T.e.n
Ulangan harian matematika di jam pertama adalah momok yang membuat seluruh murid deg-degan dan ketar-ketir. Dion yang notabene memiliki otak minim ingin sekali mengutuk pelajaran sialan ini. Andai ia bisa duduk di belakang, lalu membawa kertas kecil berisi rumus-rumus geometri. Mengeluarkan ponsel canggihnya untuk menghitung agar tidak meleset angkanya. Ah, tentu nilainya akan lebih baik dari sebelumnya.
"Jess, gue duduk bareng lo, dong," pinta Dion usai menyalin rumus geometri satu kertas penuh.
"Gue tahu akal bulus lo. Asal gue minta setengah jawabannya."
"Gila aja."
"Gue bisa ngalihin fokus Pak Dadan."
"Deal."
Tanpa banyak berpikir lagi, Dion langsung membawa tasnya dan bertukar tempat duduk dengan Olla. Kini ia duduk dengan Jessica yang seratus persen pasti sudah siap dengan contekan di kolong mejanya.
Satu per satu murid kelas IPA 1 masuk ke kelas. Agnes datang dengan napas memburu seperti habis dikejar kuntilanak. Ia langsung menggebrak meja Icha sampai cewek itu terperanjat.
"Nes, lo sehat?" Icha menempelkan punggung tangannya pada kening Agnes. Sedangkan cewek berkucir kuda itu masih mengatur napas.
"Lukisan itu dikirim lagi ke redaksi!" pekik Agnes membuat seluruh murid terfokus pada dirinya.
"Lukisan inisial Dya?" tanya Robert memastikan.
"Iya. Gue udah tempel di mading tadi."
"Bukannya lo udah nempelin pengumuman prosedur ngirim karya ke redaksi? Terus ngapain masih ditempel kalau dia ngirimnya nggak sesuai ketentuan?" Robert yang merupakan bagian dari tim redaksi mading merasa tindakan Agnes salah.
"Gue nggak bisa mempertimbangkan dulu. Lukisan itu benar-benar bagus, Robert. Gue bisa merasakan kebahagiaan pelukisnya lewat lukisan itu."
"Ya ..., tapi seenggaknya lo diskusi dulu sama tim lo."
"Udah terlanjur gue pasang."
"Kok, lo ...."
Kalimat Robert terputus oleh suara murid di sebelahnya yang memberitahukan bahwa Pak Dadan, guru matematikanya, sudah masuk kelas.
"Pak Dadan serem banget," bisik Icha pada Agnes.
"Kumis sama jenggotnya yang panjang yang bikin serem, kayak dukun yang biasa manggil jaelangkung," balas Agnes sambil terkikik.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Pak Dadan. Ia mencoba mencairkan dulu suasana yang tegangnya sudah melebihi pertunjukan debus. "Sudah siap ulangan?"
"Belum, Pak," jawab seluruh murid serentak.
Pak Dadan menghentakkan kakinya ke lantai. "Oh, kalian mau nilainya nol semua di ulangan hari ini?"
"Eh, nggak, Pak," jawab salah seorang dari mereka. "Beri waktu buat ngapalin, Pak."
"Ngapalin apanya? Memang pelajaran saya sama kayak pelajaran sejarah mesti dihapalin?"
"Ngapalin rumusnya kali, Pak," celetuk Dion.
"Rumus nggak usah dihapalin, mumet. Kalau kalian paham pasti bisa ngerjainnya. Oke, keluarin alat tulis. Ponsel simpan di atas meja. Yang ketahuan nyontek langsung saya kasih nilai nol."
Selanjutnya Pak Dadan membagikan satu lembar soal, satu lembar untuk mengisi jawaban, dan satu lembar kertas buram untuk corat-coret saat menghitung.
"Selamat berpikir," kata Pak Dadan. Ia kini duduk di kursinya sambil melipat tangan di dada. Matanya tak henti-henti memerhatikan seisi kelas, barangkali ada yang menyontek.
Dari semua murid, cuma Magenta dan Claudya yang duduk kalem dan tak banyak bersuara. Kalau Magenta sudah jelas memahami materi dengan baik. Ia tak kesulitan mengisi soal demi soal dari level mudah sampai sulit. Sedangkan Claudya kalem karena ia sudah memiliki jawabannya. Ia hanya tinggal mengganti angka dan menghitung ulang.
Cewek itu menyimpan sebuah kertas buram di bawah sepatunya. Sebelum berangkat sekolah tadi, ia menyalin seluruh rumus dan menulis beberapa soal berikut jawabannya. Pak Dadan orangnya malas. Setiap membuat soal ulangan, ia cuma mengganti angka di soal yang ada di buku materi. Tentu saja hal itu menguntungkan bagi Claudya.
Sekarang tinggal memperhitungkan waktu yang pas untuk mengambil kertas buram itu di bawah. Mata elang Pak Dadan sangat buas dan seperti siap menerkam siapa saja yang ketahuan menyontek. Maka dari itu Claudya harus hati-hati.
Sebuah ide brilian muncul di kepalanya.
Brak!
Kotak kecil berisi alat tulisnya sengaja Claudya senggol. Kertas-kertas yang ada di meja pun sengaja ia jatuhkan. Semua orang tak berani menatap ke suara benda jatuh itu. Pak Dadan pasti akan marah bila fokus mereka teralihkan.
"Yang belakang kenapa?" tanya Pak Dadan.
"Alat tulis saya jatuh, Pak," jawab Claudya sembari menyimpan kertas buram dari Pak Dadan dan mengambil kertas miliknya di bawah sepatu. Ia menyelipkan kertas itu di antara lembar soal dan jawaban. Selanjutnya ia kembali duduk, bersikap seolah-olah ia sedang menghitung di kertas buram yang penuh dengan rumus itu.
Magenta tak menyadari tindakan Claudya karena ia terlalu fokus pada soal yang belum juga ia pecahkan.
Claudya tersenyum karena rencananya berhasil. Ya, inilah Claudya. Murid yang semester lalu berhasil menggeser posisi Magenta berkat kelicikannya.
***
Usai Pak Dadan keluar dari kelas, semua murid IPA 1 mengembuskan napas lega. Dion langsung bersorak gembira karena ia bisa sukses menyontek. Ia joget-joget, jingkrak-jingkrak, bahkan sampai salto. Jessica menoyor kepala Dion karena merasa risih dengan tindakan anarkisnya.
"Woy, anak cupang, diem lo!" Jessica berteriak untuk menghentikan kegilaan Dion.
"Jess, gimana kalau kita jadi partner mulai sekarang?"
"Dengan satu syarat."
"Apa?"
"Comblangin gue sampe jadian sama Magenta."
"Oh, tidak bisa. Hati Magenta sudah terisi oleh seseorang." Usai mengatakan itu, Dion refleks menutup mulutnya. Sial, ia hampir keceplosan. Bisa gawat kalau misalkan Dion memberitahu Jessica bahwa Magenta menyukai Claudya, bisa habis Claudya di tangan nenek lampir itu.
"Serius? Siapa? Anak kelas mana?"
"Nggak, deng. Tapi, gue nggak bisa comblangin karena Magenta nggak suka lo. Ada tawaran lain?"
"Gak. Sana lo balik ke tempat asal." Jessica melempar tas Dion dan benda itu langsung mendarat di muka cowok itu. Ia memanggil Olla untuk duduk bersamanya lagi.
"Jess, lo tadi nyontek?" tanya Olla saat ia melihat kertas milik Dion di kolong mejanya.
"Eh, itu bukan punya gue. Milik si kutu kupret Dion."
"Gue bakal aduin ke Pak Dadan."
"Olla, nggak usah repot-repot. Lo urus aja masalah lo, jangan campurin masalah orang lain," kata Audrey saat ia mendengar ancaman Olla. Karena kalau cewek tomboy itu mengadu pada Pak Dadan, bukan cuma Dion yang kena. Pak Dadan pasti memeriksa semua kolong meja dan sudah pasti semua murid yang nyontek bakal kena imbasnya.
"Lo emang nggak nyontek, La? Jangan munafik, deh. Kayak ngerasa bener aja nilai bagus tanpa nyontek. Nih, kalau lo perhatiin hampir seluruh orang di sini liat buku atau searching google. Yang paling pinter juga bisa aja nyontek, cuma dia bisa nutupinnya aja."
Olla langsung diam, malas berdebat.
Sedangkan di pojok sana, Claudya merasa tertohok oleh kata-kata pedas Jessica. Meski ucapan cewek bule itu tak merujuk padanya, tapi Claudya merasa tersindir. Ialah orang yang munafik. Di mata orang lain memang terlihat paling pintar. Nyatanya ia hanya pintar menutupi kelicikannya.
***
[1051 kata]
Harap maklumi segala ke-typo-an, kalimat tidak efektif, dan kesalahan lainnya. Ngetiknya udah pake sistem kejar tayang macem sinetron yang fenomenal :v
Akan diedit setelah ODOC selesai. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro