6). Unexpected Idea
Waktu menunjukkan pukul tujuh kurang satu menit saat Genta sampai di kelas, tetapi dia bukan satu-satunya siswa yang terakhir tiba karena masih banyak lagi yang menyusul di belakangnya.
Berhubung bel belum berdering, Jessie menggunakan kesempatan untuk menyerahkan dokumen yang dititipkan Judy kepada Genta, yang refleks menyambutnya dengan tatapan bingung.
Bukannya tanpa alasan. Pertama, Jessie belum pernah memberinya sesuatu yang kelihatan formal seperti ini. Kedua, dia jadi penasaran; apa isinya?
"Hmm... ini apa, ya, Jes?"
"Hng... itu dari Judy. Sesuai judul yang gue baca, sih... kayak jurnal, gitu. Katanya mesti serahin ke lo," jelas Jessie, tidak lupa menunjukkan senyum manisnya.
Genta melirik sekilas dan segera paham mengapa lembaran itu dititipkan padanya. "Oh, thanks kalau gitu."
Bel masuk akhirnya berdering, sehingga Jessie hanya sempat memberinya senyum tipis sekali lagi sebelum mengembalikan posisi tubuhnya ke depan.
Kelas XII IIS-3 diisi oleh Pak Nano Basuki sebagai wali kelas sekaligus guru pelajaran Bahasa Indonesia.
"Selamat pagi, Pak!" sapa murid-murid kompak.
"Selamat pagi, Anak-anak," jawab Pak Nano ramah. "Sebenarnya hari ini pelajaran Miss Vini, tetapi terpaksa Bapak undurkan selama kira-kira 15 menit-an karena ada yang mau Bapak sampaikan selaku wali kelas kalian.
Kalian sudah kelas 12. Artinya, kalian akan menghadapi Ujian Nasional," lanjut Pak Nano dengan ekspresi yang agak serius. "Jadi, di tahun ketiga ini—–kalau Bapak ubah ke persentasenya, kira-kira waktu belajar tinggal 40%, lalu sisanya adalah persiapan menghadapi Ujian Nasional, termasuk me-review kembali materi-materi dari kelas sepuluh."
Suasana kelas mulai rusuh oleh keluhan, tetapi segera tenang saat Pak Nano mengangkat tangan untuk berbicara lagi.
"Oleh karena itu, Bapak mau menyampaikan pesan dari Kepala Sekolah. Idenya terinspirasi dari pengelompokan kelas 11 yang diklasifikasikan dari kemampuan akademik. Berhubung kalian sudah di tahun terakhir, khusus angkatan kalian tidak diberlakukan pengelompokan seperti itu. Sebagai gantinya, Bapak akan atur supaya kalian dikelompokkan satu sama lain untuk belajar bersama. Siswa yang nilainya lebih unggul akan jadi ketua kelompok, sehingga bila ada perkembangan nilai, akan diadakan evaluasi dan yang nilainya paling unggul akan diangkat menjadi ketua kelompok. Gimana? Seru, 'kan?"
Terdengar debat pro dan kontra usai mendengar gagasan ini. Kalau menurut Jessie, dia tidak mempermasalahkan siapa yang akan menjadi teman kelompoknya, hanya saja, entah kenapa dia merasa apa yang dikatakan Judy benar; tentang fakta dia tidak mempunyai teman.
Setelah dipikir-pikir, banyak teman cewek yang menghindarinya karena sudah pada insecure duluan dengan visualnya. Sedangkan teman cowok, kebanyakan mendekatinya demi misi pedekate.
"Oke, Bapak akan panggil masing-masing nama yang nilainya paling unggul. Amanda, Dewi, Genta, Jimmy, Khelvin, Melina, Octavian, Quinny, Viondy, dan Wenny. Kalian maju dulu ke depan."
Nama-nama yang disebut berbaris di depan kelas, termasuk Genta.
"Jumlah kelas kalian 29 orang. Jadi masing-masing kelompok nantinya berjumlah 3 siswa. Itu berarti, akan ada satu kelompok yang berjumlah 2 siswa. Nah, silakan para ketua kelompok, kalian boleh menuliskan nama masing-masing di papan tulis."
Semua patuh, termasuk Genta yang berdiri di paling ujung barisan. Dia berusaha bergabung untuk ikut menulis, hanya saja karena badannya besar, secara menyedihkan tidak ada ruang untuknya. Alhasil, dia terpaksa menulis namanya agak kecil di paling sudut bagian papan tulis.
Satu per satu mulai maju ke depan untuk menulis nama sendiri di bawah nama ketua kelompok sesuai urutan bangku selagi Jessie dihantui perasaan bimbang karena bingung harus memilih siapa. Lantas ketika tiba gilirannya, semua mata tertuju pada cewek itu, membuatnya semakin canggung.
Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya saat dia memandang papan tulis. Hanya nama Genta yang belum beranggotakan siapa-siapa sementara yang lain setidaknya memiliki satu anggota di bawah nama mereka.
Jessie jadi mengerti siapa yang harus dia pilih. Selagi berjalan menuju papan tulis, kata-kata Judy kemarin seolah-olah terngiang di dalam telinganya.
"Karena Genta gemuk, jadinya gampang dirundung. Satu-satunya solusi menurut gue kalo dia nggak mau dirundung, dia harus ngurusin badan atau lebih memberanikan diri. Biasanya ada perundung yang kalah sama gertakan doang."
Jessie mengambil spidol dari tangan Pak Nano yang menghadiahinya senyuman. Cewek itu lantas menolehkan wajahnya ke Genta, yang juga memandangnya dengan ekspresi antara senang bercampur ragu; senang karena merasakan firasat kalau Jessie akan memilihnya dan ragu karena semua kemungkinan itu terasa mustahil menjadi nyata.
Namun, Genta bersumpah kalau senyuman Jessie benar-benar tertuju padanya. Benar saja, langkahnya semakin dekat sampai berhenti di hadapannya, membuat cowok itu melongo. Angin semilir yang berembus dari pintu kelas bagian depan memainkan rambut Jessie dan memaksimalkan visualnya, membuat siapa saja terpesona, termasuk dirinya.
Entah apa mimpinya semalam, tetapi jika Jessie benar-benar bergabung dalam kelompoknya, Genta bersumpah akan berusaha lebih baik lagi.
"Gue masuk kelompok lo, ya. Mohon bimbingannya, Genta."
Genta seperti mendapatkan efek ledakan di dalam dirinya, tetapi ternyata bukan dia satu-satunya karena suasana kelas juga gempar setelah Jessie selesai menuliskan namanya di bawah nama Genta.
Pak Nano selaku wali kelas juga takjub karena beliau memahami masing-masing anak didiknya; bagaimana Genta yang selalu pesimis dan pasif karena penampilannya dan Jessie yang populer di sekolah, tetapi ternyata tidak sepopuler kelihatannya.
Menarik, batin Pak Nano sambil tersenyum.
"Oke, kalau gitu," kata Pak Nano setelah semua anak selesai mengisi data di papan tulis. "Seperti yang Bapak bilang tadi, nantinya akan ada satu kelompok yang terdiri dari dua siswa. Kelompok itu rupanya kelompok Genta sama Jessie."
Pak Nano tersenyum lagi. Kali ini sarat akan godaan sementara yang ditatap hanya bisa membalas senyuman yang didominasi oleh kecanggungan yang kentara.
*****
Genta menyerahkan lembaran yang dititipkan Judy kepada Rinto saat jam istirahat sedang berlangsung. Namun, bukannya bertanya apa isinya, dia malahan menjepit dokumen tersebut di salah satu ketiaknya, lalu memicingkan matanya dengan tatapan penuh selidik, mirip-mirip ibu paruh baya yang menginterogasi suaminya usai mendengar kabar angin dari tetangga.
"Gue denger, lo satu kelompok sama Jessie, ya?"
Pertanyaan itu tentu membuat Genta tidak habis pikir. Rinto memang terkenal dengan sebutannya yang mirip ibu-ibu tukang gosip, yang mempunyai ciri khasnya senang ngerumpi dan cepat akrab dengan siapa saja yang mendengarnya, tetapi ada kalanya dia merasa kewalahan dengan kegigihan Rinto dalam menggali informasi.
"Kok, lo bisa tahu?" tanya Genta dengan nada heran, meski dia sudah bisa menduga apa jawaban Rinto.
Benar saja, ini adalah respons dari Rinto. "Ya iyalah, ini tuh passion gue. Seperti yang biasa gue bilang ke lo, makanya gue bisa jadi ketua OSIS, ya, kayak gini. Karena gue bisa akrab sama siapa aja dan selalu terdepan dalam segala hal yang berkaitan dengan rumor dan gosip."
Bahkan Genta berhasil melakukan lipsync dari perkataan Rinto tadi. Beberapa murid yang lewat spontan mendengkus geli karena Genta melakukannya dengan bibir yang sengaja dimanyunkan. Terlihat menyebalkan, tetapi menggemaskan di saat yang sama.
Rinto tertawa ketika sadar ternyata dia mengikuti perkataannya tanpa suara. Bahkan persis seakan sudah menghapalnya di luar kepala. "Memang nggak sia-sia gue pertahankan lo jadi temen gue. Lo lihat, deh, perkembangan lo yang sekarang kayak gimana. Dulu pas SMP, gue masih inget lo itu cupu banget; tahunya jalan sambil nunduk, trus ditemani banyak camilan."
"Memangnya yang sekarang udah beda, ya?" tanya Genta bingung karena tidak merasa ada perubahan dari dirinya. Mendadak, dia menunduk untuk menatap sedih bagian perutnya.
Rinto yang mengikuti arah pandang Genta jadi merasa tidak enak. "Hmm... nggak beda, sih, sebenarnya. Lo tetap aja jalan sambil nunduk dan ditemani camilan," ujar Rinto sambil mengalihkan fokus ke roti isi yang menemani Genta. "Cuma... gini, deh, gue yakin setidaknya lo udah nggak kuper-kuper amat. Sejak bergaul ssma gue, setidaknya lo bisa hapal nama-nama siswa terutama yang populer dan paham strategi bagaimana menghadapi guru setiap mau ngeles. Betul, 'kan?"
"Hmm... iya, sih."
"Nah. Trus yang paling penting; lo bisa jadi anggota OSIS. Itu rekor banget buat lo, serius deh! Lo nggak mungkin lupa, kan, kalau gue dukung lo terus dari awal sebelum masuk OSIS—–yahhh... walaupun jadi kandidat calon ketua OSIS nggak mungkin kesampaian, sih."
Genta mendengkus kesal. Ini sebenarnya mau menghibur apa meledek, sih?
"Iya, gimanapun thanks banget. Gue yakin amal baik lo pasti akan dibalas berkali lipat," ucap Genta akhirnya setelah menghela napas panjang dan tersenyum.
"Oh, iya. Gue baru nyadar. Pantas aja gue merasa familier. Itu, si Tomari—–murid pindahan yang kemarin baru masuk itu. Dia pernah satu SMP sama kita, 'kan? Kalau nggak salah pindahnya waktu kelas tiga."
"Bukannya lo udah tau dari awal, makanya samperin dia kemarin?"
Rinto menggeleng. "Nggak, Ta. Gue samperin dia hanya karena punya firasat dia murid pindahan. Lo taulah karakter gue. Gue, kan, harus berikan teladan kepada yang lain sebagai ketua OSIS baru!"
Alih-alih merespons, Genta menghabiskan sisa rotinya. Lantas, setelah membuang kemasannya ke dalam tong sampah, cowok itu menepuk bahu Rinto pelan dan berkata, "Gue duluan, ya."
"Apa gue harus nungguin lo habisin makanan hanya untuk dengerin lo bilang 'duluan', aja?" Rinto mengembuskan napas kesal di balik punggung Genta yang menjauh tanpa berkata apa-apa lagi seolah-olah tidak peka.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro