Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - Apakah Sesuai Kriteria?

Assalamu'alaikum^^

Part sebelumnya ada yang aku tambahkan ya, lupa gak ke copy dari word dan baru sadar barusan:(

Happy Reading^^


Februari, 2020

5 bulan lagi aku akan berangkat ke Korea karena perkuliahan akan dimulai bulan Oktober. Sampai saat ini aku belum bicara apapun ke kang Arnav. Dan hubungan ku dengannya pun tak ada kemajuan masih seperti biasa.

Kita sering berkomunikasi lewat whatsapp namun hanya membicarakan hal-hal yang umum. Seperti membahas topik terkini misalnya, dan berbagai macam hal ringan yang bisa kita bincangkan. Namun kami tidak pernah membincangkan tentang bagaimana kelanjutan dari hubungan ini.

Aku sendiri pun terlalu takut untuk menanyakannya. Takut kalau apa yang akan terjadi tak sesuai ekspetasi.

Saat ini aku tengah berada di sebuah kedai kopi yang berada dekat dengan masjid. Memang sebelumnya aku telah mengikuti kajian. Dan aku hanya seorang diri karena Nadin tengah ada keperluan lain.

"Terkadang cara kita menghindari masalah adalah dengan melepaskan hal yang meskipun itu tak salah" Potongan ucapan dari ustadz tadi terngiang di kepalaku.

Apa mungkin yang terbaik untuk saat ini adalah aku harus melepaskannya?

"Assalamu'alaikum." Salam dari seseorang yang suaranya begitu kukenal merengutku dari lamunan.

Kuangkat kepala ternyata orang itu memang tengah berdiri di depanku.

"Wa'alaikumsalam warrohmatullah," ucapku sedikit gugup.

Kulihat sekeliling berharap menemukan temannya dan ternyata dia hanya seorang diri kesini.

"Boleh saya duduk disini?" tanyanya.

"Silahkan," ucapku tersenyum.

"Kamu sendirian?" tanya kang Arnav padaku.

"Iya Kang. Kang Arnav sendiri?" tanyaku balik.

"Tadi saya sama kang Dian. Tapi dia pulang duluan," jawabnya.

Percakapan basa basi kami terhenti sesaat ketika seorang pelayan membawakan kopi pesanan kang Arnav.

"Kamu tadi ikut kajian juga?" tanya kang Arnav setelah meminum sedikit kopinya.

"Iya, tadi Alma ikut kajian," jawabku.

Situasi disini benar-benar canggung. Bagaimana ini? Aku ingin keluar dari situasi ini tapi aku pun tak ingin kehilangan momen berbincang dengannya.

"Kamu suka kopi Ma?" tanya kang Arnav sambil pandangannya tertuju ke arah cangkir yang ada di depanku.

"Enggak juga," jawabku. Memang aneh sih aku hari ini kenapa datang ke kedai kopi disaat aku tidak menyukainya? Mungkin ini jalan dari Tuhan supaya aku bisa bertemu dengannya.

"Lalu?" tanya dia merasa aneh dengan jawabanku.

"Mencoba saja yang pahit-pahit," ucapku asal.

"Menghindari yang manis-manis ya," ucap kang Arnav terkekeh.

"Apalagi janji manis." Timpalku. Kami pun tertawa bersama.

"Tapi dalam hidup kita memang harus merasakan yang pahit. Supaya tahu rasanya manis itu bagaimana," ujar kang Arnav setelah kami sama-sama terdiam.

Aku mengangguk-anggukkan kepala setuju dengan ucapannya. Memang bagaimana kita bisa tahu itu manis jika kita tak pernah merasakan pahit?

"Kang Arnav pengalaman hidupnya banyak ya?" ucapku terkekeh.

"Usia memang tidak membohongi," lanjutku dengan menahan tawa.

"Waduh bawa-bawa usia nih," ucapnya dengan pandangan masam yang dibuat-buat. Kentara sekali.

"Maaf deh maaf," ucapku yang tak bisa menahan tawa.

"Kamu bahagia banget kayanya Alma. Sepertinya kamu selalu bahagia ya," ucapnya.

"Kebahagiaan itu dirasakan bukan dicari. Dan kita dapat merasakan kebahagiaan kalau kita ikhlas terhadap apa yang terjadi," ucapku.

"Alma pinter ya." Pujinya tapi berasa sindiran menurutku.

"Yang lebih pinter emang suka nyindir ya?" ucapku.

"Loh siapa yang nyindir?" tanyanya tak terima.

"Itu tetangga komplek," jawabku asal.

Dia tertawa mendengar jawabanku dan berkata, "Kamu memang perempuan berbeda."

"Maksudnya?" tanyaku.

"Iya kamu perempuan pertama berbeda yang saya kenal. Bahasa kamu ucapannya unik-unik," ujarnya.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Unik dimananya coba? Aku hanya berbicara seperti biasanya, memang ucapanku sering spontan.

"Kang aku itu gak unik lho. Aku hanya bicara seperti biasanya," ujarku.

"Iya-iya," ucapnya menghindari perdebatan.

"Iya-iya mulu," ucapku.

"Kapan? Saya baru sekali loh bicara gitu." Protes kang Arnav.

"Iya-iya," jawabku usil.

"Tuh kan sekarang kamu," ujar kang Arnav.

Kami pun tertawa bersama mentertawakan kebodohan kami.

"Alma kalau kamu harus memilih antara laki-laki yang beragama dengan yang berakhlak kamu pilih mana?" tanya kang Arnav tiba-tiba.

"Ya saya pilih lelaki yang berakhlak," jawabku.

"Kenapa?" tanya kang Arnav.

"Karena yang berakhlak sudah tentu beragama. Sedangkan yang beragama belum tentu dia memiliki akhlak yang baik," jawabku.

"Kenapa nih tiba-tiba nanya gini?" tanyaku kemudian.

"Gak papa nanya aja. Abisnya bingung juga mau ngobrolin apa," ucapnya dengan jujur membuatku menahan senyum.

"Kang Arnav kan punya kakak, itu kakaknya udah nikah belum?" tanyaku.

"Kakak saya belum menikah dan rencananya Insya Allah tahun ini," jawabnya

Rasanya ingin sekali aku menanyakan kalau dia kapan rencana menikah, tapi aku takut pertanyaan itu menjadi bumerang untukku nantinya.

"Kamu anak satu-satunya ya Ma?" tanya kang Arnav

"Iya kang," jawabku

"Gimana rasanya jadi anak satu-satunya dari seorang pak Salman?" tanyanya dengan terkekeh.

"Alma harus banyak bersyukur akan hal itu," jawabku diplomatis.

"Kang jangan berpikiran karena Alma anak satu-satunya dan Alma jadi anak manja," ucapku kemudian.

"Saya tidak berpikiran kesana lho. Kamu memiliki usaha sendiri pun itu sebagai bukti bahwa kamu anak yang mandiri," ucapnya.

"Aku anak BNI kok bukan mandiri," ucapku sambil terkikik geli.

"Haduh suka bingung saya kalau kamu udah gini," ujarnya.

"Bingung kenapa?" tanyaku

"Kamu itu spontanitasnya tinggi dan saya harus berpikir keras untuk menanggapi ucapanmu," jawabnya.

aku tergelak tak bisa menahan tawa mendengar penuturannya.

"Udah ma berhenti tertawa," ucapnya dengan pandangan merenggut yang dibuat-buat.

"Maaf deh maaf, justru Alma yang suka bingung kalau menanggapi ucapan kang Arnav," ucapku

"Bingung gimana?" tanya dia.

"Ya Alma harus mikir panjang dulu kalau mau ngejawab," ucapku. Memang benar kalau aku sering kewalahan menanggapi ucapannya yang mungkin belum terlalu cocok dengan pemikiranku yang masih kacau.

"Saya tidak percaya," ucapnya.

"Yaudah gak papa gak percaya sama Alma mah, yang penting percaya mah sama Allah," ucapku.

"Hahaha iya deh iya percaya," ucapnya dengan tawa.

aku terpaku barang sejenak melihat tawanya, apakah aku akan sanggup kehilangannya? sepertinya kekaguman ku selama ini perlahan telah berubah menjadi cinta.

Berdosakah aku karena mencintai salah satu makhluk Mu sebelum waktunya?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro