Shape-3
"Hahaha! Muka lo kenapa, dah? Udah kayak kukang kurang tidur aja!" ledek Karin sambil tertawa puas.
Asela berdecak kesal di kursi seberang. Lantas memanggil Bi Mar agar mengambilkannya waslap dan air dingin untuk mengompres lingkaran hitam di bawah mata. Semalam, usai mimpi buruk itu mendatanginya, ia tak bisa lagi memejamkan mata sedikit pun. Bahkan teriakannya berhasil membangunkan Devan yang tidur pulas di sampingnya. Asela baru benar-benar bisa menenangkan diri dan kembali tertidur usai salat Subuh. Sayang, istirahatnya kembali dikacaukan oleh si tengil Karin yang datang untuk mencari sarapan.
"Kamu tuh udah besar, udah punya kerjaan dan apartemen sendiri, nggak malu apa numpang sarapan di sini tiap pagi?" sindir Asela pedas yang kesal karena waktu tidur berharganya terganggu. Gadis berkucir kuda di hadapannya itu justru menyengir tak berdosa.
"Masak sendiri, kek, apa! Kalau kayak gini terus, mana ada yang mau sama kamu?"
"Yeee ... menghina! Gini-gini banyak, tau, yang ngejar-ngejar gue! Tapi gue-nya aja yang pemilih!" protes Karin sambil memukul permukaan meja makan dengan kedua tangan. "Kalo nggak seganteng, sekalem, sebaik, dan setajir Cha Eun Woo, ya gue nggak mau, lah! Secara, kecantikan gue, kan, setara Kim Jisoo!"
Karin lantas melakukan aegyo dengan membuat dua heart sign menggunakan ibu jari dan telunjuk, sambil tersenyum lebar dan mengedip-ngedipkan mata. Bukannya terlihat imut, bagi Asela kelakuannya itu justru seperti orang terkena ayan. Ia pun hanya merespons dengan memutar bola mata malas, sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya mengompres mata panda.
"Lagian harusnya justru lo yang berterima kasih sama gue! Kalau ada gue di sini, kan, makanan di rumah lo jadi nggak mubazir. Ada yang bantu habisin. Hehe."
Usai mengucapkan itu, Karin langsung mengambil satu centong penuh nasi goreng di hadapannya dan memindahkan ke piring. Asap tipis masih tampak menguar di bagian atas tempat nasi berbahan aluminium yang kini isinya tinggal setengah. Bulatan-bulatan kecil warna-warni yang merupakan campuran kacang polong, jagung manis, dan wortel tersebar di antara butir-butir nasi kemerahan itu. Asela menelan ludah. Tentu saja lambungnya terasa perih akibat tidak bisa tidur dan muntah semalam. Namun, sepiring nasi goreng kalorinya bisa mencapai 450 Kkal lebih! Mau di ke manakan jumlah sebanyak itu, kalau bukan terdeposit menjadi lemak di bawah kulitnya?
Buru-buru Asela mengalihkan pandangan dari godaan tersebut dengan kembali menempel-nempelkan waslap basah bergantian ke kedua matanya. Ia bahkan mengubah posisi menjadi duduk miring, tetapi tetap saja aroma nasi goreng dan suara berdecap-decap Karin mengganggu kewarasannya.
"Bi Maar! Tolong bikinin smoothies alpukat, dong! Tambahin selada agak banyak, ya. Nggak usah dikasih gula atau madu! Es batunya juga sedikit aja!" perintah Asela dengan suara terlampau keras.
Mendengar racikan itu, Karin mengernyit jijik. "Iyuwh! Lo makan apaan, sih, Sel? Kayak lagi bikin jamu buat gemukin kambing aja!"
Namun, yang didengar Asela justru kata 'gemuk'-nya saja. Ia langsung menoleh dengan mata memicing. "Rin! Menurut kamu, ada yang berubah dari aku nggak, sih?"
Karin menatap wajah sepupunya itu dengan serius. Sampai-sampai kedua alis dan kulit di atas pangkal hidungnya ikut berkerut. Asela merasa waswas. Sepertinya mimpi yang mendatanginya semalam adalah sebuah pertanda bahwa memang ada yang 'salah' dengan penampilannya.
"Kalau diperhatikan baik-baik, sih, emang ada yang berubah." Jantung Asela seketika merosot ke perut. Perasaannya langsung mulas-mulas tak karuan menunggu kata-kata Karin selanjutnya.
"Jadi makin mirip kambing gara-gara kebanyakan makan sayur! Hahahaha!" Karin tertawa terbahak-bahak. Sementara perlu waktu beberapa detik bagi Asela sampai ia sadar kalau sedang dikerjai.
"Hish! Sialan!" umpatnya sambil melempar waslap. Sayangnya, Karin berhasil menghindar lebih dulu sehingga kain basah itu hanya teronggok pada lantai di belakangnya.
"Habisnya lo juga, sih! Nanya kayak gitu ke gue! Coba tanya ke suami lo, sonoh!" tukas Karin di sela tawanya. Ia lantas menggigit paha ayam goreng tepung yang baru dicomot dari piring saji dan mengunyahnya dengan nikmat. "Omong-omong, Devan ke mana? Masih pagi gini kok udah nggak kelihatan?"
Lagi-lagi Asela menelan ludah. Ia tidak mengerti, bagaimana orang serakus Karin badannya bisa tidak mengembang seperti balon udara. Padahal ia juga tahu, porsi olahraga Karin pun masih tergolong biasa saja. Coba dirinya yang seperti itu, pasti dalam semalam jumlah lemak di tubuhnya sudah bertambah secepat ameba bereplikasi.
Asela mendengkus. Sungguh, ia benar-benar iri dengan orang yang sejak awal dikaruniai kemampuan metabolisme tinggi. Terkadang ia merasa Tuhan tidak adil. Padahal orang lain bisa makan dengan bebas tanpa khawatir berat badannya naik, sementara ia terus dihantui rasa takut gemuk, bahkan hanya dengan satu gigitan kecil kerupuk.
"Sel! Kok malah bengong? Suami lo mana?" tanya Karin lagi, kali ini sambil menggetok punggung tangan Asela dengan garpu hingga ia terperanjat.
"Oh. Dia buru-buru berangkat pagi tadi. Ada masalah di kantor katanya," terang Asela singkat. Lantas mengangkat gelas berisi smoothies-nya yang sudah tersaji dan segera dihabiskan dengan cepat. Demi meredam godaan untuk mengisi perut dengan nasi goreng dan lauk di depan mata.
"Hari ini jadwal kita apa?" Ia bertanya kemudian. Lambungnya yang sudah dibungkam dengan smoothies pekat, kini bisa dengan tenang berhadapan dengan santapan di meja tanpa merasa terintimidasi.
Karin yang baru selesai menghabiskan sarapan mendorong piringnya menjauh. Namun, mulutnya masih berdecap-decap mengunyah suapan terakhir. "Nggak banyak, sih, cuma foto endorse serum C-Glow skincare sama posting daily activities atau apalah, terserah kamu."
Asela lantas meraih ponsel dan memeriksa akun Instagram-nya. Foto yang terakhir diunggah adalah saat pemotretan kemarin dan rupanya, Karin juga sudah me-repost IG Story dari Regina. Itulah gunanya Asela berbagi kata sandi dengan Karin, agar ia bisa sewaktu-waktu mengatur akunnya saat Asela sedang tidak sempat. Sebagai seorang Selebgram, tentu wajib hukumnya rajin memperbarui unggahan supaya engagement rate di media sosialnya tetap tinggi. Lagi pula, ia juga sudah sangat mempercayai Karin yang merupakan sepupu sekaligus teman berbaginya sejak kuliah.
"Dimundurin nanti siang atau agak sorean gimana? Aku mau ke klinik dulu, nih, pagi ini."
"Ke klinik kecantikan, maksudnya? Bukannya lo abis dari sana minggu lalu?" tanya Karin cepat. Asela tak segera menjawab. Ia meletakkan ponsel yang sudah dikunci dalam posisi menelungkup di atas meja.
"Yaa ... emang ada larangan nggak boleh nyalon tiap minggu? Lagian kamu juga tahu sendiri, kan, ini modalku buat cari cuan?"
Karin tak memprotes lagi. Tentu saja, penampilan Asela adalah daya jual yang menarik penggemar serta klien mereka. "Gue anterin, mau?"
"Boleh, deh. Kamu mau sekalian nyalon juga?"
"Ogah, ah! Gue belom mandi!" aku Karin sambil menyengir tak berdosa.
"Ih, jorok!" Asela langsung mengernyitkan hidung.
"Emang lo udah?" tanya Karin sangsi. Ia menaikkan sebelah alis sambil menyorot penampilan Asela yang masih memakai piama satin bermotif bunga-bunga kecil.
"Ya belum juga," jawab Asela jujur, lantas buru-buru menambahkan, "tapi, kan, aku sadar diri! Nggak keluar-keluar atau bertamu ke rumah orang dalam posisi belum mandi!"
"Ck! Rèmbés¹ ya rèmbés aja! Nggak usah pake ngeles!" Karin cekikikan, menang. Ia memang tak mau kalah kalau urusan debat. Maka dari itu, Asela memilih tak meladeninya.
"Ya udah, tunggu sebentar! Aku mau siap-siap dulu." Asela bangkit dan meninggalkan Karin menuju ke kamarnya. Ia segera mandi, berganti baju, dan tak lupa mengoleskan serangkaian produk perawatan kulit ke wajah sebelum kembali turun, hampir satu jam kemudian.
"Yok, berangkat!"
"Lama amat! Gue sampe udah mau ngiler-ngiler lagi, nih, ketiduran!" seloroh Karin yang sudah pindah rebahan di sofa panjang ruang tamu. Ia bergegas bangkit saat melihat sepupunya itu sudah lebih dulu keluar melewati pintu depan.
"Sel! Tunggu, dong!" panggilnya sambil buru-buru menyabet kunci mobil di atas meja. Lantas berlari mengejar.
Klinik kecantikan langganan Asela termasuk tempat perawatan yang terkenal di kalangan kaum hawa. Selain memiliki cabang di banyak kota, klinik tersebut juga telah meluncurkan produk perawatan kulit yang banyak diminati karena testimoni positif oleh para konsumennya. Asela sendiri sudah didapuk menjadi brand ambassasor-nya sejak hampir tiga tahun yang lalu.
"Nggak! Nggak! Kamu baruu ... aja melakukan treatment itu!" tolak seorang wanita cantik berjas putih saat Asela mengungkapkan keinginannya untuk melakukan thread lift, atau prosedur tanam benang agar wajah tampak lebih tirus dan kencang. Saat ini ia sedang melakukan sesi konsultasi sebelum melakukan perawatan.
"Ayolah, Dok ... kayaknya double chin aku mulai muncul lagi, deh! Di tambah pipi tembam ini!" Asela mengerucutkan bibir. Sementara dokter dengan papan nama bertuliskan "dr. Chintya" itu memperhatikan wajah Asela saksama, seolah sedang mencari-cari di mana letak keluhan yang baru saja disampaikan pasiennya itu.
"Nggak bisa. Prosedurnya, treatment itu dilakukan 6 sampai 12 bulan sekali. Ini kamu hitungannya belum ada empat bulan, lho!" terang Dokter Chintya usai memeriksa kembali rekam medis Asela yang berada di hadapannya. "Lagian menurut saya, wajah kamu masih tergolong tirus, kok!"
Namun, yang dipuji justru mendengkus. Saat ini yang dibutuhkan Asela adalah perawatan untuk menghempaskan lemak-lemak di tubuhnya. Bukan sekadar kata-kata manis.
"Kalau gitu, mesolipo aja boleh, ya, Dok?"
Seketika bola mata Dokter Chintya membulat. "Apa lagi itu, Sel! Seminggu yang lalu kamu udah saya kasih kelonggaran buat treatment itu, padahal harusnya jatahnya masih bulan depan!"
Asela frustrasi. Ingin rasanya ia mencakar-cakar rambut di balik hijabnya saking merasa gemas dengan sang dokter yang ia anggap terlalu kaku, tidak bisa berkompromi. Namun, kedua tangannya justru mendarat di pinggang dan mencubit-cubit kulit yang terasa tebal. Ia mulai berdebar dan mengucurkan keringat dingin, membayangkan tumpukan lemak jahat yang bersarang di baliknya.
Suara dering ponsel yang nyaring membuyarkan provokasi di kepala Asela. Ia segera mengambil benda kecil itu dari dalam tas tangan dan melihat nama Devan muncul di layar yang berkedip. Setelah memberi isyarat kecil pada Dokter Chintya untuk meminta izin mengangkat telepon, ia pun bangkit dan menyingkir ke sudut ruangan.
"Iya, Mas?" tanya Asela to the point usai mengucap salam.
Devan membalas salamnya. "Lagi di mana?"
"Aku lagi di klinik kecantikan. Ada apa?" Asela sedikit terburu.
"Nanti malam free? Kita keluar, yuk! Aku ngerasa bersalah udah ninggalin istriku pagi-pagi, padahal kayaknya kamu lagi kurang enak badan. Maaf, ya, Sayang."
Mendengar kalimat-kalimat manis yang meluncur dari mulut Devan, Asela rasanya ingin melompat girang. Ketakutan yang tadi menyergapnya seketika hilang, berganti dengan rasa senang yang membuncah.
"Free, kok!" jawabnya antusias. Devan sampai tertawa kecil.
"Kalau gitu sampai ketemu nanti malam, ya. Love you, Honey. Mmuuah!"
Asela buru-buru kembali ke meja konsultasi usai Devan mengakhiri panggilan. Wajahnya tampak berbinar-binar cerah. Senyum semringah tersungging pada bibir tipisnya.
"Dokter! Saya nggak mau tahu! Pokoknya, tolong bikin saya terlihat benar-benar cantik dan perfect malam ini!" pinta Asela sambil menumpukan kedua tangan ke meja. Ia bahkan tidak kepikiran untuk duduk dulu sebelum mengatakan itu.
Dokter Chintya hanya tergeleng-geleng sebelum menghela napas. Lantas ia pun menuliskan beberapa treatment non invasif yang paling aman dan sekiranya bisa memuaskan keinginan pasiennya satu itu.
~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro