Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15). Try to be Brave, Genta!

Semua murid di kelas Jessie tampak luar biasa sumringah ketika mendengar bel pulang berdering sementara guru terakhir yang mengajar di kelas mereka, Pak John Piter, jelas merasa terganggu karena penyampaian materinya harus dihentikan sekarang juga.

"Oke, Anak-anak, karena sudah waktunya untuk pulang, Bapak sekalian mau nagih janji kemarin yang katanya mau ngumpulin PR rangkuman rumus dari pelajaran kelas X. Kalian nggak lupa, 'kan?"

Sebagian besar murid melontarkan beragam protes dan keluhan, tetapi nyatanya tidak ada satu pun yang benar-benar membantah. Masing-masing mengeluarkan buku tugas dan mengumpulkannya ke meja guru.

Lantas, Pak Piter mengarahkan pandangan ke Genta usai merapikannya. "Seperti biasa, ya, Genta. Tolong bantu Bapak bawakan ke ruang guru."

Genta mengangguk. "Baik, Pak."

Lima menit kemudian setelah berdoa bersama dan pamit, Genta maju ke depan dan mengambil buku-buku sesuai permintaan Pak John Piter, lantas mengekori langkah beliau. Beberapa siswa tidak segan-segan menertawakan langkah Genta yang berjalan di belakang Pak Piter.

"Eh, lo lihat, deh, si Genta. Jalannya kayak nggak makan sehari aja. Gue heran, deh. Kenapa, ya, guru-guru senang banget minta bantuan sama dia padahal lambannya ampun-ampunan," ledek siswi dari arah pukul lima dari meja Jessie. Namanya Mutiara.

Teman sebangkunya yang bernama Santi ikut nimbrung, "Ya, justru itu. Dari semua murid, kan, dia yang paling gampang dibuli. Jangankan kita, guru-guru juga seneng merintah dia. Rasanya, tuh... gimana, ya. Lo taulah kalau soal korban buli, Genta itu sasaran empuk."

Jessie tidak tahan mendengarnya. Sebenarnya apa, sih, salahnya Genta?

Gadis itu berdiri, lalu berjalan menuju bangku mereka. Mutiara menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi menantang, sedangkan Santi tampak bingung karena Jessie memang hampir tidak pernah menunjukkan interaksi, kecuali diatur sekelompok saat pelajaran berlangsung.

"Kalian udah cukup belum ngomongin Genta? Dia sama sekali nggak pernah ganggu atau punya urusan sama kalian, tapi kenapa kalian yang selalu cari gara-gara sama Genta?"

"Oh, memangnya lo siapa, sih, sampai bela dia kayak gitu? Lo pacaran, ya, sama Genta?" tanya Mutiara dengan nada sok.

"Hati-hati, Ra. Lo lupa, ya, kalau dia itu kakaknya Judy? Kalau Judy sampai nyari kita gimana, dong?" Santi tampak cemas ketika mengungkapkan asumsinya.

"Gue, kan, cuman nanya. Lagian, apa hak dia, sih, larang-larang gue ngomongin Genta? Gue, kan, punya mulut. Suka-suka gue, dong." Mutiara tidak mau kalah meski ada sorot keraguan di dalam matanya. Bisa disimpulkan, Judy mempunyai peranan yang besar dalam bidang ini.

"Gue sahabatan sama Genta," tutur Jessie dengan nada santai. "Jadi, gue nggak bisa terima kalau ada yang jelekin dia. Plis, ya, dijaga mulutnya."

Ada selipan nada dingin di akhir kata-kata Jessie, yang ternyata juga memberi pengaruh besar karena ekspresi mereka menunjukkan seolah-olah baru habis ditampar.

Santi adalah orang pertama yang berkomentar dari balik punggung Jessie yang menjauh. "Selama ini gue nggak pernah bisa nemuin kesamaan antara dia sama Judy, tapi baru kali ini gue akuin kalau tatapan mereka ternyata sama kalau lagi marah."

*****

Genta memeluk buku bawaannya dengan penuh kehati-hatian, tetapi sialnya di perbatasan lorong, cowok itu harus bertemu dengan Jason dan Billy.

Pak Piter sudah masuk ke ruang guru sedari tadi. Mendadak Genta menyayangkan langkahnya yang berat sehingga memperlambat proses berjalannya.

Jason dan Billy tampak sangat senang melihat Genta. Mereka langsung mendekatinya tanpa aba-aba.

"Eh, gue mau nanya, dong. Itu PR pelajaran Pak Piter, 'kan?" tanya Billy dengan cengiran nakalnya yang khas.

"Gue mau nyontek, dong." Jason menimpali secara terang-terangan. "Gue pinjam buku lo, ya."

"Ta-tapi... mesti dikumpulin hari ini," gagap Genta. Keringat dingin secara alamiah mulai mengalir dari sudut pelipisnya seperti biasa kalau dia sedang gugup dan tidak tahu harus bagaimana melawan mereka.

"Jangan gitu, dong." Billy merayu seraya menopang sikunya di bahu Genta. "Memangnya lo nggak takut sama konsekuensinya, ya, kalau lo nggak mau nurut?"

"Plis... gue nggak pernah cari masalah sama kalian, tapi kenapa kalian selalu ngincar gue?"

Jason ikut menopang lengannya di bahu Genta dari sisi lain. "Nih, gue kasih tau, ya. Kita nggak usah ngomong jauh-jauh, deh. Biasa kalau lo nonton film atau drama, lo coba tebak, deh, kira-kira yang jadi sasaran empuk menurut lo kayak gimana? Kalau nggak gendut, yaaa... pasti mentalnya lemah! Lo jelas masuk dua kriteria itu."

Billy terkekeh. "Bangga, dong, bisa masuk kategori itu. Ini udah tahun ketiga kita, nggak terasa udah mau tamat. Nanti kami pikirin, deh, mau kasih hadiah apa ke lo."

"Selama ini lo banyak menghibur kita-kita," nimbrung Jason. "Thanks, ya."

"Sama-sama." Genta merespons dengan suara pelan. "Kalau gitu gue permisi dulu, ya."

Jason yang awalnya hanya sekadar menyandarkan lengan di bahu Genta, spontan menegang sehingga aksinya lebih tepat disebut sebagai pemblokiran agar Genta tidak bisa bergerak, sedangkan Billy sengaja menjatuhkan buku-buku yang dipeluk Genta sehingga berhamburan ke lantai koridor. "Eh, lo mau ke mana? Siniin dulu buku PR-nya."

Sia-sia saja Genta meronta untuk membebaskan diri dari cengkeraman Jason meski lagi-lagi massa badannya lebih unggul. Kini, dia jadi bahan tertawaan Jason dan Billy serta semua murid yang kebetulan lewat di sana. Dalam sekejap, kerumunan berhasil dibentuk dengan menjadikannya sebagai pusat tontonan yang menarik.

Seringai yang muncul di bibir Billy menunjukkan bahwa dia telah menemukan buku PR atas nama Genta Harvey. Dengan gaya sok, dia menunjukkannya di hadapan wajah pemilik buku itu. "Ini, gue dah dapet. Gue pinjem, ya? Lo tinggal ngeles aja sama Pak Piter soalnya kalau dibandingin, pastinya hukuman lo lebih ringan daripada kita-kita."

"Perlu gue laporin ke Pak Piter?" Lantas, terdengar suara cewek dengan nada berani di antara kerumunan itu. Bisa ditebak, sekali lagi, bahwa dia adalah Judy Meline. Bahkan kerumunan itu secara refleks menyeruak dan mempersilakan dia mendekati Genta-Billy-Jason.

Jason menarik lengannya, membebaskan Genta dari blokiran tadi. "Lo, lagi! Bisa nggak, sih, lo nggak usah ikut campur?"

"Kalau bukan gue yang ikut campur, siapa lagi? Memangnya dari semua orang di kerumunan ini, ada yang berani lerai kalian?"

Tomari mendorong kerumunan di depannya untuk ikut masuk ke dalam lingkaran itu, disusul Jessie yang tampak kaget dengan apa yang dilihatnya. Buku-buku tampak berserakan dan dia bisa melihat wajah Genta yang sepucat lantai pualam yang mereka pijak.

Tomari segera menarik Genta ke sisinya sementara Judy merebut buku catatan yang dipegang Billy dengan tenaga yang tidak perlu sehingga untuk sesaat cowok itu sempat terhuyung. Mata Billy segera memancarkan kilat emosi atas tindakan Judy yang menurutnya sangat tidak sopan.

"Heh! Gue itu kakak kelas lo! Bisa tidak, lo sopan dikit?"

"Kenapa gue harus sopan ketika kalian nggak menunjukkan tindakan yang beretika? Coba jelasin ke gue, yang mana tindakan kalian sebagai senior yang mengharuskan gue untuk HORMAT SAMA KALIAN?"

Tidak sedikit dari mereka yang kaget dengan tiga kata terakhir Judy yang sengaja dinaikkan satu oktaf itu. Cewek itu jelas marah dan Tomari bisa merasakan bulu kuduknya sempat meremang. Tidak heran jika dia mempunyai pengaruh besar di sekolah dan tidak ada yang berani melawannya.

"Sekarang kalian pilih; mau gue laporin ke Pak Piter atau beresin buku-buku itu sekarang juga dan serahkan ke Genta?"

Jason dan Billy tidak punya pilihan lain kecuali menuruti saran Judy yang kedua meski ekspresi mereka sangat tidak terima. Judy menoleh pada Genta yang tampak mengecil di sisi Tomari, masih dengan ekspresi yang galak.

"Lo juga, Genta! Sampai kapan, sih, lo mau terus-terusan dijadikan mangsanya mereka? Ini udah tahun ketiga lo di sekolah, loh. Apa lo nggak kapok dirundung terus sama mereka?"

Tomari maju selangkah, melindungi Genta. "Heh, ini juga bukan maunya Genta, kali! Siapa juga yang suka jadi korban buli?"

"Kalau dia nggak suka, kenapa juga dia nggak mau belajar lebih berani? Kenapa dia harus pasrah? Lo nggak capek ya, Ta, ditertawain sama dibegoin?"

Pandangannya menyapu ludes dan menatap tajam kerumunan yang masih mengelilingi mereka. Dipelototin seperti itu, membuat sebagian di antara mereka menepuk teman di sebelah mereka untuk meninggalkan lokasi. Lantas, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membubarkan kerumunan. Segera saja perbatasan lorong kembali sepi, menyisakan mereka berempat dengan Jason dan Billy.

"Lo beruntung, Genta Harvey. Kalo nggak ada Judy di sekolah ini, nggak ada yang bisa bantuin lo," kata Jason, masih menunjukkan seringainya.

Billy menyerahkan buku-buku yang sudah dia susun pada Genta dengan wajah kesal dan ketika cowok itu menerimanya, Billy sengaja menjatuhkan lebih cepat dari seharusnya. Untung saja Genta berhasil menangkap tepat waktu sehingga bisa terhindar dari risiko jatuh untuk yang kedua kalinya.

Billy dan Jason terbahak. Lantas setelah puas, keduanya meninggalkan lokasi dengan gaya sok sekali lagi. Genta, sementara itu, memutuskan untuk menyerahkan buku PR ke ruang guru karena dia sadar apa yang dikatakan Judy benar adanya dan dia mempunyai niat baik dengan membentaknya seperti itu.

Mereka bertiga mengikuti Genta dari belakang. Jessie adalah orang pertama yang bersuara. "Gue yakin pelan-pelan Genta pasti mau berubah. Seperti yang pernah lo bilang ke gue dulu; kalau Genta mau nurunin berat badannya dan belajar lebih berani, lo dukung dia, 'kan?"

Genta yang memimpin di depan berusaha menajamkan pendengaran untuk menguping jawaban Judy, sedangkan Tomari menunjukkan wajah prihatin. Dia sama sekali tidak tahu kalau Genta termasuk salah satu korban perundung di sekolah dan sekarang merasa tidak enak hati karena tidak berada di sisinya selama ini.

"Yap. Jelas, dong, gue dukung dia. Gue rasa kalau Genta mau nurunin berat badannya, gue yakin bisa menumbuhkan rasa percaya dirinya. Seperti lo, Tomari."

"Gue?" ulang Tomari, tersentak kaget karena namanya disebut tanpa peringatan sebelumnya.

Judy mendecakkan lidahnya dengan kesal. "Tuh, kan, lemot lagi! Maksud gue, lo nggak pernah dirundung selama ini, 'kan? Itu karena penampilan fisik lo oke, jadi mereka nggak ada alasan untuk buli lo. Tambahannya lo, kan, bego, jadi nggak ada alasan untuk membuli."

"Heh, lo seneng banget, sih, menghina kebegoan gue! Bego-bego gini juga cakep, kali!"

"Cakep tapi kalau bego sama aja dengan nol! Lo tahu peribahasa 'tong kosong nyaring bunyinya', 'kan? Nah, lo seperti itu! Persis banget!”

Keduanya lantas bertengkar sepanjang koridor, bahkan berlanjut setelah Genta selesai menyerahkan buku-buku pada Pak Piter. Karena tidak mau nimbrung dan ikutan pusing oleh debat random mereka, Jessie berinisiatif maju dan berjalan di sebelah Genta, memilih untuk menghiburnya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro