T.h.i.r.t.e.e.n
Sejak kepergok oleh Agnes tadi pagi, pikiran Claudya melantur ke mana-mana. Hatinya pun ikut bertanya-tanya. Apakah ini langkah awal untuk mengekspos dirinya ke publik? Namun, Claudya masih ragu. Ia takut ketenangannya terusik. Tetapi ia juga ingin mendapat perhatian dari yang lain. Setidaknya ia dikenal sebagai orang yang memiliki bakat bukan sebagai Claudya yang pendiam. Sudah pasti ia akan dipuji. Bukankah itu bagus? Ibunya sering menyuruh Claudya untuk tampil sempurna agar ia dipuji.
Hanya saja pujian ini akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Bagaimana pun ia tahu ayahnya tak pernah menyukai Claudya melukis. Kalau berita tentang Claudya sering mengirimkan lukisannya di mading sampai di telinga ayahnya, sudah dipastikan Claudya tak akan selamat. Ia pasti dimarahi habis-habisan oleh ayahnya.
"Arrgghhhh ...." Claudya mengerang sambil menjambak rambutnya.
Mendengar suara Claudya, Magenta langsung menoleh dan bertanya,"Lo kenapa?"
Magenta khawatir karena ini kali pertama ia melihat wajah Claudya sekusut itu. Matanya memerah entah karena menahan tangis atau menahan kantuk.
Claudya tak menggubris pertanyaan Magenta, ia semakin menarik rambutnya hingga beberapa ada yang rontok. Dengan sigap Magenta menghentikan gerakannya.
"Claudya, are you okay?" Tangan Magenta mencoba menguraikan kepalan tangan Claudya agar terlepas dari rambutnya. Namun, susah sekali. "Bisa lepas, Clau? Rambut lo ntar ketarik semua."
Setelah percobaan yang entah keberapa, akhirnya Claudya menguraikan kepalan tangannya. Cewek itu mengembuskan napas kasar.
"Bumi, telan gue!" Ia bergumam, tetapi Magenta masih bisa mendengarnya. Cowok itu tadinya khawatir, kini malah menahan tawa karena tingkah Claudya yang menurutnya lucu. Sekarang Claudya membenamkan wajahnya di lipatan tangan. Tertidur.
Magenta memerhatikan Claudya lama sekali. Dari mulai posisi tidur kepalanya tersembunyi oleh kedua tangannya, sampai posisi tidur Claudya kini menyamping ke arahnya. Napas Claudya teratur dan sama sekali tidak terganggu oleh kebisingan kelas.
Lagi-lagi Magenta menyunggingkan senyum. Entah mengapa melihat wajah tenang Claudya bisa sebahagia ini. Degup jantungnya semakin menggema. Magenta menyukai ritmenya yang cepat dan konsisten.
Ah, jatuh cinta memang menyenangkan. Apalagi jika orang yang dicintai Magenta balik mencintainya. Mungkin dunianya akan jauh lebih indah. Sayangnya, Magenta masih perlu merobohkan benteng bernama keangkuhan yang menjadi tameng Claudya.
***
"Lo udah lihat profil pelukis Dya itu?" tanya Dion tiba-tiba.
"Udah ketahuan?" Magenta malah balik bertanya. Ia masih menikmati nasi goreng kesukaannya. Dion biarkan saja mengoceh, toh itu memang keahliannya.
"Lo mesti lihat, Ta. Kalau gue yang bilang lo pasti nggak akan percaya."
"Kapan, sih, gue meragukan lo, Yon?"
"Hampir tiap ulangan lo meragukan nilai yang gue dapat," jawab Dion sambil memberengut kesal. Faktanya memang begitu. Jika Dion mendapat nilai bagus, meskipun bukan hasil dari menyontek, Magenta pasti meragukannya. Lalu, ia akan menuduh yang tidak-tidak.
"Gue emang nggak bisa percaya dengan kemampuan otak lo, Yon. Ulangan kemaren aja lo duduk sama Jessica biar nyontek, kan?"
"Iya, matematika emang harus nyontek. Kalau nggak nanti gue malah kejang-kejang di tempat. Puas lo?!"
Magenta tertawa terbahak-bahak melihat Dion merajuk.
"Ta, gue serius lo harus lihat mading sekarang."
"Oke, sampe nasi goreng ini abis. Ntar gue lihat profil si Dya itu."
Dion menopang dagu menunggu Magenta menghabiskan nasi gorengnya.
"Ayo!" Magenta berdiri mengajak Dion menuju mading. Ia merangkul sahabatnya itu, berjalan bersisian sambil sesekali saling cubit.
"Lo nyubitnya kecil, Magenta, perih tangan gue," bentak Dion. Ia melepaskan rangkulan Magenta. Lalu, balas mencubit tangan Magenta.
"Aw." Magenta meringis sambil memegangi bekas cubitan Dion yang memerah.
Aksi saling cubit ini lama-lama pasti akan berujung perkelahian. Sebelum itu terjadi, Dion sudah berlari tunggang-langgang.
Di depan sana sekumpulan manusia berseragam sedang melihat lukisan terbaru milik Dya berikut profil lengkap pelukis itu. Magenta dan Dion berdesak-desakan supaya bisa melihat profil itu dengan jelas.
"Permisi, permisi." Dion menyikut beberapa orang yang menghalanginya. Ia langsung mendapat hadiah pelototan dan makian dari mereka. Lalu, Dion nyengir sambil bilang maaf.
Lukisan pantai saat senja begitu memesona. Magenta sempat terkagum-kagum. Namun, itu tak berlangsung lama. Tulisan di bawahnya membuat jantung Magenta terasa berhenti.
Profil pelukis
Nama : Claudya Renjana Prameswari
Kelas : XII IPA 1
Mulut Magenta menganga melihat nama orang yang ia kagumi tertera di mading. Dya adalah Claudya. Magenta hampir tak bisa percaya.
***
Satu minggu setelah nama Claudya terkenal di seluruh penjuru sekolah, banyak sikap teman-teman sekelasnya yang berubah. Jika biasanya mereka tak peduli pada Claudya, sekarang mereka sering menyapa cewek itu. Mereka mengajak Claudya ke kantin, mengajak pulang bareng meski selalu Claudya tolak. Claudya masih merasa asing dengan suasana ini. Namun, ia senang karena banyak orang yang ramah padanya dan menganggapnya ada.
Namun, di antara teman yang menyukainya, ada saja yang iri pada Claudya. Siapa lagi kalau bukan Jessica. Cewek bule itu kesal setengah mati karena seluruh perhatian kini mulai tertuju pada Claudya.
"Serang nggak?" bisik Audrey ketika mereka hendak melewati Claudya yang berjalan berjalan di depan mereka.
"Jangan pake cara gitulah, yang ada ntar Jessica di-bully sama warga sekolah yang nge-fans sama itu orang." Niki menanggapi.
"Terus kita harus gimana, Jess?" Audrey merasa putus asa karena di otaknya tak ada cara untuk menjatuhkan Claudya.
Jessica menjentikkan jari. "Gue ada rencana."
"Apa?"
"Kalian udah pada tahu kan kalau konsultan kecantikan gue dokter Natasya, ibu Claudya?"
Mereka berdua kompak mengangguk.
"Gimana kalau kita jelek-jelekin Claudya di depan ibunya?" Niki mengernyitkan dahi. Jessica mencoba memberi penjelasan sedetail mungkin. "Gini, loh, gue dapet info dari temen SMP-nya Claudya, katanya tuh anak sering dikekang orang tuanya buat ranking satu di kelas, makanya dia dimasukin ke tempat les. Nah, gimana kalau gue kasih tau orang tuanya Claudya suka melukis? Otomatis kan orang tuanya ngelarang karena jadwal belajarnya akan tersita oleh kegiatan melukis."
"Lo yakin ibunya akan marah?"
"Seratus persen gue yakin. Menurut gue karakter dokter Natasya ini ambisius. Kalian pasti tahu orang yang ambisius tuh pasti bakal make cara apapun buat wujudin keingannya."
"Ayo, coba."
"Oke, sebagai penguat argumen dan ngedukung setiap ocehan gue di sana, kalian berdua boleh ikut konsultasi sama gue hari ini. Sekalian kalo lo mau beli produk kecantikan punya dokter Natasya silakan gue yang bayar."
"Punya sahabat baik bener."
***
Pukul sepuluh malam Claudya baru saja akan melaksanakan ritual mencampur cat sehingga membentuk sebuah gambar di kanvas. AC sudah menyala, kursi sudah nyaman diduduki, dan suasana tenang sangat mendukung untuk mengumpulkan inspirasi. Ia merenung sejenak, kiranya hari ini ia akan melukis apa. Sebuah ide melintas. Hutan pinus. Ia ingin sekali berjalan-jalan di hutan pinus untuk menikmati keindahannya dan merasakan ketenangannya. Lalu, ...
Tuk tuk tuk!
Pikirannya buyar saat pintu kamarnya diketuk. Ah, siapa yang mengganggunya?
Claudya membuka pintu. Ternyata yang mengetuk pintu adalah asistem rumah tangganya.
"Kenapa, Bi?"
"Nyonya sama Tuan sudah pulang."
"Hah?"
Claudya kalap. Ia langsung masuk kamar. Kemudian membereskan semua peralatan lukisnya dan ia taruh di kolong ranjang. Selanjutnya, Claudya mengeluarkan buku kimia dari dalam tas dan duduk dengan nyaman di meja belajar. Ayahnya pasti akan ke sini. Claudya yakin.
Brak!
Pintu dibuka secara kasar. Claudya langsung kaget dan menoleh ke sumber suara.
"Sedang apa kamu?" tanya Herlambang tegas.
"Belajar, Pa." Claudya mengangkat buku kimianya. Jantung Claudya berdebar. Mengapa ayahnya bersikap seperti itu? Apa Claudya membuat kesalahan
"Keluarin semua barang dalam tasmu!"
"Memang kenapa?"
"Turutin perkataan Papa."
Claudya mengambil tasnya. Ia mengeluarkan seluruh isinya satu persatu.
"Tas yang lain?"
"Aku pake yang ini aja."
Ayahnya mengabaikan tas dan isinya itu. Kini ia berjalan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu.
"Kamu nyembunyiin alat lukis di mana?"
"Lukis? Aku nggak ngelukis, Pa."
"Temanmu bilang ke Mama katanya kamu sering menempelkan lukisanmu di mading."
Ah, pasti ini ulah Jessica, pikir Claudya.
"Aku nggak ngelukis, Pa, sumpah!"
Ayahnya masih mencari benda yang berhubungan dengan kegiatan melukis. Namun, setelah sepuluh menit berkeliling di kamar, ia tak juga menemukannya.
"Oke, kalo besok kamu kepergok ngelukis Papa nggak akan segan-segan untuk menambah jadwal les kamu."
"Iya, Pa."
"Sudah, lanjutkan belajarnya."
Ayahnya keluar dari kamar. Claudya langsung mengembuskan napas lega.
***
[1272 kata]
Harap maklumi segala ke-typo-an, kalimat tidak efektif, dan kesalahan lainnya. Ngetiknya udah pake sistem kejar tayang macem sinetron yang fenomenal :v
Akan diedit setelah ODOC selesai. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro