Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

F.i.f.t.e.e.n

Hari-hari Claudya semakin memburuk sejak kepergok menyontek oleh Magenta. Cowok itu selalu menemukan cara untuk menggagalkan rencananya. Saat pelajaran matematika, Magenta menendang kakinya hingga kertas berisi rumus di bawah kakinya itu hilang entah ke mana. Saat pelajaran sejarah, Magenta juga menyembunyikan buku yang sudah Claudya taruh di kolong meja. Saat pelajaran bahasa Indonesia, cowok itu juga mengambil ponsel yang Claudya sembunyikan di tempat pensilnya. Claudya geram. Kali ini cewek itu mengeluarkan semua emosinya. Ia memaki Magenta tanpa ampun.

"Lo nggak mau bilang ke guru kalau gue nyontek. Sekarang lo malah gagalin semua rencana gue. Lo maunya apa, sih, Magenta?"

Mereka sedang berada di ruang musik. Claudya perlu tempat yang kedap suara untuk memarahi Magenta. Karena kalau ia mengamuk di tempat yang ramai, bisa-bisa ia menjadi sorotan satu sekolah. Namanya sudah mulai bagus di kalangan murid, ia tidak mau gara-gara Magenta reputasinya akan jelek lagi.

"Gue udah ngingetin lo buat belajar, Claudya."

Sebenarnya Magenta tak tega bila harus membuat cewek itu kesusahan, tetapi Magenta ingin bersaing secara sportif. Ia juga ingin Claudya berubah. Bagaimana pun menyontek adalah tindakan yang salah.

"Gue bukan lo, stop menyamaratakan kemampuan orang."

"Gue tahu kalau lo berusaha sedikit aja, lo bisa dapetin apa yang lo mau."

Claudya tertawa sinis. "Tau apa lo tentang hidup gue? Gausah sok tahulah, lo nggak bisa ngerti kalau lo belum pernah ada di posisi gue."

Magenta diam. Membantah amukan Claudya mungkin akan berakibat fatal. Jadi, cowok itu membiarkan Claudya mengeluarkan semua unek-uneknya.

"Lo nggak bisa ngatur orang sesuai kehendak lo. Lo mau gue belajar kayak lo, padahal gue beda sama lo. Lo memiliki orang yang bisa dukung lo, sedangkan gue nggak. Berhenti bersikap peduli. Biarkan gue ngejalanin hidup gue tanpa gangguan lo. Karena setiap orang punya masalahnya masing-masing dan lo seharusnya nggak mencampuri itu."

Selanjutnya Claudya meninggalkan Magenta yang masih terpaku karena kalimat penuh penekanan Claudya yang terasa menyakitkan. Bukan, bukan menyakitkan hati Magenta, tetapi kalimat itu seolah menjelaskan bahwa Claudya memang sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Cewek itu sedang menahan lukanya. Dan Magenta tak tahu alasan cewek itu terluka.

***

UTS telah berakhir dan hasilnya sudah diumumkan. Claudya menerima semua rekapan nilai dari seluruh pelajaran dan emosinya langsung mendidih. Dari seluruh pelajaran, nilai yang ia dapat semuanya di bawah tujuh.

Claudya menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Menangis tanpa suara.

Tidak ada alasan untuk membela diri di depan ayahnya. Claudya juga tidak bisa mengatakan sejujurnya bahwa nilai-nilainya semester lalu adalah hasil menyontek. Claudya terlalu takut pada amukan ayahnya.

Perasaan Claudya sudah tak keruan. Ia malas untuk pulang ke rumah dan menerima amarah kedua orang tuanya. Namun, tidak pulang juga sama saja nyari mati. Claudya merasa serba salah.

Bel pulang sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, tetapi Claudya tetap dalam posisi yang sama. Ia tak memiliki tenaga, bahkan untuk sekadar berdiri.

Magenta memerhatikan Claudya sejak tadi, sejak kertas berisi nilai itu dibagikannya. Ia merasa bersalah. Kalau keadaannya akan sekacau ini mungkin Magenta takkan menggagalkan rencana Claudya.

"Lo mau gue anterin pulang?" tanya Magenta hati-hati. Sudah beberapa hari ini cowok itu tak mengajak Claudya berbicara. Ia takut menyakiti perasaan Claudya. Sejak pembicaraan di ruang musik hari itu, Magenta sadar bahwa Claudya bukan sengaja menyontek. Namun, keadaan yang memaksanya. Magenta belum mengetahui alasan itu, tetapi cowok itu mencoba mengerti.

Claudya geming. Ia merasa kepeduliaan Magenta itu sama sekali nggak berguna. Cowok itu cuma bisa mengacaukan hidupnya dan menambah beban di pundak Claudya.

"Lo mau sampe kapan duduk kayak gitu? Semua orang udah pada pulang, Claudya."

Magenta masih berusaha membujuk Claudya agar pulang. Seluruh murid sudah meninggalkan kelas. Tinggal mereka berdua yang masih di sini. Magenta tak tega bila harus meninggalkan Claudya sendirian.

"Gue minta maaf, Claudya."

Lagi, Claudya mengabaikan Magenta.

"Gue nggak tahu lo punya masalah apa, tapi kalau lo mau cerita, gue siap dengerin."

Claudya bangkit dari posisinya secara tiba-tiba. Lalu menggebrak meja. "Banyak omong lo!" Kemudian, cewek itu menyampirkan tasnya di pundak dan meninggalkan Magenta.

Pak Tarno ternyata menunggu Claudya di depan kelasnya. Begitu Claudya keluar, lelaki tua itu langsung mengikuti ke mana langkah Claudya. Dari sikap Claudya, Pak Tarno sudah dapat menyimpulkan majikannya ini sedang dalam keadaan kacau.

"Non, mau jalan-jalan dulu?" tanya Pak Tarno saat mereka sudah berada di mobil.

"Langsung pulang."

Pak Tarno menurut saja. Mobil melaju dengan pelan. Seolah Pak Tarno mengerti bahwa Claudya ingin memperlambat waktu untuk sampai di rumah. Claudya memerhatikan lalu lalang kendaraan dari balik kaca. Seketika pikiran-pikiran buruk melintas, membuat Claudya tiba-tiba merasa panik. Cewek itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia lakukan itu berulang-ulang sambil bicara dalam hati bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat sampai di rumah, Claudya langsung menaruh rekapan nilainya di meja makan. Kemudian, cewek itu mengunci diri di kamar. Tak ada yang ia lakukan selain menatap langit-langit kamar dan meratapi nasibnya yang kurang beruntung. Setelah lama merenung, ia terlelap dalam keadaan masih memakai seragam lengkap.

***

Kedua orang tuanya datang bersamaan tepat pukul sebelas malam. Herlambang langsung mengganti pakaian, sedangkan Natasya pergi ke dapur untuk melihat apakah hidangan makan malamnya sudah siap. Wanita itu terkejut ketika melihat selembar kertas tergeletak di meja makan.

"Itu kertas nilai Non Claudya, Nyonya," ucap asisten rumah tangganya.

"Dia pulang jam berapa?"

"Sore, sekitar pukul empat."

"Berarti dia nggak les," gumam Natasya.

Natasya membaca deretan nilai yang didominasi oleh angka 6 dan 5. Matanya langsung melotot tak percaya.

"Maksudnya apa ini?" Natasya langsung menghampiri Claudya di kamarnya.

"Claudya!" Wanita itu menggedor kamar Claudya. Namun, anaknya sama sekali tak menyahut.

"Buka pintunya, Clau."

Mendengar suara gedoran pintu dari luar, Claudya terbangun dari tidurnya. Ia langsung berdiri dan membukakan pintu.

"Ini maksudnya apa?"

"Soal UTS-nya susah," jawab Claudya singkat.

"Papamu sudah masukin kamu ke tempat les, kenapa nilanya kayak gini, Clau? Mana nilai yang sembilan, ini nggak ada satu pun."

Herlambang mendengar keributan, lelaki itu langsung menemui kamar putrinya.

"Kenapa, Ma?"

Natasya langsung menyerahkan selembar kertas itu pada Herlambang. Setelah membaca seluruhnya, Herlambang langsung melempar kertas itu ke wajah Claudya.

"Sengaja kamu berbuat kayak gini, hah?"

Claudya hanya diam tak berani bersuara.

"Jelasin kenapa nilaimu turun!"

Melihat Claudya yang masih saja bungkam, Herlambang mendorong tubuh Claudya masuk ke kamar. Lelaki itu mengurung Claudya.

"Renungkan kesalahan kamu!"

Tubuh Claudya merosot di lantai. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Menangis sejadi-jadinya.

Ia butuh tidur untuk melupakan masalahnya. Lagi, Claudya membuka laci. Ia mencari hipnotik yang mampu mengistirahatkan pikirannya.

Pintu tiba-tiba terbuka saat Claudya akan meminum obat tidur itu. Asisten rumah tangganya membawakan sepiring nasi dan lauk pauknya. Ia tiba-tiba panik karena berpikir majikannya sedang mengonsumsi narkoba.

"Non, jangan!" Wanita tua itu merampas wadah obat di tangan Claudya.

"Jangan bilang Papa, Bi. Ini cuma obat tidur."

"Non, nggak boleh minum ini. Nanti Tuan marah."

"Aku butuh istirahat. Aku akan minum obatnya setelah makan malam. Bibi janji jangan laporin ke Papa. Atau bibi mau lihat aku nggak makan lalu pingsan di sini?"

"Jangan, Non! Iya, bibi janji nggak akan bilang."

***

[1150 kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro