11). Making Up, Should It Be?
Semenjak obrolan panjang pada jam istirahat pertama tadi, kedekatan antara Jessie dan Genta mulai terjalin. Awalnya memang terasa agak canggung, tetapi rupanya mereka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi. Ujungnya malah terasa lebih menyenangkan.
Waktu belajar di sekolah telah usai. Seperti biasa, hampir seluruh siswa mengosongkan kelas untuk pulang ke rumah masing-masing pasca mengucapkan salam perpisahan pada guru. Jessie berbaik hati menunggu Genta yang agak lambat menyimpan buku-bukunya untuk bersama-sama keluar kelas.
Situasi ini tentu tidak luput dari perhatian beberapa murid yang belum benar-benar meninggalkan sekolah. Mereka terang-terangan tidak percaya, bahkan ada yang menoleh dua sampai tiga kali untuk memastikan apakah mereka tidak sedang mempunyai masalah penglihatan saat menyaksikan Jessie dan Genta berjalan beriringan.
Lantas sesampainya mereka di lantai bawah, tampak batang hidung Judy dan Tomari. Entah kebetulan atau sedang direncanakan, yang jelas keduanya sama-sama berhenti dan pandangan mereka juga mengarah pada satu titik, yaitu memusat ke duo Jessie dan Genta.
Judy tersenyum. "Eh, tumben ada Genta. Oh, iya, bener, lo memang seharusnya agak cepet pulang ikut anak-anak yang lain karena kalo nggak, kasian lo nanti dibuli lagi. Dan ingat ya, jangan lewat jalur penunggu preman seperti yang gue bilang waktu itu."
Judy memang seterus terang itu kalo berbicara, membuat Genta terperangah sekaligus malu sementara Jessie tampak berusaha memberi kode, tetapi sayangnya gagal karena sang adik memang tidak sepeka itu. Sebaliknya, Tomari hanya memandang Genta dengan tatapan datar.
Mereka berempat berjalan menuju gerbang. Dua di depan adalah Jessie-Judy dan sisanya menyusul. Genta ingin sekali mengajak bicara Tomari, tetapi sayangnya yang diperhatikan malah memandang ke arah yang lain.
Kemudian di saat Jessie dan Judy saling mendekatkan kepala satu sama lain untuk berbincang, Genta tidak membuang kesempatan dengan menahan tubuh Tomari, memblokir aksesnya berjalan.
"Ayo, kita bicara," ajak Genta.
"Ada apa, sih?" tanya Tomari dengan nada seakan Genta membuang waktu saja. Cowok itu menariknya ke parkiran yang hampir kosong di area kendaraan bermotor roda dua.
"Mau sampai kapan, sih, kita dieman terus?" protes Genta.
"Oh, memangnya lo tadi berharap gue manggil, 'eh, Genta, lo udah balik, ya? Pulang bareng, yuk!' gitu?" sindir Tomari, tidak lupa menaikkan nadanya satu oktaf ketika menyuarakan kata-kata imajinatifnya.
"Hmm... bukan gitu maksud gue. Gue cuman berharap kita bisa baikan kayak dulu lagi. Lo masih mau ke rumah gue untuk makan bareng, 'kan?"
"Malas gue! Rumah lo, kan, jauh. Gue mau ngirit bensin," kilah Tomari dengan nada menutup pembicaraan.
"Hmm... baiklah, gue paham. Gimanapun pastinya nggak gampang untuk kembali, setelah lo tau kebenarannya seperti apa. Terutama tiap lo lihat Papa. Mungkin aja lo bakal ingat terus kejadian itu."
"Paham juga lo."
"Kalau gitu, gue akan tunggu sampai lo nerima kenyataan karena kalo lo belum tahu, kita juga senasib. Gue berusaha menerima semuanya demi pertemanan kita, Tom. Jadi, gue juga yakin lo bakal melakukan hal yang sama."
Tomari membuka mulut untuk protes, tetapi Genta sudah memutar tubuh dan meninggalkan lokasi itu. Tomari sempat keki, tetapi kemudian sadar ternyata kekesalannya sudah jauh berkurang dan terjadi di luar kemauannya. Oleh karena itu alih-alih mengomel, dia hanya menghela napas saja.
*****
"Tom, gimana kalo kita pindah rumah aja?" tanya Maya ketika Tomari baru selesai mengganti seragam dengan satu setel pakaian rumahan dan hendak makan bersama.
Sejak menceritakan kenangan lama di hari itu, pikiran Maya jadi lebih terbuka. Sebisa mungkin wanita itu memilih pulang kerja lebih awal dan menyediakan waktu untuk memasak di rumah. Lagi pula, status jabatannya di kantor sudah lebih mapan dibandingkan dulu sehingga negosiasi dengan atasan lebih gampang diatur.
Tomari menatap Maya setelah mengaduk nasi ke piringnya. "Tumben Mama mau pindah?"
"Bukannya dari dulu kamu memang mau pindah? Kan, kamu pernah bilang sendiri; agak repot bolak-balik ke sekolah karena jaraknya jauh banget dari rumah. Juga, bukannya kamu mau pindah biar bisa bareng ke sekolah sama Gen—–" Maya mendadak menghentikan omongannya saat kepikiran kalau Tomari mungkin tidak ingin membicarakannya. Namun, ekspresi kalem anak tunggalnya ternyata menunjukkan bahwa dia tidak terpengaruh.
"Hmm... iya, sih. Deket juga sama kantor Mama karena kebetulan nggak jauh dari sekolahku, 'kan? Ini, tuh, kayak peribahasa yang lagi viral. Hmm... bentar, aku inget kayaknya. Sekali lempar, dua burung kena—–nah, gitu kira-kira."
Maya tertawa lepas. "Yang bener itu 'sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui'. Kamu ngapain aja, sih, di kelas? Tidur terus, ya?"
Tomari berdeham keras-keras, berusaha menghindar dari kewajiban menjawab pertanyaan. "Soal itu... nggak usah khawatir, Ma. Aku udah ada bekingan, kok."
"Bekingan? Siapa?"
"Ada, deh, pokoknya."
"Tumben nggak mau ngaku. Oh, apa jangan-jangan yang bikin kamu cengar-cengir nggak jelas waktu itu, ya? Siapa pun itu, pastinya cewek, 'kan?"
Tomari menolak menjawab, tetapi mengaduk nasinya dengan kekuatan yang tidak perlu, membuat Maya tersenyum geli. Ternyata menggoda anaknya adalah distraksi yang menyenangkan. Sepintas, dia jadi teringat akan masa mudanya dulu. Seolah dejavu.
"Hmm... tapi—–" Maya menggantung kata-katanya, membuat Tomari menghentikan aktivitas mengaduk nasi. "—–sebenarnya... Mama sudah punya rencana soal kepindahan kita, tapi Mama yakin kamu mungkin nggak bakal setuju."
"Jangan bilang kita mau pindah ke rumah Genta?" tebak Tomari dengan tatapan serius dan terus terang. "Kalau itu tujuannya, sesuai dugaan Mama, aku memang nggak bakal setuju. Nggak mungkin. Sonna hasu ga nai."
Satu kalimat tadi adalah bahasa Jepang yang berarti 'tidak mungkin'. Tomari tentu sengaja mengucapkannya dengan bahasa ibu yang lain sebagai kata-kata penegasan.
"Iya, Tom. Mama juga nggak mungkin setuju tinggal serumah sama Om Kristo. Bisa-bisa bakal dicemooh sama netizen. Lain cerita kalau Om Kristo itu bukan pria."
"Jangan dibawa canda, deh, Ma." Tomari seketika bergidik karena membayangkan Kristo berubah menjadi wanita dan tampak gemulai. "Trus rencana Mama, apa?"
"Tinggal sekompleks sama mereka, Tom. Kebetulan Om Kristo baru kabarin Mama kalau tetangga sebelah udah pindah ke Bandung. Kamu tahu sendiri, kan, rumah mereka sedekat apa ke sekolah. Kamu cukup jalan kaki biar bisa hemat bensin."
Mendadak Tomari teringat akan kata-katanya pada Genta di sekolah, tepatnya di parkiran barusan. Padahal, dia sudah menolak ke rumahnya dengan dalih mau menghemat bensin. Lantas, apa yang harus dia katakan agar tidak menjatuhkan harga dirinya? Tambahannya, apakah dia harus berbaikan dengan Genta? Lalu jika sudah, apakah mereka akan berangkat ke sekolah bersama-sama seperti dulu?
"Tom," panggil Maya ketika Tomari sama sekali tidak menunjukkan reaksi untuk berpendapat atau mengeluarkan suara. "Memangnya mau sampai kapan, sih, kamu diem-dieman sama Genta? Gelagat kamu kayak seakan-akan dia sudah lakuin kesalahan yang fatal. Atau... kamu gengsi ajak Genta temenan lagi, ya? Udah, kamu santai aja. Mama yakin, kok, Genta udah lupain semuanya. Malah Mama rasa, dia berharap baikan lagi sama kamu."
Tomari refleks bergidik ngeri untuk yang kedua kalinya "Hah? Balikan? Memangnya aku pacaran sama Genta sampai minta balikan. Idih!"
Maya menggaplok punggung Tomari disusul pekikan gegara rasa sakit yang dia dapatkan. Namun, alih-alih merasa bersalah karena memukul terlalu keras, wanita itu malah mengomel, "Jelas-jelas Mama bilang 'baikan', bukan 'balikan'! Gimana, sih, kamu?"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro