3-4
Still Why the lump in our chest
Keep telling us to disappear, telling us to die?
-Lost One's Weeping-Neru ft Kagamine Rin
"Kamu yang Seharusnya Mati!"
Orang itu berteriak sambil mengayunkan sapu yang ada di tangannya, Tinita menunduk menghindar.
Tidak ada dalam khayalannya, bahwa orang yang mencuri buku catatannya dan berusaha untuk membunuhnya cewek yang ada di depannya ini.
Aninda.
"Hei! Kau kenapa?!" tanya Tinita sambil tetap menghindar dari amukan Aninda
Aninda yang begitu ramah, lembut dan murah senyum. Tinita tak pernah tahu bahwa ia juga memiliki sisi yang seperti ini. Kacamatanya memantulkan cahaya mentari, namun Tinita tahu tatapan buas dibalik kaca tipis itu.
Aninda mengayunkan sapu lagi, namun Tinita segera menahannya dan melempar sapu itu jauh-jauh.
"Seharusya, kalau kamu tak ada dia nggak akan mati,"
Aninda meraih rambut Tinita dan menariknya, Tinita yang kecolongan hanya bisa berteriak. Sial, disaat seperti ini tidak ada orang disekitar mereka. Tinita memukul-mukul bahu Aninda agar sikap anarkis cewek itu berhenti.
"Memangnya apa hubunganku dengan kematian saudaramu?!"
Di tengah pertengkaran mereka, Tinita berusaha untuk berpikir logis, 'dia' yang dimaksud oleh Aninda pastilah kakak cewek itu. Selain itu atap sekolah merupakan TKP bunuh diri dari Andita. Meski Tinita tetap tidak tahu apa hubungannya dengan kakak cewek itu. Berpapasan saja jarang apalagi kontak dengannya.
Mereka bahkan hampir tidak pernah tegur sapa, kalau saja tidak ada berita soal kematiannya, Tinita juga tidak akan tahu mengenai keberadaan cewek satu itu.
Namun Aninda tidak menyahut. Cewek itu menarik Tinita menuju tepian atap, berniat untuk menjatuhkan Tinita.
Tinita tidak menurut, ia terus melawan meski itu artinya Tinita harus mengorbankan beberapa rambutnya dan kulit kepalanya.
Sial, sepertinya Tinita harus ingat membeli sampo kuda, atau ia akan mengalami kebotakan dini.
"Oi! Kalian!"
Cakra dan Angle segera menarik mereka menjauh dari tepian, berbahaya.
Cakra langsung memisahkan Aninda dari Tinita, cewek itu sempat meronta-ronta meminta dilepaskan, tenaga cowok memang lebih besar dari cewek. Jadi Cakra lebih mudah menahan Aninda.
"Tinit, kamu nggak pa-pa kan?" tanya Angle khawatir
Tinita menggeleng meski kepalanya masih terasa sakit, ngomong-ngomong sudah berapa anak rambutnya yang tercabut? Ia lalu menoleh pada Aninda yang masih terlihat garang di tangan Cakra.
"Lo kenapa sih Nin?" tanya Cakra sambil menahan Aninda yang mengamuk meski tangannya telah Cakra lumpuhkan di belakang punggung cewek itu.
Jujur saja Cakra kaget ketika melihat keduanya bertengkar di atas atap, ia awalnya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Aninda cewek yang lembut sedang mencoba untuk menyakiti Tinita?!
Cakra tahu Tinita tidak mungkin memulai sebuah perkelahian, kalau tidak ada pemicunya. Lagi pula hubungan mereka berdua akhir-akhir ini bagus dan tidak ada masalah.
"Kamu harusnya mati! Lepas! Aku akan membunuh pembunuh ini!" teriak Aninda
"Aku tidak membunuh kakakmu!" bantah Tinita, "lagi pula aku tidak mengenalnya!"
"Gara-gara kamu dia mati! Gara-gara kamu dia bunuh diri!"
Tinita memijit keningnya, "Memangnya apa yang kuperbuat hingga dia bunuh diri?! Aku bahkan sangat-sangat jarang berbicara dengannya!" tanya Tinita kesal
Angle memegang bahu Tinita, "Tinit benar, dia tidak mungkin jadi pembunuh kakakmu!"
"Kalau saja, kalau saja kamu tidak mengikuti olimpiade itu, kalau saja kamu nggak menang olimpiade itu, dia yang akan memenangkan piala itu! Dia tidak akan bunuh diri!"
***
Aninda duduk di samping Andita yang baru saja turun dari kamarnya dan mengeakan seragam sekolah yang telah lengkap. Dari raut wajahnya cewek itu tampak memikirkan sesuatu.
"Kak, ada yang kau pikirkan?"
Aninda bertanya khawatir, beberapa hari ini Andita memang sibuk. Orang tua mereka sudah memberi Andita tanggung jawab untuk mengelola salah satu anak perusahaan keluarga mereka yang baru.
Mereka berdua memiliki fisik yang hampir sama, rambut yang berwarna senada, namun satu-satunya yang membuat mereka berbeda hanyalah kacamata. Aninda adiknya memakai kacamata karena matanya yang minus.
"Tidak ada," ucap Andita sambil tersenyum
"Oh gitu... bagaimana kalau kita pergi ke toko buku sepulang sekolah nanti?"
Aninda pikir, Andita mungkin harus jalan-jalan sebentar. Meski tidak pergi ke resort mewah, tapi sekedar memilih buku juga dapat mengalihkan pikiran dari rutinitas harian kan?
Sebagai salah satu keluarga kaya dan berpengaruh, sering kali mereka mendapatkan undangan dari kolegan-kolegan bisnis untuk sebuah pesta, entah itu merayakan ulang tahun, syukuran atau pernikahan.
Mereka duduk di salah satu kursi, setelah orang tua mereka selesai memperkenalkan mereka kepada kolegan bisnis mereka dan juga pemilik acara, Andita dan Aninda memutuskan untuk mengistirahatkan kaki mereka.
Aninda makan dengan anggun, gadis itu menikmati makanannya yang tergolong banyak dan hampir memenuhi meja dengan santai, ia lalu melirik Andita yang tampak sibuk dengan ponselnya.
"Si kembar Warmanegara, aku kira kalian tidak akan kesini."
Refleks keduanya menoleh dan mendapati seorang pemuda dengan tuxedo berwarna abuu-abu duduk di salah satu kursi kosong di meja mereka.
"Bram, bukannya kau seharusnya menggandeng tangan tunanganmu?" sahut Andita dengan nada ketus.
"Jangan galak begitu nona sekre, nanti cepet tua lho..." ucap Bram sambil menaik turunkan alisnya.
Setahu Aninda, Bram merupakan anak dari pemilik acara malam ini, pemuda itu satu tahun diatas mereka dan menjabat sebagai ketua OSIS tahun ini. Ia sudah bertunangan dengan salah satu anak pembisnis yang juga satu sekolah dengna mereka tahun lalu. Namun meskipun sudah berstatus bertunangan, di sekolah tetap saja pemuda itu dikejar-kejar oleh beberapa gadis.
Bahkan guru magang saja jatuh dalam pesona putra sulung Hariyanto tersebut,
"Dessert disini enak-enak," kata Aninda mencoba mencairkan suasana kedua orang itu.
"Tapi tak semanis wajahmu Nin,"
"Berhenti menggoda adikku,"
"Yaampun... nona sekre, kau cemburu?"
"Tutup mulutmu yang penuh omong kosong itu."
Bram malah tertawa makin kencang, menarik beberapa perhatian orang disekitar mereka. Aninda merasa tidak terlalu nyaman.
"Aku dengar kau mengikuti olimpiade itu ya?" tanya Bram ketika mereka tidak menarik perhatian-ralat Bram yang menarik perhatian itu.
"Ya," ucap Andita singkat, tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.
Mendengar jawaban Andita yang singkat membuat Aninda merasa sedikit risau. Beberapa hari terakhir kakaknya memang sibuk, dan sedikit banyak itu membuat Aninda merasa sedih. Kakaknya yang dulu selalu tersenyum kini mulai berubah. Meski begitu Aninda selalu berusaha untuk menyemangati dan memberikan kekuatan bagi Andita.
***
Namun seberapa kerasnya Aninda berusaha senyuman Andita semakin lama semakin menghilang, sorot matanya selalu sedih dan hampa.
Apalagi sejak pulang dari olimpiade kimia itu, Aninda dapat melihat pipi Andita yang memerah, mungkin ayah atau ibunya menamparnya di ruang keluarga tadi. Namun Andita selalu tersenyum di hadapannya, seolah-olah mengatakan pada Aninda bahwa dirinya masih baik-baik saja.
Tapi Aninda tahu bahwa senyum palsu itu tidak bisa bertahan lama.
Andita beberapa kali mengurung dirinya di dalam kamar membuat Aninda khawatir. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, kekalahannya di olimpiade itu mungkin membuat Andita mejadi tertekan.
Aninda tahu bagaimana kerasnya keluarga mereka mengenai prestasi. Dulu sewaktu kecil Aninda juga mengalaminya, ketika ia gagal dalam kontes biola.
Hingga hari itu tiba, jika saja Aninda lebih teliti, jika saja Aninda menemani Andita ke UKS, mungkin kakak kembarnya itu tidak akan melompat dari atap sekolah.
***
Aninda mulai menangis, ia tidak lagi melawan Cakra. Cowok itu melonggarkan sedikit cengkramannya di tangan Aninda.
"Kalau saja, kalau saja aku bisa mencegahnya, ia pasti masih ada disini..." sesal Aninda
Cewek itu lalu menghantamkan kepalanya ke dagu Cakra, Cakra yang merasa kaget sekaligus sakit tanpa sadar melepas genggamannya dari Aninda.
"Sial!" umpat Cakra ketika menyadari Aninda sudah tidak ada di dekatnya
"Aninda!" teriak Tinita dan Angle bersamaan, mereka berdua kaget karena Aninda berlari sangat cepat menuju ke tepian atap.
Tinita tidak bisa membiarkan Aninda melompat begitu saja, meski ia sempat kesal dengan cewek itu bukan berarti Tinita bisa membiarkan Aninda. Ia langsung berlari mencegah Aninda melakukan hal konyol semacam bunuh diri.
Jantung Tinita berdegup kencang saat ia sadar bahwa ia tak dapat menyusul Aninda. Angle dan Cakra yang tampak panik juga berlari namun telat.
"LO GILA!"
Teriakan itu dibarengi dengan seseorang yang menyusul Aninda, sosok itu menarik kerah belakang seragam Aninda sebelum memeluknya dari belakang.
Hampir saja, tinggal satu langkah lagi.
Otomatis Tinita menghentikan langkahnya, kaget karena kedatangan orang itu yang tiba-tiba. Angle dan Cakra juga melakukan hal sama.
"Lo pikir dia seneng kalo lo ngikutin jejaknya?!"
Oda berteriak memarahi Aninda. Sedangkan cewek yang ada di dekapannya mulai menangis lemah. Oda lalu memapah Aninda saat cowok itu merasakan Aninda yang tak lagi memiliki tenaga untuk berdiri.
Tinita bernapas lega, baru saja ia berhadapa dengan hal yang bisa membuat jantungnya copot. Meski bukan dirinya yang jatuh dari atap, tapi melihat orang bunuh diri didepan mata sendiri sudah cukup untuk merasakan kematian itu sendiri walau sekejap.
"Aninda, kamu baik-baik saja?" tanya Angle saat Oda menghampiri mereka bertiga dengan Aninda yang menunduk ke bawah.
"Untung ada lo Oda," ucap Cakra
"Terima kasih Oda," kata Tinita, cewek itu lalu melihat ke arah Aninda yang masih diam. "Sebaikanya kita turun ke lantai bawah," lanjut Tinita mencegah Aninda melakukan hal yang bisa membahayakan nyawa lagi.
Mereka berlima menuruni tangga menuju lantai empat.
"Kalian ada disini rupanya," ucap Pak Samuel ketika mereka berpapasan di tangga, dibelakangnya ada Rei
"Bapak akan mengantar nak Aninda ke UKS, apa ada yang terluka diantara kalian?"
Kompak keempatnya menggeleng, minus Aninda yang masih diam.
"Syukurlah, kalian bisa kembali ke kelas,"
Pak Samuel mengambil alih Aninda yang di papah Oda dan berjalan menuju ke UKS.
"Lo semua bikin kaget aja," ucap Rei melihat satu persatu temannya, "untung nggak ada yang terluka."
Mereka berjalan menuju kelas mereka, Tinita menghela napasnya. Ia tak menyangka ini akan terjadi.
"Ngomong-ngomong dari mana lo tau soal Aninda ama Tinita diatas atap?" tanya Rei, "lo bahkan nyuruh gue manggil guru, untung pak Samuel percaya walau dia rada santai nanggepinnya,"
Seluruh atensi kini berpusat pada cowok itu
"Ya bener, lo bahkan sempet bilang kalau Tinita bakal mati," tambah Cakra, mengingat apa yang diucapkan oleh cowok itu.
Tinita jadi ikut penasaran, mereka tidak terlalu akrab meski sering berpapasan di kelas atau perpus. Tapi bagaimana Oda bisa tahu? Apa dia cenayang?
Oda melirik ke arah jendela sebelum menghela napas, "Kalian nggak usah tau," jawabnya dingin.
"Oh ya, Tinit buku catetan itu penting banget ya?" tanya Angle "waktu buku itu ilang kamu panik banget,"
Tinita diam, tampak menimbang-nimbang kalimat yang akan ia lontarkan, "Aku sangat membutuhkannya, ini sangat penting."
"Lo buta arah ya?" celetuk Rei, "soalnya di buku itu ada peta kecil dan kalau nggak salah dulu lo sempat hilang arah waktu tour tahun lalu sebelum gue samperin," ucapnya mengingat-ingat.
Ya kalau tak salah Rei dulu pernah menemukan Tinita yang kebingungan di sebuah perempatan saat jam bebas di Bangkok sambil membawa peta yang dibagikan oleh guru mereka. Rei bingung menemukan Tinita yang tersesat hanya untuk pergi ke minimarket dekat penginapan mereka.
"Eh? Beneran? Pantas saja waktu di argowisata kemarin lo nggak mau jauh-jauh dari gue, harusnya lo bilang dong dari awal gue pasti pegangin lo biar nggak ilang," ucap Cakra setengah menggoda sambil memegang tangan Tinita yang langsung di tepis oleh cewek itu.
"Aku memang buta arah, tapi aku tidak sebodoh itu untuk bergantung dengan playboy sepertimu," sahut Tinita galak.
Mereka lalu tertawa mendengar ucapan Tinita.
NB : Flashback sedikit banyak mengambil scene di Bird berhubung mereka juga chara asli Bird. Sebenarnya agak susah nyari lagu yang ver jepang tapi bukan vocaloid (karena aku tahu bahwa ver vocaloidnya cukup mengganggu telinga). Ver indo emang aku tau dari awal karena aku ngikut Rachie dan beberapa utaite lainnya dulu (Setelah mendengar event semacam IDCB), ada juga versi koreanya yang sangat direkomendasikan, meski aku lebih denger si Raon teriak-teriak tapi ya bagus juga. Lagu ini hanya sebagai pemanis saja, anggap aja kayak opening(?).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro