Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10). First Chitchat

Sama seperti jam istirahat yang sudah-sudah, Jessie memilih menghabiskannya dengan mendengar lagu dari earpods ketimbang melakukan aktivitas lain. Dia duduk menyamping, lantas menyandarkan punggung ke tembok, yang mana memberikan keuntungan karena letaknya berada di bagian tepi kelas.

Dari sudut pandang ini, dia bisa melihat ruang kelas secara keseluruhan. Seperti biasa kelas itu kosong; menyisakan buku-buku pelajaran yang menumpuk atau tas-tas yang dibiarkan menggantung sembarangan di masing-masing kursi.

Namun siapa sangka, ada satu siswa yang masih eksis di kelas ketika ekor mata Jessie sampai ke bangku belakang; rupanya Genta Harvey.

Jessie tampak baru menyadari keberadaannya, terlihat dari ekspresi kagetnya yang kentara. Hal tersebut membuat Genta spontan merasa lucu.

Sejak Jessie sekelompok dengannya, entah kenapa dia tidak lagi merasa sendirian. Selama ini, tidak ada yang bersuka rela sekelompok dengannya mengingat dia adalah siswa yang paling pasif dan tidak populer di sekolah meski dia tergolong pintar di kelas.

Gimana, ya. Siapa sih yang mau sekelompok dengan siswa seperti dia? Bahkan dengan statusnya sebagai anggota OSIS saja tidak memberikan pengaruh apa pun kecuali fakta Rinto yang masih betah berinteraksi dengannya. Sedangkan Jessie--cewek populer yang disebut-sebut sebagai cewek perfect di sekolah, bersedia sekelompok dengannya atas kemauannya sendiri. Bagi Genta, ini adalah sebuah prestasi dan mungkin saja dia bisa menambah lebih banyak relasi pertemanan lewat cewek itu.

Jessie melepas earpods, lalu memperhatikan bagaimana Genta menikmati roti bungkusannya hingga mulutnya tampak terisi penuh.

"Lo nggak makan di kantin?"

Pertanyaan itu membuat fokus makan Genta teralihkan. Untungnya, dia masih memiliki sejumlah akhlak untuk segera mengosongkan mulut terlebih dahulu sebelum menjawab, "Nggak. Selama ini gue juga nggak pernah ke kantin. Gue selalu bawa makanan sendiri."

Genta mengambil bungkusan roti lain di meja dan menyerahkannya ke Jessie. "Mau?"

Jessie refleks menggeleng canggung. "Hmm... nggak, deh. Thanks, ya."

"Dari yang gue liat, kayaknya lo nggak pernah ke kantin, ya? Kalau gue boleh tahu... kenapa?" tanya Genta memulai percakapan setelah jeda beberapa saat.

"Karena gue memang nggak suka ke kantin."

"Oh, gue paham," kata Genta setelah menghabiskan sisa rotinya dan mulai mengambil yang baru untuk dibuka. "Lo agak fobia sama keramaian, ya? Gue sempat denger ada rumor kayak gitu tentang elo."

Jessie tersenyum tipis. "Bukan. Gue nggak ada fobia itu sama sekali. Gue cuma... yahhh bisa dibilang memang udah jadi kebiasaan gue. Gue nggak pernah ke kantin sejak SMP."

"Lo nggak laper, ya?"

Jessie memperhatikan Genta yang sibuk dengan roti keduanya dan segera paham dengan pertanyaannya. Bagi Genta, makanan tentu adalah segalanya. Mungkin sama pengertiannya dengan Jessie yang menganggap penampilan adalah segalanya.

Jessie menggeleng. "Gue memang jarang makan soalnya jarang laper. Ini juga udah sarapan dari rumah, jadi masih kenyang sampai sekarang."

"Gue salut sama lo. Gue nggak bisa bayangin kalau disuruh puasa di jam istirahat," puji Genta takjub.

Jessie mengangguk. "Makanya banyak yang nggak bisa nemanin gue di sini karena mereka nggak tahan kalo nggak ngapa-ngapain di jam istirahat. Lebih tepatnya... gue yang nggak normal, bukan mereka."

"Oh, gitu." Genta merespons usai menghabiskan semua rotinya. "Gampang, kok, solusinya. Kalau gitu gue aja yang nemenin lo di sini sambil makan, biar lo ada temen."

Jessie otomatis gelagapan sampai menggoyangkan tangannya dengan impulsif. "Ehhh... bukan itu maksud gue. Gue nggak masalah kok sendirian di kelas. Sudah biasa. Lo nggak perlu nemenin gue. Gue juga asik sendiri sambil denger lagu."

Genta tersenyum. "Nggak masalah, kok. Kebetulan gue memang nggak punya temen. Siapa juga sih yang mau temenan sama gue yang gendut bin jelek begini? Dan juga... gue memang nggak suka keramaian, makanya gue selalu bawa makanan sendiri. Jadi, kalau dikasih pilihan, gue lebih pilih makan di kelas biar ada temannya daripada sendirian. Hehehe...."

Lantas, begitu saja, Jessie menarik senyuman lebar yang segera saja menulari Genta.

"Lo emang gendut, tapi nggak jelek kok." Jessie menghibur. "Gue yakin penilaian gue nggak salah. Kalau lo lepasin kacamata, trus ngurusin badan, gue yakin lo nggak bakal kalah sama cowok ganteng di sekolah."

Kali ini Genta tertawa sampai terbatuk-batuk karena tersedak salivanya sendiri. Beruntung, dia masih memiliki sisa air di botolnya. "Ah... masa, sih? Ini lagi peresmian nerima teman baru, ya, makanya lo muji gue? Makasih, deh. Hahahaha...."

Jessie ikut tertawa. "Gue nggak bohong. Kalau lo nggak percaya, coba ngurusin badan, deh, atau setidaknya lepasin kacamata karena setelah gue perhatiin, mata lo sebenarnya yang jadi nilai plus."

"Yang anak-anak bilang tuh bener," kata Genta tiba-tiba. "Soal lo yang selalu jaga perasaan orang lain lewat kata-kata. Thanks buat saran lo, tapi gue rasa mustahil banget kalo mau ngurusin badan. Seperti yang lo lihat, udah telat."

Genta mengayunkan tangan di depan tubuh, mengisyaratkan bagaimana bentuk tubuhnya yang membulat ke arah Jessie sebelum bertanya, "Mau tahu berat badan gue berapa, nggak? Coba tebak."

"Hmm... berapa? 60 kilo?" Jessie asal menebak karena belum pernah mengira-ngira berapa berat badan orang lain.

"Masih rendah itu, Jes, soalnya tinggi badan gue melebihi standar tinggi cowok; 178 sentimeter. Gue pernah baca rumus menghitung berat badan yang ideal, sih. Katanya kalau buat cowok--"

"Oh, gue tahu soal itu soalnya gue juga sering hitung berat badan ideal gue," potong Jessie bersemangat. "Bentar, ya, gue bantu hitungin. Hmm... semestinya kisaran 70 kilo gitu, Genta, kalau ngikutin rumusnya. Cewek kalikan sama 15 persen, kalau cowok 10 persen, 'kan?"

Jessie mencorat-coret salah satu halaman pada buku tulis, lalu menunjukkan hasilnya pada Genta. Ditilik dari caranya menipiskan bibir, bisa ditebak berat badannya yang asli masih jauh dari perkiraan itu.

"Kalo aslinya 70, dengan penampilan gue begini, masih jauh dari berat badan ideal."

"Memangnya berapa, sih?" tanya Jessie kepo, tetapi secara otomatis membuka mulutnya lebar setelah mendengar jawaban Genta.

"Udah lama nggak ngukur sih sebenarnya, tapi gue yakin lebih dari 85 kilo."

"Nggak ada kata telat kalau lo bisa memotivasi diri sendiri." Sekali lagi, Jessie berusaha mendukungnya dan mendadak teringat akan kata-kata yang pernah Judy katakan soal merundung. Oleh karena itu, dia mulai berpikir untuk menemukan cara agar bisa menyampaikan dengan lebih halus, disertai alasan yang masuk akal agar Genta tidak merasa minder. "Dari film yang pernah gue tonton, biasanya orang yang gemuk bisa jadi kurus karena ada sesuatu yang membuat dia termotivasi, loh. Hmm... demi orang yang dia sukai, misalnya."

"Orang yang kita sukai?" ulang Genta pelan dan seketika wajah seseorang memenuhi isi pikirannya, yang mana memiliki tatapan tidak bersahabat terutama ketika menghabisi preman-preman di sekolah. "Hmm... memangnya cewek suka, ya, sama cowok yang badannya lebih kurus dari gue?"

Jessie membalikkan tubuh sepenuhnya menghadap Genta, sementara earpods-nya dia letakkan begitu saja untuk pertama kali. "Sebenarnya nggak dominan karena wajah dan penampilan, sih, meskipun itu jadi kesan pertama mereka setiap lihat cowok ganteng. Lo pernah lihat cewek teriak-teriak nggak jelas pas lirik cowok cakep, 'kan?"

Genta mengangguk. "Pernah."

"Yang lo lihat, cowok itu seperti apa?"

"Yang pasti cakep, trus tubuhnya lebih berbentuk daripada gue."

Jessie tersenyum. "Itu sebenarnya belum tentu beneran suka sama cowok itu. Meski penampilan adalah kesan utama, tapi setidaknya cowok yang cakep dan punya bodi bagus itu menjadi poin plus buat cowok itu. Gimana, ya. Kesannya jadi lebih percaya diri. Kepercayaan diri itu yang membuatnya mendapatkan lebih banyak teman dan gebetan."

Betul, Jessie. Jadi Genta nggak akan tersinggung dengan maksud yang mau lo sampaikan ke dia.

"Hmm... gue mulai paham," kata Genta akhirnya sambil manggut-manggut. "Contohnya nggak usah jauh-jauh. Lo misalnya, 'kan?"

"Loh, kok, gue?"

"Iya. Lo tepat seperti yang lo deskripsikan tadi--tentang cowok itu, tapi gue ganti jadi lo aja yang jadi subjeknya."

"Hmm... iyain aja, deh. Nah, jadi gimana? Dari ekspresi lo barusan, gue tebak kayaknya ada, ya, cewek yang lo suka?"

Genta tampak malu-malu. "Ketahuan, ya? Hahaha... tapi gue masih belum yakin itu beneran suka atau nggak. Gue... gue cuman merasa nyaman aja tiap kali dia lindungin gue."

"Lindungin lo?" ulang Jessie bingung. Masalahnya, dia tidak bisa membayangkan siapa yang bisa melindungi tubuh Genta yang bongsor seperti itu.

Genta seolah mengerti arah pikiran Jessie, sehingga dia refleks tertawa hingga terpingkal. "Eh, bukan itu maksud gue. Hmm... maksud gue, dia jago bela diri jadi gue berasa dilindungi sama dia."

Bibir Jessie membentuk bulat sempurna, tetapi tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja ada sebuah pemahaman yang menamparnya tanpa aba-aba. Kini, gantian kedua matanya yang membulat sempurna.

"Apa jangan-jangan... maksud lo, J-judy orangnya?"

Genta mengangguk polos. "Sebenarnya lo nggak boleh tahu, tapi berhubung lo kakaknya dan udah resmi berteman sama gue, gue jujur aja, deh--lagian udah ketahuan juga. Eh, tapi, plis jangan bilangin Judy, ya? Nggak enak kalau situasinya jadi canggung."

Selayaknya mendapat plot twist dalam cerita, saking syoknya, Jessie sampai tidak sadar pada alarm bel masuk berdering, padahal sebelumnya dia selalu menunggu dan peka terhadap bunyi tersebut.

Jika ditanya apakah dia syok dengan kabar ini? Tentu saja. Pasalnya, bukan karena adiknya se-ngenes itu sampai tidak mungkin disukai cowok, hanya saja dia tidak bisa percaya pada fakta Genta menyukai adiknya karena merasa terlindungi dari serangan preman sekolah.

Kesannya, kok, jadi berasa sinetron tapi fakta. Iya nggak, sih?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro