14). Something Weird Deep Inside
Jessie meletakkan ransel merah jambunya di atas meja, disusul Genta dari belakang. Berbeda dengan kelas Judy, rupanya hampir semua bangku telah diisi sehingga kelas mereka lebih ramai.
Jessie memutar tubuh untuk menghadap Genta. Fakta keduanya sering berbincang ditambah rumah mereka sekompleks, ternyata lebih dari cukup untuk membuat Jessie semakin tidak sungkan padanya.
"Eh, Ta. Lo deket, ya, sama Tomari?" tanya Jessie berbasa-basi. Dia sama sekali tidak mengindahkan tatapan teman-teman sekelasnya yang menyorot mereka dengan tatapan tidak percaya. Walau sudah beberapa hari terlewat sejak peristiwa Jessie sekelompok sama Genta dan menuruni tangga bersama, tetap saja masih banyak yang belum kunjung paham mengapa keduanya bisa berteman baik.
Genta tersenyum. "Hng... sebenarnya gue udah lama kenal sama dia. Tepatnya, dia satu SMP sama gue, tapi pindahnya waktu kelas tiga dan saat itu gue udah lulus."
"Kalau gitu, kok, lo bisa kenal sama dia?" tanya Jessie lagi. Sebenarnya, dia sadar dengan mengorek informasi seperti itu tentu akan memberi kesan bahwa dia tertarik dengan Tomari, tetapi situasi menyenangkan di saat mempunyai sahabat baru membuatnya ingin mengatakan apa saja agar interaksi tersebut tetap terjalin.
"Cieee... kayaknya ada yang suka sama Tomari," goda Genta dan ketika tidak ada reaksi dari Jessie, cowok itu menipiskan bibir dan berkata, "Hmm... oke, oke, gue jawab sekarang. Bokap gue sama nyokap Tomari itu sahabatan waktu masih muda. Jadi, waktu mamanya Tomari pindah ke Jakarta, Papa yang bantuin segala urusan yang diperlukan. Yaaa, jadi gitu, deh, awal pertemuan gue sama Tomari."
Jessie manggut-manggut sembari menopang dagu di salah satu tangan yang dia sangga di meja Genta. "Jadi bener, dong, nama Tomari itu nama Jepang karena papanya asli dari sana?"
Genta mengangguk.
"Kalau gitu Tomari keturunan orang Jepang, dong, ya. Hmm... rupanya bener yang orang-orang bilang keturunan campuran itu wajahnya memang punya daya tarik tersendiri. Lo tau nggak di hari pertama Tomari pindah, gue denger mereka pada bilang kalau dia cakep banget. Apalagi katanya nama dia unik banget kayak nama Jepang. Gue kira mereka yang lebay, tapi setelah gue lihat dengan mata gue sendiri, gue akui dia memang cakep banget sampai-sampai gue kira ada artis nyasar sekolah di sini."
Genta tertawa mendengar celotehan Jessie yang panjang lebar itu. "Nggak nyangka lo bisa cerewet juga, ya."
"Hah?" Jessie kaget sejenak untuk mencerna, lalu tersadar kalau dia memang terlalu banyak berbicara hari ini. "Iya, ya."
Jessie menunduk, kentara sekali ekspresinya malu-malu, sedangkan Genta membuang wajah ke arah lain untuk menghentikan tawanya, tetapi cukup sulit sehingga dia memerlukan waktu selama beberapa saat. "Sori, soalnya gue belum pernah menyaksikan sendiri ada cewek sesempurna lo yang bisa nge-fans sama cowok. Yang ada, lo selalu dipuja orang lain."
Jessie tersenyum canggung sekarang. "Oh, ya? Hmm... apa mungkin gara-gara gue udah merasa deket sama lo, gue jadi ngomong apa adanya? Jujur, gue belum pernah seterus terang ini."
Genta ikut menopang dagu atas di meja sehingga jarak wajahnya dengan wajah Jessie tinggal sejengkal. "Lo jadi mirip Judy, cuman...."
"Cuman apa?" tanya Jessie, refleks merasakan canggung. Entah karena wajah Genta yang mendekat secara tiba-tiba atau dia kepalang penasaran, entahlah. Yang jelas, dari jarak yang lumayan dekat ini, cewek itu bisa melihat bayangan dirinya yang memantul di dalam bola mata Genta.
"Cuman... nggak senorak lo! Hahaha!" Genta terbahak. "Judy nggak mungkin bisa seheboh lo kalau soal memuji cowok. Mungkin dia nggak akan pernah nge-fans sama flower boy kayak Tomari."
Namun, Jessie menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah Genta sebelum memasang ekspresi penuh keyakinan. "Eits, kalau soal ini lo salah besar."
Dahi Genta secara refleks mengerut. "Salah besar?"
Jessie mengangguk. "Gue kakaknya, jadi nggak ada yang bisa ngerti dia selain gue."
Tepat pada saat itu, bel masuk berdering dan semua murid kembali ke tempat duduk masing-masing, termasuk Jessie yang harus memutar tubuhnya kembali ke depan.
*****
"Jadi... lo mau bilang apa tadi?" tanya Genta ketika waktu istirahat pertama telah tiba. Cowok itu mengeluarkan bekal makan siang dari dalam lacinya. Aroma masakan berbumbu segera menyebar ke seluruh kelas.
Jessie yang menghirup bau enak tersebut segera menoleh ke belakang dan melihat Genta sudah menyendokkan nasi ayam banyak-banyak, padahal isi di mulutnya masih penuh.
"Buru-buru banget, sih, makannya." Jessie tidak tahan untuk tidak berkomentar dan sempat takjub dengan kemampuan Genta yang melahap makanan tanpa tersedak. Kesannya jadi seperti mesin penggiling yang bekerja tanpa henti.
Bagaimana tidak? Genta hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk menghabiskan makanan dalam mulut sebelum menyendokkan nasinya kembali, tetapi gerakannya terhenti mendadak saat ekor matanya menangkap siluet Jessie yang memandangnya dengan penuh simpatik seakan dia belum makan selama beberapa hari.
Genta menghentikan aktivitasnya dan berbicara dengan agak canggung. "Sori, mungkin lo nggak pernah lihat gue makan kayak gini. Apa bagi lo... gue agak mengerikan, ya?"
Jessie mendengkus geli. "Nggak apa-apa, kali. Lo cuman punya napsu makan yang besar aja dan itu nggak dosa, kok. Gue malah salut sama lo. Lihat lo makan kayak gini, gue jadi ngerasa mau makan juga. Kayak nonton orang mukbang di YouTube. Tahu, 'kan? Itu, loh, komentator yang biasa suka nge-vlog setiap staycation ke mana-mana."
Genta tersenyum lebar dan tampak bersemangat. "Iya, gue tahu. Lo mau?"
Jessie hampir terbangun dari kursi karena kaget ditawari seperti itu. Cewek itu menggoyangkan kedua tangannya dengan sangat kaku. "B-bukan... maksud gue bukan gitu. Gue cuman... kagum aja sama napsu makan lo."
"Hah? Kagum?"
"Maksud gue... gue bisa rasain lo sangat menikmati makanannya."
"Hmm... jadi, lo mau bilang apa tadi sebelum bel masuk?"
"Oh, itu." Jessie menopang dagunya lagi di meja Genta sementara cowok itu melanjutkan aktivitas menyuapkan sendok ke mulutnya lagi meski sudah tidak se-'beringas' tadi. "Ini soal Judy. Karena gue tahu lo ada perasaan sama dia dan juga lo udah mulai deket sama gue, gue rasa gue mau dukung, tapi tergantung dari niat lo."
"Maksudnya?" tanya Genta tidak mengerti sementara mulutnya penuh dengan makanan. Sungguh mengesankan karena penuturan kata-katanya masih jelas, padahal mulutnya sibuk mengunyah.
"Tipe idamannya Judy itu kayak gue, Ta."
Genta hampir saja menyemburkan isi makanan ke wajah Jessie, tetapi beruntung dia berhasil menahannya dengan sangat baik. Namun celakanya, dia tersedak hebat dan dia segera meneguk air banyak-banyak.
Jessie tampak bingung dengan situasi ini sedangkan Genta yang berusaha menenangkan diri, berkata dengan intonasi nada rendah, "Sori, gue tadi salah menafsirkan. Gue kira Judy suka cewek yang seperti lo."
Jessie nyengir. "Ups. Sori banget. Kalimat gue mungkin kedengaran ambigu, ya. Maksud gue, tipe cowok idamannya Judy itu yang penampilannya menarik dan keren."
Genta tidak langsung menjawab. Cowok itu menghabiskan makanannya dan meneguk air banyak-banyak lagi. Setelah selesai, dia berujar, "Maksud lo... tipe idamannya yang kayak Tomari, ya?"
Jessie menoleh ke jendela dan menatap pemandangan di luar. "Hmm... sebenarnya iya. Karena dulu kami pernah saling buka-bukaan soal tipe cowok idaman. Dan nggak disangka tipe ideal kita ternyata adalah cerminan dari gue sama Judy."
Jessie menolehkan kepalanya kembali pada Genta dan menatap cowok itu dalam-dalam. "Artinya; gue suka cowok seperti Judy yang otaknya encer sedangkan adik gue suka cowok yang rajin memperhatikan penampilan dan wajahnya udah pasti cakep."
"Jadi... gue nggak bisa masuk daftar dong, ya," kata Genta sambil berusaha menjadikannya sebagai candaan, tetapi kesannya malah terdengar baper.
Mendadak Jessie mengulurkan sebelah tangan untuk menyentuh dagu Genta sebelum menaikkannya beberapa derajat. Ekspresinya cukup serius, seolah-olah dia adalah dokter kulit yang memeriksa wajah pasiennya. Cewek itu menggerakkan wajahnya ke kiri dan ke kanan dengan cukup berani hingga Genta sukses dibuat canggung. Tidak tanggung-tanggung, dia juga yang melepas kacamata bulatnya dan mengacak-acak rambut Genta yang tampak terlalu rapi menurutnya.
Genta tidak tahu apakah dia harus menghentikan aksi agresif Jessie atau tidak. Lantas ketika pada akhirnya dia hendak menyuarakan protes, Jessie menghentikan gerakannya dan tertawa konyol melihat rupa Genta yang sekarang tampak awut-awutan, padahal dia adalah pelakunya.
"Hahahaha... sori, gue cuma berusaha membayangkan andaikan pipi lo lebih tirus, lepas kacamata, trus rambut lo dibuat acak-acakan kayak artis ternama."
"Jadi, hasilnya gimana?" tanya Genta, memutuskan untuk membiarkan apa pun yang dilakukannya karena untuk pertama kalinya dia melihat tawa lepas Jessie yang begitu alami dan terlihat sangat good-looking.
"Lo sesuka itu, ya, sama Judy?"
Wajah Genta tampak memerah, tetapi tidak menghalanginya untuk menganggukkan kepala. Dia segera memakai kembali kacamatanya.
"Kalau gitu, lo harus diet karena seperti yang pernah gue bilang sebelumnya, wajah lo punya daya tarik tersendiri dannn...."
"Dan apa?"
"Mata lo, Ta. Sebaiknya lo lepasin kacamata trus ganti pake softlens. Penilaian gue nggak salah. Mata lo indah."
Tenggorokan Genta serasa tercekat. Entah kenapa pujian Jessie membuatnya serasa sedang berdiri di ujung tangga dan hampir jatuh, tetapi tubuhnya serasa ringan sehingga dia bisa menyeimbangkan tubuh dan jatuh secara perlahan. Tidak hanya suaranya yang tertahan, cowok itu juga tidak bisa melepas pandangannya dari kedua mata Jessie yang juga terlihat sangat indah baginya.
"Mata lo juga indah, Jes," bisik Genta.
"Hah? Lo bilang apa?" tanya Jessie seperti dikagetkan ketika sedang asyik melamun.
Genta juga sama, terlihat seolah-olah sedang melamun dan baru saja tersadar. Namun, alih-alih mengulang lima kata barusan, dia memilih tersenyum, lalu berkata, "Hng... gue cuma mau bilang kalo jam istirahat udah mau berakhir. Gue ke toilet dulu, ya."
"Rasanya yang gue denger bukan itu, deh, lagian panjang amat kalimatnya," bisik Jessie dengan kernyitan di dahi sembari memperhatikan punggung Genta yang menjauh keluar kelas.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro