Bab 21. Pipip, Calon mantu gila!
Ah, komennya kok dikit lagi. Sedih nih lihatnya...
Kalau komennya sedikit, aku update minggu depan aja.
------------------------------------
Kebaikan hati tidak bisa dinilai dari kata-kata. Karena terkadang satu katu, memiliki banyak makna yang berbeda.
Ketika pemain mulai memasuki lapangan, pandangan Hira langsung terkunci ke satu arah, dimana ada Humairah dan keluarganya duduk pada baris kursi yang sama. Sambil menahan senyum karena melihat ekspresi kesal Humairah, tiba-tiba saja Bintang menyenggol lengan Hira, memberikan kode melalui lirikannya bila ia juga melihat ekspresi kesal yang ditunjukkan Humairah saat ini.
"Apa?" tanya Hira tanpa suara.
"Bojomu." Kode Bintang ke arah Humairah.
"Biarin," tanggap Hira santai.
Mencoba fokus untuk pertandingan, Hira sadar saat ini, sekalipun hanya pertandingan persahabatan, dia tidak boleh main-main seperti pertandingan sebelumnya. Apalagi semua pemain sadar, di kursi VVIP ada orang penting nomor satu di Indonesia yang menonton pertandingan mereka. Sehingga Kresna dan timnya wajib menunjukkan permainan terbaik mereka.
Setelah berfoto bersama, lalu saling berjabatan tangan dengan lawan main mereka, Hira dan yang lainnya langsung mengambil posisi masing-masing. Mencoba tuk merilekskan tubuhnya kembali, sekali lagi Hira mencuri lirikan ke tempat dimana Humairah dan keluarganya berada, lalu ia melihat ada pendekatan yang dilakukan ibunya kepada Humairah.
Sudah memberikan kode kepada ibunya, bila dia akan mengenalkan seseorang setelah pertandingan selesai, sepertinya ibunya mulai menebak-nebak siapa perempuan yang akan Hira kenalkan kepada mereka.
Dimulai dengan tiupan peluit dari wasit, pertandingan mulai dilakukan. Menggunakan strategi operan bola-bola pendek, terlihat Hira bersusah payah memberikan bola tersebut ke arah Bintang agar bisa langsung dieksekusi oleh laki-laki itu. Akan tetapi sayangnya pada percobaan pertama, dimana pertandingan baru berjalan 5 menit, tendangan yang Bintang lakukan masih terbentur mistar gawang, sehingga gol yang ditunggu-tunggu belum berhasil tercipta.
Riuh tepuk tangan dari pada penonton menyadarkan para pemain bila usaha mereka tetap dihargai oleh semuanya. Mungkin memang takdir belum menentukan usaha yang pertama mereka lakukan membuahkan hasil. Kini tinggal lanjutkan strategi kembali dengan harapan kali ini usaha mereka akan menghasilkan gol.
"RA ... bawa ... bawa. Lewat dalem."
Mulai mengarahkan kembali timnya, Kresna sang kapten meminta Hira untuk membangun serangan dari bagian dalam. Sengaja mengubah arah penyerangan, karena Kresna tidak ingin taktik mereka terbaca oleh lawan. Maka dari itu, segala kesempatan mereka berusaha lakukan dengan baik.
Mengikuti saran Kresna, Hira perlahan-lahan membawa bola tersebut. Saling mengoper bola dengan Baba, yang posisinya sama-sama midfielder seperti Hira, akhirnya bola tersebut sampai ke area depan gawang lawan kembali.
Sudah ditunggu Bintang di sana, bersama second striker, Hira mencoba memberikan bola lambung ke arah Bintang. Namun sayang, belum berhasil dieksekusi dengan baik, bola tersebut berhasil ditepis oleh kiper lawan sehingga keluar dari lapangan.
Mau tidak mau corner kick berhasil Hira dan kawan-kawan dapatkan.
Berusaha bebas dari kurungan pertahanan lawan, ketika bola ditembakkan oleh Baba, Hira berhasil kabur dari penjagaan dan langsung menyundul bola tersebut. Lambungan bola itu memang sempat membentur mistar gawang kembali, namun baiknya bola yang Hira sundul terjatuh dan masuk ke dalam gawang lawan dengan sangat keras.
Semua orang langsung bersorak dan berteriak kencang, termasuk sang Presiden dan para Menteri serta pengawalnya. Mereka jelas bahagia disuguhkan pertandingan yang begitu semangat seperti ini.
Hira berhasil mencatatkan namanya dipapan skor untuk satu gol yang tercipta. Kemenangan tim nasional mulai bisa dirasakan.
Ikut bereuforia bersama pemain lain dan penonton, lagi dan lagi, Hira mencoba melirik ke tempat Humairah berada, akan tetapi sayangnya gadis itu sedang menunduk dan sibuk dengan ponselnya. Sedangkan satu baris di belakang Humairah persis, ada Mikaela dan kawan-kawan yang terlihat begitu bahagia atas gol yang tercipta.
"Keren, Bang. Cuma sayang, bojo enggak peduli," ujar Bintang menggoda Hira.
Sebenarnya Hira sadar, bila pilihannya tidaklah mudah. Namun bukan berarti tidak bisa ia jalani dengan baik untuk kedepannya. Hira kini hanya perlu sabar, dan terus berusaha. Karena sampai detik ini, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha.
***
Istirahat pemain dimulai. Keributan para penonton masih terus terdengar sampai telinga Humairah terasa begitu sakit. Pandangannya ia edarkan kesekeliling melihat semangat para penonton yang tidak pernah habis untuk membela kebanggaan mereka.
Humairah sadar bila posisi ini bukanlah tempat yang tepat untuknya, namun dia tidak bisa lari begitu saja. Semakin ia ingin lari dan melepaskan diri dari jeratan ini, tubuhnya malah terasa semakin terikat, bahkan sampai terasa sesak di dada.
"Mau ke mana, Mbak?" tegur ibunya Hira yang melihat Humairah berdiri dari kursinya.
"Mau ke toilet, Bu."
"Boleh bareng? Ibu juga mau ke toilet. Duh, ibu tuh kalau enggak ada temennya suka takut. Karena kadang dengkulnya sering sakit. Takut jatuh," ucapnya sambil tersenyum ramah.
"Owh, boleh, Bu."
Dirangkul oleh Humairah dengan lembut, mereka sama-sama keluar dari area penonton menuju toilet yang kondisinya cukup ramai. Karena pada waktu istirahat seperti ini semua orang memang memakai waktu mereka untuk ke toilet atau membeli minum.
"Ibu udah kebelet banget, enggak? Karena ini antri, mendingan kita ke toilet VVIP aja, Bu."
Menawarkan bantuan, tatapan kedua mata ibunya Hira terlihat kebingungan. Terlihat seperti penonton biasa, bukan artis, bukan pula seperti istri pemain, namun bisa-bisanya Humairah menawarkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh sembarangan orang.
"Toilet VVIP?"
"Iya, Bu. Nanti aku ajak ke sana, tuh."
Jari telunjuk Humairah terarah pada area yang terlihat dijaga ketat seperti disterilkan oleh petugas dari penonton umum.
"Kamu yakin bisa ke sana?"
"Iya. Di sana pasti kosong toiletnya. Dari pada kita antri begini, nunggu lama-lama. Nanti kaki ibu sakit."
"Caranya gimana ke sana?"
"Gampang," sahut Humairah menjentikkan jarinya.
Menggandeng kembali lengan Wati, ibunya Hira, Humairah dengan percaya diri melangkah menuju pintu tersebut. Bukan dia sombong, atau ingin menunjukkan kekuasaan yang ia punya, akan tetapi Humairah tidak tega melihat cara jalan ibu Wati, yang terlihat mulai tertatih, mungkin karena keram, duduk hampir 1 jam lamanya menggunakan kursi yang begitu keras, dan dalam kondisi kaki digantung ke bawah.
Dia juga menawarkan kebaikan ini karena melihat Omar berdiri di dekat pintu masuk, sedang menghubungi seseorang sampai tidak melihat bila Humairah keluar dari area tempat duduknya.
Saat langkah kakinya sampai di dekat Omar, para petugas menatap Humairah dan ibu Wati dengan ekspresi bingung. Namun disaat mereka ingin mengkonfirmasi Humairah karena terlalu dekat dengan area yang disterilkan, Omar berbalik arah dan kaget melihat ada wajah adiknya tepat di belakang ia berdiri.
"Ara ..." seru Omar bingung.
Dengan cepat Omar menahan pergerakan pasukan pengaman presiden yang bertugas, dan memberitahu bila ia kenal dengan perempuan ini.
"Ngapain?"
"Mau pipis ih. Toiletnya yang di sana penuh."
"Ah? Pipis?"
Melirik perempuan paruh baya di sebelahnya, Humairah tersenyum penuh arti. "Boleh ya ajak ibu ini. Kasihan kakinya sakit, tapi harus tetap antri buat ke toilet aja. Bang Omar tenang aja, kita abis pipis langsung keluar kok."
"Yaudah masuk."
Dibantu masuk oleh Omar, dan di arahkan langsung ke toilet, bu Wati terlihat kebingungan melihat kondisi yang terjadi. Sambil menatap wajah Humairah, dia bergumam pelan.
"Pacarmu?"
"Bukan, Bu. Abang saya."
"Owh. Angkatan?"
"Iya, Bu. Popaye."
"Popaye?"
"Iya. Popaye si pelaut, tutut."
"Ah. Tak kira pacarmu."
"Bukan, Bu. Saya mah enggak punya pacar. Punyanya calon suami. Itu juga karena pak Jenderal gila, jodohin saya sama pemain bola! Kayak enggak ada cowok lain aja."
Tertegun melihat cara Humairah menjelaskan, bu Wati merasa bila perempuan ini adalah calon istri yang ingin dikenalkan oleh putranya, Hira.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro