12 - Gara-gara Charger
Aku melihat jam di dinding dan menunjukkan pukul 12 malam. Aku bergerak gelisah karena terbangun setelah tertidur kurang lebih hanya 15 menit. Nadin dan Rima yang berada di sebelahku pun tengah tertidur pulas. Aku terduduk dan melihat kalau semua orang tengah tidur.
Ada beberapa orang yang sedang sibuk dengan ponselnya sambil rebahan. Aku mengecek ponsel dan sialnya baterainya tinggal sedikit lagi. Aku merutuki kebodohanku yang lupa tidak membawa powerbank.
Kulihat sekeliling ternyata semua tempat untuk mencharger telah terisi. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikiranku.
Me : Bismillah..
Kang sudah tidur?
5 menit berlalu dan belum ada jawaban. Tiba-tiba ponselku bergetar dan ternyata ada balasan darinya.
Kang Arnav : Belum. Ada apa?
Me : Hp aku mau abis baterainya. Tempat charger dimana ya?
Disini udah penuh semua.
Kang Arnav : Itu dekat sound ada.
Me : Sebelah mana?
Kang Arnav : coba tanya Nadin.
Me : Dia udah tidurL
Kang Arnav : sound yang sebelah kanan. Pas banget dengan hijab penghalang.
Aku melihat sekeliling. Oh mungkin maksudnya yang itu ketika aku melihat memang ada sebuah sound di sebelah kanan.
Me : oh iya. Makasih kang.
Kang Arnav : Sama-sama.
Aku pun mengambil charger hp ku dan berjalan pelan menuju sana.
Setelah sampai disana aku melihat ternyata ada colokan kipas angin yang terhubung. Karena bingung aku pun menghubunginya lagi.
Me : Ada colokan kipas anginnya kang.
Aku menunggu dan tak ada balasan darinya. Aku pun akhirnya melirik ke tempat para pria yang berada di depan dan hanya terhalang hijab. Rupanya dia sedang mengobrol dengan seseorang. Tapi tak lama dia pun melirik ke arahku. Dan dengan segera dia mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya.
Kang Arnav : Cabut aja kipas anginnya.
Me : oh oke.
Aku pun mengikuti perintahnya dan mencabut kipas angin. Setelah menempatkan ponselku di posisi aman agar tidak jatuh karena colokannya cukup tinggi aku pun kembali ke tempat semula. Sebelum itu aku menyempatkan diri untuk menengok sebentar ke arah dimana kang Arnav tengah berbincang.
Aku mengulum senyum dan berjalan pelan-pelan agar tidak mengusik orang lain. Jantungku saat ini tengah berdebar dengan kencang. Melihatnya sedikit saja selalu berhasil membuatku seperti kehilangan akal. Ya seperti sekarang aku tidak berhenti senyum.
***
Selepas melaksanakan shalat subuh berjamaah kami akan melaksanakan kajian subuh. Dan seperti biasa hijab penghalang antara laki-laki dan perempuan akan dibuka. Aku masih membereskan mukena ketika seseorang berkata padaku.
"Permisi, bisa dipercepat?" aku mendongak dan ternyata itu kang Arnav yang akan menggeserkan posisi hijab penghalang.
"Oh ya sebentar," ucapku dan dengan buru-buru kumasukkan mukena pada wadahnya.
Aku duduk di posisi paling depan bersama Nadin dan Rima. Kudengarkan dengan seksama ceramah salah satu ustadz di depan sana. Hingga ucapan ustadz itu membuatku tersenyum, "Tahun sudah berganti, apakah status tidak berganti?" jeda sejenak karena para jamaah tertawa mendengar penuturan ustadz tersebut. "Carilah yang serius bukan yang modus. Yang serius kepada siapa? Tentu saja carilah orang yang serius pada Allah SWT. karena jika dia serius pada Allah, maka akan serius pada kita."
Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar nasihat dari ustadz tersebut. Sebenarnya yang tidak serius disini siapa? Aku atau dia?
"Teman-teman yang di Rahmati Allah, ketika tahun berganti, angkanya bertambah, lalu bagaimana dengan kualitas keimanan kita? Apakah ada peningkatan atau justru malah kembali ke awal?"
Aku terdiam menyimak pembahasan dari ustadz. Bagaimana dengan kualitas keimanan ku sekarang? Rasanya banyak sekali hal yang telah aku lewatkan di tahun sebelumnya. Ketika jodoh adalah cerminan diri, lalu kualitas apa yang kupunya untuk itu?
Kita memang sering mengharapkan jodoh yang sempurna, tapi lupa bahwa diri ini pun tak sempurna. Bagaimana kita bisa mencintai makhluk dengan benar, jika kita pun tak bisa mencintai penciptanya dengan benar.
Aku tenggelam dalam pembahasan ustadz yang ringan namun begitu mengetuk pintu hatiku. Hingga tak sadar pada waktu saat ustadz itu menutup ceramah dengan ucapan salam.
"Mau sarapan gak?" tanya Nadin ketika kami tengah duduk di tempat paling belakang barisan dekat dengan jendela. Jangan tanya Rima kemana, dia tengah tertidur pulas sekarang dan itu juga alasan kami masih disini saat orang lain telah keluar dari masjid.
"Enggak ah," jawabku. Karena memang aku tak lapar.
"Yaudah kalau gitu aku aja yang bawa sarapan. Sekalian buat Rima," ujar Nadin dan bangun dari duduknya.
Sarapan yang dimaksud Nadin adalah sarapan yang disediakan oleh panitia.
Sudah mau 15 menit dan Nadin tak kunjung kembali. Ku tengok dari jendela rupanya dia sedang bersama panitia lainnya. Aku menghembuskan napas dan melirik Rima yang tertidur pulas.
Tiba-tiba aku ingin pergi ke kamar mandi. Kulirik sejenak keluar ada kang Arnav di dekat jendela di luar itu artinya jika aku lewat pintu depan aku akan melewatinya. Akhirnya kuputuskan untuk lewat pintu samping saja.
Aku berjalan dengan menunduk dan ketika ada seseorang yang kurasa juga berjalan bersebrangan denganku dengan segera kuangkat kepala dan aku sedikit terkejut ternyata itu kang Arnav yang tengah berjalan berlawanan arah denganku.
Kenapa harus berpapasan? Padahal niatku lewat pintu ini supaya tidak bertemu dengannya. Kami saling berpapasan tanpa menyapa. Entah perasaanku saja atau bukan, dia sedikit kikuk. Aku mengerti mungkin karena disana ada teman-temannya dan bisa menimbulkan banyak spekulasi jika kami bertegur sapa.
---
Aku merebahkan diri di kasur setelah sebelumnya mandi dan berganti pakaian. Mataku cukup ngantuk karena semalaman aku tak bisa tidur, tapi kejadian demi kejadian dari kemarin terus berputar di kepalaku hingga membuatku tak bisa menutupkan mata.
Sesekali aku tersenyum seperti orang gila saat membayangkan tentang kang Arnav. Memang tidak ada hal-hal istimewa yang terjadi, namun perlakuan kecilnya cukup membuatku selalu tersenyum. Hal kecil yang membuat hatiku selalu berbunga-bunga tapi di waktu yang bersamaan membuatku takut.
Iya aku takut jika ternyata apa yang aku rasakan sekarang ini tak akan berujung seperti apa yang aku harapkan.
Memangnya apa yang kuharapkan? Rasanya ingin kubenturkan kepalaku dengan segala pemikiran plin plan ku ini.
Baiklah aku memang menginginkannya, dia adalah lelaki yang kuidamkan. Walaupun mengenalnya begitu singkat tapi rasanya perasaanku sudah tertanam begitu hebat. Kriteria suami idaman yang aku tuliskan sepertinya semuanya ada padanya. Tapi yang kuragukan, apakah kriteria istri idaman versi dia ada padaku?
Selamat menunaikan ibadah puasa 1442 H, semoga kita semua bisa memaksimalkan ramadhan tahun ini dengan kegiatan yang bermanfaat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro