Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T.w.e.n.t.y-s.i.x

Natasya sudah tak mau lagi memedulikan Claudya. Ia sudah memberi Claudya pilihan, hanya tinggal memerhatikan keputusan apa yang akan Claudya ambil.

Beberapa minggu ini, ia juga mendapat laporan dari guru les Claudya. Ternyata Claudya sudah jarang masuk les. Natasya tak mempermasalahkan lagi. Ia tinggal menunggu berita itu sampai kepada suaminya. Biar suaminya saja yang mengurus. Percuma ia memarahi Claudya hingga mulutnya berbusa, Claudya tetap tak takut dengannya. Berbeda dengan Herlambang, lelaki itu punya ketegasan yang sangat-sangat ditakuti Claudya. Natasya yakin satu gertakan dari Herlambang akan membuat Claudya kembali menuruti semua perintah mereka.

"Mas, kamu juga mendiamkan Claudya?" tanya Natasya. Mereka baru saja menghadiri acara arisan rutin. Tiba-tiba Natasya teringat dengan kejadian saat ia tak ada di rumah. Ketika suaminya marah besar sampai menghancurkan alat lukis Claudya.

"Hm. Kenapa? Dia makin menjadi?"

Ini mungkin kesempatannya untuk membuat suaminya lebih memerhatikan Claudya. Ia menunjukkan obrolannya dengan guru les Claudya. Ia berharap suaminya akan menegur Claudya supaya anaknya kembali menurut lagi dan tidak berpikir untuk benar-benar pergi dari rumah.

"Anak itu maunya apa, sih?"

"Menurut Jessica, dia pacaran sama cowok di sekolahnya. Mungkin tiap sore mereka jalan-jalan bareng makanya Claudya nggak les."

Untuk masalah ini, sebenarnya Herlambang sudah mengetahuinya melalui CCTV rumahnya. Bahkan bukan sekali ia melihat cowok itu mengantar Claudya. Herlambang diam karena ia ingin memastikan dulu siapa dia. Begitu Natasya memberitahu dia pacar Claudya, emosi Herlambang langsung naik.

"Harus diberi pelajaran itu anak supaya nurut."

Mereka telah sampai di rumah. Herlambang langsung menuju kamar Claudya. Lelaki itu tak mengetuk pintu lagi. Ia langsung menerobos masuk dan mendapati Claudya sedang mengerjakan sesuatu di meja belajarnya.

"Papa?" Claudya langsung menyembunyikan kertas yang sedang dikerjakannya di bawah buku biologi.

"Selama nggak les kamu ke mana?"

Mampus! Claudya langsung memasang wajah takut. Padahal ia sudah mencari berbagai alasan untuk membolos les. Guru lesnya mengizinkan karena ia membawa nama ibunya. Namun, sepertinya guru lesnya itu hanya mengiyakan di depannya, di belakang ia melaporkannya sehingga kabar ini akhirnya sampai di telinga kedua orang tuanya.

"Aku udah bilang ke Papa kalau di sekolah juga ada jadwal belajar tambahan."

"Papa juga udah bilang ke kamu kalau lebih baik kamu bolos pelajaran tambahan. Papa nggak yakin di sekolah kamu bakal dapetin materi yang bagus sama kayak di tempat les."

"Aku lebih nyaman belajar di kelas, Pa. Di tempat les nggak ada teman diskusi."

"Nggak ada teman diskusi atau karena nggak ada pacarmu menemani?"

"Pasti Mama ngadu ke Papa kalau aku pacaran sama Magenta, kan?" Claudya memutar bola mata. Bisa-bisanya ayahnya juga percaya pada berita bohong macam itu. "Pa, Jessica itu cuma menghasut Mama biar marahin aku. Karena dia nggak suka sama aku. Dia iri ke aku."

"Jangan mengada-ngada. Menurut Mamamu Jessica lebih baik dari kamu."

Jleb! Sepertinya dada Claudya ditusuk ribuan sembilu hingga rasanya amat sakit. Bagaimana bisa seorang ibu lebih memercayai perkataan orang lain daripada anaknya?

"Aku berani sumpah aku nggak pacaran sama Magenta."

"Lalu, kenapa dia pernah nganter kamu pulang?"

Mata Claudya semakin membulat. "Papa tahu dari mana?"

"Kamu lupa CCTV yang terpasang di setiap sudut rumah ini? Kenapa dia masuk ke kamar kamu? Apa yang kalian lakukan?"

Claudya hampir lupa bahwa rumahnya terpasang banyak sekali CCTV, kecuali di kamarnya dan kamar mandi. Bagaimana bisa ia bertindak setolol ini dengan membawa Magenta masuk ke kamar?

"Papa jangan berpikiran aneh, aku cuma memberikan sesuatu pada Magenta."

"Harus masuk ke kamar?"

Claudya tak lagi menjawab. Hal itu membuat Herlambang merasa frustrasi.

"Mana hasil ulangan harian kamu?" Herlambang beralih ke masalah nilai ulangan. Oke, ia memberi toleransi saat ini. Namun, jika nilai ulangan Claudya juga sama hancurnya, ia tak segan-segan memberinya hukuman paling berat agar jera.

Claudya sudah dapat memastikan ia takkan selamat sekarang. Bayangan ayahnya marah dan melempar semua alat lukisnya kini kembali terngiang. Membuat Claudya menggigil ketakutan.

"Mana?!" Bentakan ayahnya membuat tangan Claudya refleks memberikan beberapa kertas ulangan hasil minggu lalu.

Herlambang meneliti kertas-kertas itu. Nilainya benar-benar hancur. Semua di bawah tujuh. Apalagi matematika hanya mendapat empat. Satu kertas yang membuatnya meledakkan emosi. Formulir pengajuan beasiswa untuk jurusan seni rupa. Herlambang langung melempar kertas itu ke wajah Claudya.

"Apa maksudnya itu?"

"Aku bisa jelasin."

"Benar, ya, Claudya. Kamu udah nggak bisa dibilangin. Sekarang mau apa? Mau ngelukis?"

"Pa, sekali aja turutin kemauan aku. Aku capek hidup dikekang terus. Aku mau melakukan hal-hal yang aku inginkan. Aku nggak mau hidup dengan cara dikendalikan oleh kalian. Aku bukan sanderaan."

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Claudya. Refleks Claudya langsung memegang pipinya yang berkedut nyeri.

"Sanderaan? Adakah sanderaan yang diberi makanan layak? Difasilitasi segalanya? Diberi kemewahan?" Ayahnya berbicara tepat di depan wajah Claudya dan itu membuatnya merasa semakin terintimidasi. Tubuh Claudya terguncang karena isakan tangis yang semakin kencang. "Kamu udah kurang ajar!"

"Pa ...," lirih Claudya.

"Diam!"

Herlambang langsung meninggalkan Claudya yang masih mempertahankan posisinya, meski kakinya sudah tak berdaya untuk menopang tubuhnya yang lemas.

"Arrghhhhh ...." Lagi, Claudya merasa ia sudah tak memiliki harapan. Orang tuanya sangat keterlaluan. Ia tak menyangka bisa dilahirkan di keluarga yang tak memiliki hati sama sekali. Lebih baik Claudya menghentikan semuanya sekarang.

Claudya berjalan sempoyongan ke arah nakas dan mengambil obat tidurnya. Ia tak ingat berapa butir yang ia ambil dari wadah obat itu. Ia langsung menelannya tanpa bantuan air putih. Tenggorokannya langsung sakit. Namun, itu hanya berlangsung beberapa menit. Karena selanjutnya ia kehilangan kesadaran.

***

Pagi-pagi sekali asisten rumah tangga Claudya sudah berteriak histeris. Ia sangat kaget ketika membuka pintu kamar majikannya. Claudya terbaring lemah di lantai. Wajahnya pucat seperti mayat.

"Tuan!" Ia langsung berlari menemui Herlambang di kamar. "Tuan!" Ia menggedor kamar Herlambang yang tertutup.

"Kenapa, Bi?" Herlambang yang baru selesai berpakaian langsung membuka pintu dan menemukan asisten rumah tangganya dengan wajah penuh ketakutan.

"Non Claudya, Non Claudya ...."

"Claudya kenapa?" tanya Natasya.

"Non Claudya, Nyonya ...." Ia tak bisa melanjutkan ucapannya karena tenggorokannya seolah tercekat. Ia terlalu takut, seluruh tubuhnya gemetar.

Herlambang dan Natasya langsung berlari ke kamar Claudya. Pikiran Herlambang langsung dipenuhi oleh hal-hal negatif. Ia takut Claudya melakukan hal di luar batas karena semalam ia sudah menamparnya.

Dan benar saja, ketika ia sampai di kamar Claudya, anaknya terbaring di lantai dengan tubuh yang seluruhnya dingin. Ia langsung memeriksa denyut nadinya. Bersyukur masih terasa meski sangatlah lemah. Matanya menemukan benda kecil, di sekitarnya banyak butiran obat. Ia memeriksa dengan teliti kiranya obat apakah itu.

"Sial, obat tidur!"

Natasya menangis melihat putrinya terkulai tak berdaya. "Overdosis?" tanya Natasya dengan suara bergetar.

"Kemungkinan iya. Cepat suruh Pak Tarno siapkan mobil. Biar kita bawa Claudya ke rumah sakit sekarang sebelum semuanya terlambat."

Natasya langsung berlari mencari Pak Tarno di belakang. Selanjutnya mereka membawa Claudya ke rumah sakit.

Natasya sangat cemas sekarang. Ia tak henti-hentinya menatap wajah Claudya yang pucat. "Claudya, bertahan."

***

[1105 kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro