biasanya mereka lebih membiarkan anak-anak memakan apa saja. Dalam pikiran seorang bapak, tidak apa-apa sekali dicobai, biar tahu rasa dan dampaknya ditubuh. Nanti kalau anak tidak suka rasanya atau efeknya membuat tubuh si anak tidak enak, maka mereka sendiri yang akan menolaknya untuk memakan makanan itu."
Mendongak, menatap wajah perempuan yang pada saat pertandingan bola tadi duduk di sebelahnya, Humairah benar-benar tidak menyangka kalau sosok perempuan paruh baya itu adalah ibu dari Hira. Bahkan seperti sudah disetting oleh petugas, 3 orang yang duduk di dekatnya tadi adalah keluarga Hira.
Disadari oleh adiknya Hira, anak laki-laki itu menyenggol lengan ibunya, sembari menunjuk ke wajah Humairah.
"Ibu dilihatin aja tuh sama dia."
Seperti kepergok basah, Humairah menunduk malu. Dia memundurkan tubuhnya, dan sedikit bersembunyi di belakang tubuh Lakeswara.
"Hahaha, maafin anak saya, Bu. Dia memang suka iri melihat ibu dari orang lain, yah ... bagaimana pun baiknya seorang pengasuh yang merawat Ara dari kecil, tetap saja tidak bisa memenuhi sosok ibu dalam hidupnya," ucap Lakeswara dengan suara berat. Dia menepuk-nepuk lengan Humairah, kemudian menarik lengan kecil itu agar bisa dipeluk penuh olehnya.
"Ara, jangan sedih gitu ya, Nak. Nanti setelah Ara menikah sama Hira, ibu Wati ini akan menjadi ibumu juga," tanggap Arnia dengan cepat.
Sebagai ibu negara, Arnia memang memiliki karakter lemah lembut, tanpa dibuat-buat sedikitpun. Hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga sebelumnya, Arnia tidak menunjukkan suatu kekurangan apapun. Dalam komunikasi dia tidak ada rasa minder atau ragu ketika pertama kali menjabat sebagai ibu negara beberapa waktu lalu. Dan kini, saat posisinya sudah hampir satu tahun menjadi ibu negara, Arnia divote oleh banyak pihak sebagai sosok ibu negara teramah dan terpopuler.
"Tuh, dengar kata bu Arnia. Jadi kalau tanggal 5 besok Hira dan keluarganya datang ke rumah, jangan ditolak."
Mencubit lengan ayahnya, Humairah merasa kesal sekaligus malu dengan sikap ayahnya sendiri. Dia mencoba mencuri-curi lirikan ke arah Hira, Humairah malah merasa kecewa karena Hira tengah fokus ke meja yang lain, dimana memang sejak tadi para sahabatnya memanggil dari arah sana.
"Ah, elah!" Ucap Humairah malas.
Dia lantas berdiri, meminta izin untuk ke toilet demi menghindari keadaan menyebalkan ini.
***
"Jadi mereka udah lama tunangannya ya, Bin?" tanya Sasa penasaran.
"Kurang tahu gue!"
"Masa sih?"
"Serius. Bang Hira enggak pernah cerita kapan kenalannya dan kapan tunangannya."
"Gitu, kah? Lo enggak bohong kan, Bin?" Kini giliran Gina yang melakukan penyelidikan. Sambil mencuri dengar mengenai pembicaraan di meja terdepan, Gina kecewa, mengapa banyak sekali pengamanan yang mengelilingi meja itu, sehingga kebutuhan mereka untuk mendengar pembicaraan tersebut sedikit terhambat.
"Anjir ngeselin ya, lo! Udah dikasih tahu malah nuduh yang enggak-enggak. Mending lo tanya sama bang Hira deh."
Sengaja memanggil-manggil nama Hira, laki-laki itu menoleh ke arah belakang, tertuju pada meja yang Bintang duduki bersama tiga orang perempuan.
Hira baru sadar di ruangan ini ada Mikaela dan ketiga temannya. Selain karena sudah dikenal oleh petugas bila Mikaela adalah orang terdekat Hira, gadis itu juga diketahui memiliki latar belakang yang cukup complicated dengan pemain sepak bola Indonesia.
"Apaan?" tanya Hira tanpa suara.
"Sini lo," ucap Bintang kembali.
Akan tetapi belum sempat Hira menanggapi lagi, terdengar suara Humairah yang meminta izin kepada semuanya untuk ke toilet. Melihat ada pergerakan dari Humairah, Hira pun tidak tinggal diam. Disinilah keputusan besarnya ia ambil. Antara masa depan, atau kebahagiaan hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro