Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 - Insecure


Setelah sebelumnya kita menyepakati berbagai hal pada akhirnya tiba juga pada hari dimana acara tabligh akbar akan digelar.

Sejak pagi kami sudah berada di lokasi. Kalau mereka memastikan semua berjalan lancar, kalau aku disini di stand brand kami memastikan bahwa stand ini sudah rapi. Aku dibantu dengan ketiga teman SMA ku Lara, Anin, dan Syila. Tidak mungkin mengajak teh Oca atau Rima karena pekerjaan disana cukup sibuk. Maklum orderan kami sedang banyak.

Setelah memastikan semuanya beres dan mereka bertiga sudah mengerti apa yang harus dikerjakan aku pun menjauhi stand berharap menemukan Nadin yang dari tadi sudah menghilang. Aku memang tidak berencana tinggal di stand dan akan mengikuti kajian saja.

"Alma mau kemana?" aku menghentikan langkahku ketika mendengar suara dari sampingku.

Aku menoleh dan ternyata disana ada kang Arnav sedang duduk di pelataran gedung. Apakah aku terlalu fokus melamun sambil berjalan sampai tidak menyadari keberadaanya?

"Eh, mau cari Nadin," jawabku.

"Nadin ada di ruang panitia. Kamu kesana aja," ujarnya memberi tahu ku.

Aku melangkahkan kaki mendekat dan duduk di sebelahnya. Jangan memikirkan hal yang aneh karena jarak kami cukup lebar. Bisa untuk duduk 3 orang.

"Malu ah kalau kesana. Yaudah aku tunggu disini aja," ucapku. Aku merutuki kenapa Nadin tidak membaca pesanku dari tadi.

"Mau saya antar?" tawarnya dan dengan refleks ku gelengkan kepala. Yakali aku diantar olehnya, bagaimana nanti pandangan orang lain.

"Gak usah Kang. Makasih," ucapku tersenyum sopan.

"Kamu kenal Nadin udah lama?" tanya dia setelah beberapa saat hanya ada keheningan.

"Sejak bayi," jawabku sambil terkekeh pelan.

"Wow! Lama banget," ucapnya.

"Kebetulan orang tua kami saling kenal," ucapku.

"Pantesan." Kata kang Arnav.

"Kang Arnav sendiri sama mas Ilham udah kenal lama?" tanyaku mencoba melanjutkan obrolan.

"Hampir empat tahun. Kami kenal di organisasi," jawabnya.

Aku menganggukkan kepala mengerti.

"Cita-cita kamu dari dulu emang mau jadi pebisnis ya kaya Papa kamu Al?" tanya kang Arnav.

Aku tertawa kecil sebelum menjawab, "Enggak juga. Cita-citaku pengen jadi pengacara terus berubah pengen jadi dokter. Gitu aja terus tiap tahun berubah."

Kang Arnav ikut tertawa mendengar jawabanku.

"Saya dulu pengen jadi guru. Tapi ternyata takdir membawa saya untuk jadi pegawai di salah satu perusahaan," ceritanya.

"Udah berapa lama kerja disana Kang?" tanyaku.

"Hampir tiga tahun. Sejak saya beres kuliah aja," jawabnya.

"Nanti pas acara kamu mau tunggu di stand atau gimana?" tanya dia kembali.

"Aku mau ikut kajiannya aja deh. Lagi pula disana udah ada pegawai dadakannya aku," jawabku dan dia pun mengangguk.

"Kamu tahu tema pertama kajian hari ini?" tanya kang Arnav.

"Parenting keluarga islami," jawabku.

"Pinter ya." Candanya dan itu membuat jantungku berdebar dengan kencang.

"Bukan Alma kalau gak pinter," ucapku menanggapi candaannya.

"Saya selalu berharap punya istri yang bisa diajak bersama-sama membangun keluarga islami. Bisa bersama-sama dalam berdakwah dan mensyiarkan agama islam. Bisa datang ke kajian bersama-sama untuk mendapatkan ilmu, dan bersama-sama memberikan pendidikan berlandaskan Al-Qur'an untuk anak-anak kami kelak. Saya berharap mendapatkan istri yang bisa mendukung semua kegiatan saya. Alma kamu siap gak kalau harus mendampingi saya selalu?"

Aku terdiam mencerna semua ucapannya. Ini ceritanya dia ngelamar aku?

"Jadi kamu disini. Aku cari-cari kamu!" Belum sempat aku menjawab ucapan kang Arnav suara Nadin sudah mampir di telingaku.

"Eh iya Nad tadi aku lagi nyari kamu. kebetulan ketemu kang Arnav disini," jawabku.

"Jadi aku ganggu gak nih?" tanya Nadin menggodaku.

"Ganggu apaan sih Nad," ucap kang Arnav.

"Oh ya Kang, tadi kang Dian nyariin," ucap Nadin.

"Yaudah kalau gitu saya pamit dulu," ucapnya.

Ia pun langsung berlalu tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.

"Hayoh ngomongin apaan sampai Almeira ini terbengong-bengong," ucap Nadin menyenggol lenganku setelah kang Arnav pergi.

"Apaan sih Nad. Udah ah nanti aja ceritanya," ucapku dan berjalan dengan diikuti Nadin.

"Hmmmm saya mulai curiga," ucapnya dengan menyebalkan.

"Kamu kemana aja sih gak ada mampir ke stand sama sekali. Temen-temen nanyain kamu," ucapku.

"Hehehe maaf tadi di dalam cukup sibuk," ucapnya dengan senyum.

"Yaudah sekarang kita mampir ke stand terus nanti aku antar kamu ke dalam gedung," lanjut Nadin.

Beberapa jamaah memang sudah datang walaupun acara satu jam lagi.

"Oke," jawabku pendek.

***

Aku membaringkan diri di kasur setelah acara seharian tadi cukup menguras tenaga dan pikiran ku. Potongan ceramah dari salah satu ustadzah terus saja terngiang di kepalaku.

Salah satu pendidikan yang diajarkan oleh nabi Ibrahim AS adalah memilih ibu yang baik. Seorang Ibu (calon ibu) harus terus belajar atau menuntut ilmu.

Sebagaimana menurut Umar bin Khatab bahwa ada 3 kewajiban orang tua yaitu.

1. Mencarikan ibu yang baik

2. Berikan nama yang baik

3. Berikan pendidikan Al-Qur'an.

Aku bertanya pada diriku sendiri apa mungkin aku bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku nanti? Apalagi ucapan kang Arnav tadi pagi membuatku kembali merenung. Apa aku memang pantas untuknya? Apakah aku sesuai dengan kriterianya? Sepertinya aku jauh dari kata pantas. Dan perasaan insecure pun mulai menyergapku. Aku tahu pemahaman agamaku masih dangkal, dan untuk menjadi istri seperti yang diharapkan oleh kang Arnav rasanya masih jauh.

Tapi kenapa ada bagian dari diriku yang merasa sakit saat aku menyadari bahwa mungkin bukan aku yang akan mendampinginya kelak. Aku meraih ponselku yang berada di tas karena ada bunyi notifikasi dari whatsapp.

Kang Arnav : Udah pulang?

Me : Udah kang. Baru aja nyampe.

Kang Arnav : Mengenai ucapan saya tadi, jangan terlalu dipikirkan.

Kita juga masih tahap perkenalan kan?

Masih panjang ceritanya. Saya harap kita tidak terburu buru.

Me : Iya kang, Alma faham.

Iya dia benar kita masih dalam tahap perkenalan dan masih besar peluang untuknya membatalkan semua ini. Masih belum terlambat untuk dia mencari yang lebih baik.

Aku mengusap pipiku yang tiba-tiba basah. Bodoh! Apakah aku menangis? Setelah 21 tahun aku hidup akhirnya bisa juga menangis hanya karena seorang pria yang belum menjadi apa-apa.

Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Sepertinya aku harus berendam untuk mendinginkan kepalaku .

Keluar dari kamar mandi kulihat Nadin sedang bersantai dengan ponselnya.

"Udah lama?" tanyaku.

"Belum," jawabnya sambil tersenyum pendek.

"Nad-" ucapku pelan dan duduk di ranjang yang berhadapan dengan kursi yang di duduki Nadin.

"Apa?" tanya dia dan menyimpan ponsel di meja.

"Aku kayanya udah jatuh cinta sama kang Arnav," ucapku pelan.

Kudengar Nadin menghembuskan napas. Kenapa dengannya?

"Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta Al. Yang salah ketika kita mengaplikasikannya dengan cara yang salah," ucapnya sambil berjalan menuju ke arahku. Dia menggenggam erat jari jemariku.

"Aku tahu kamu itu perempuan yang cerdas dan tanpa aku menjelaskan panjang lebar pun kamu pasti mengerti," ucap Nadin mengeratkan genggamannya.

"Aku takut kalau aku akan sakit hati," ucapku sedih.

"Sakit hati adalah konsekuensi dari cinta. Tapi kita bisa meminimalisir itu semua dengan tidak berharap yang berlebihan," ujarnya.

"Aku tahu Nad. Tapi tentang perasaan ini aku sulit mengendalikannya. Aku tak punya kuasa Nad," lirihku.

"Kamu banyak-banyak berdo'a supaya hati kamu dikuatkan. Berdo'a supaya dia jadi takdir kamu atau dikuatkan jika ternyata dia hanya ujian bagi kamu,"

"Aku merasa tak pantas."

"Shuttt ... laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, dan begitu sebaliknya. Jodoh adalah cerminan diri. Kalau emang kang Arnav jodoh kamu berarti memang dia cerminan dari diri kamu. jikalau dia lebih baik dari diri kamu itu adalah anugerah dari Allah untuk kamu orang yang baik," ucap Nadin tersenyum.

Aku memeluknya erat. Nadin selalu punya cara untuk menenangkan ku. Aku bersyukur bisa mempunyai sahabat sepertinya.




Ya Allah...

Jangan biarkan hatiku terus bergelut dalam keraguan ini

Bantulah aku agar hatiku tetap terjaga pada yang seharusnya

Tunjukan lah padaku apakah dia memang takdirku, atau justru ujianku

Kuatkanlah hatiku untuk menerima segala ketetapanmu.

      -Perihal Jodoh : Tari Legistia-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro