Shape-2
(Content warning‼️ Eating disorder, self-harm)
Gravitasi sudah hampir memeluk tubuh Asela saat seseorang tiba-tiba menangkap kedua bahunya dari belakang. "Sela! Kamu kenapa?"
Kesadaran Asela seolah dipaksa mengumpul kembali ke raga. Wanita itu mengerjap. Kepalanya masih terasa pening, tetapi ia bisa mengenali seraut wajah di atasnya. "Mas De ... van?" panggilnya terdengar serak.
Asela berusaha menyeimbangkan diri, lantas berbalik menghadap sang suami. "Kapan kamu pulang?" tanyanya masih dengan wajah setengah mengernyit, menahan sakit di kepala.
Dua hari yang lalu, Devan berpamitan pergi melakukan survei lapangan sebuah proyek kantornya di Solo. Asela tidak menyangka kalau pria itu akan pulang secepat ini.
Devan melingkarkan kedua tangan di pinggang Asela. Pria berkulit cerah itu lalu menempelkan kening ke dahi sang istri. "Baru aja. Tadi kamu kupanggil, nggak jawab. Tahu-tahu mau roboh aja. Kenapa? Sakit?"
Asela mengulum senyum, lantas menggeleng. Tidak mungkin ia membongkar semua kekhawatiran absurdnya pada Devan. Tidak, padahal sudah bertahun-tahun ia memimpikan kehidupan bersama pria di hadapannya ini. Pernikahan mereka mungkin terlihat seperti kesepakatan antara dua keluarga, tetapi jauh sebelum itu Asela memang sudah jatuh hati pada Devan.
Devan Mahendra Rahardika, pria yang lima tahun lebih tua dari Asela itu merupakan teman baik sang kakak, Ahnaf. Tentunya Asela juga sudah mengenal Devan sejak kecil. Dulu saat SMP, Devan sempat tinggal bersama kakeknya yang rumahnya bersebelahan dengan keluarga Asela, sampai ia lulus SMA. Devan lalu pindah ke Bandung untuk melanjutkan kuliah sebelum mengambil program pascasarjana di Australia.
Asela sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya sejak saat itu. Ditambah kesehatan kakek Devan yang menurun, membuat beliau pindah ke rumah salah satu anaknya di Jakarta untuk menjalani pengobatan, sehingga rumah yang di Malang pun dijual. Namun, perasaan untuk sang cinta pertama tetap tersimpan rapi di hati Asela. Hingga beberapa bulan setelah kabar kembalinya Devan ke tanah air sampai di telinganya, orang tua Asela baru membicarakan soal perjodohan mereka.
"Sela Sayang ... kok diem?" Lagi-lagi suara Devan menyadarkannya. Pria itu sudah menempelkan telapak tangan kanan di sisi wajah Asela sebelum mendaratkan kecupan singkat di sudut bibir sang istri. "Kamu keringatan," komentarnya lagi.
Buru-buru Asela menurunkan tangan Devan seraya menarik tubuhnya mundur. Ia merasa malu. Padahal pernikahan mereka baru seumur jagung, seharusnya ia bisa menampilkan sisi terbaik sebagai seorang istri. Teori dari buku yang pernah ia baca, salah satunya adalah dengan menyambut suami yang baru pulang kerja dalam keadaan cantik dan wangi.
"Ma-af, aku juga baru pulang. Aku mandi dulu." Asela berbalik tanpa memberi kesempatan Devan mengatakan apa pun lagi. Sementara pria itu hanya tertawa kecil sambil menggeleng melihat kelakuan lucu istrinya.
Usai membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka pun turun ke lantai satu untuk makan malam bersama. Di atas meja sudah tersedia sayur berkuah, ayam goreng, tahu-tempe, dan tak ketinggalan sambal yang menggugah selera. Ada dua macam nasi yang tersaji: putih dan merah. Tampak pula potongan sayur dan buah segar dalam dua mangkuk kecil yang berbeda.
Asela menarik kursi yang paling dekat dengan kedua mangkuk tersebut, lantas membalikkan piring dan alat makan di hadapannya. Ia mencondongkan tubuh, hendak mengisi piring dengan nasi merah. Namun, centong yang sudah di genggamannya seketika terlepas saat gambaran foto dagu dan pinggangnya yang melebar tadi berkelebat di kepala.
Buru-buru Asela menukar dengan sendok makannya sendiri, sehingga pada akhirnya ia hanya mengambil nasi sesuap cekukan. Lalu ditambah dengan beberapa lembar selada dan potongan tomat segar yang tetap saja tak membuat piringnya jadi tampak penuh. Sementara di kursi seberang, Devan makan dengan lahap meski tangan kirinya tak lepas dari ponsel. Bahkan saat menyuapkan nasi ke dalam mulut, pandangannya tak beralih seolah sudah terpaku pada layar benda pipih itu.
Asela tidak keberatan. Ia sendiri sudah terbiasa dengan kesibukan sang suami. Posisi Devan sebagai direktur operasional PT Bumi Citra-anak dari salah satu perusahaan properti terkenal di Indonesia-membuat 24 jam waktu yang dimilikinya masih terasa belum cukup. Justru bagus bagi Asela, karena Devan jadi tak memperhatikan porsi makannya yang tidak wajar.
"Oh ya, Sayang. Aku bawain oleh-oleh buat kamu, lho, dari Solo," ujar Devan tiba-tiba. Asela mengernyit penasaran. Sendok dan garpunya sudah dalam keadaan telungkup di atas piring, tanda ia sudah menyelesaikan kegiatan makannya.
Devan lantas memanggil Bi Mar, asisten rumah tangga mereka, untuk mengambil tas kain yang ia letakkan di meja dapur. Tidak lama kemudian, wanita berusia setengah abad lebih itu muncul dengan barang yang diminta sang majikan di tangan.
Asela masih menatap skeptis buah tangan tersebut. Dari logo di kemasan luar, ia bisa menebak kira-kira isi dalamnya. Namun, wanita itu masih berharap sang suami menyiapkan kejutan lain untuknya.
Sayang, angan itu pupus ketika Devan berkata, "Ini Serabi Notosuman. Tadi waktu pulang, temen-temen ngajak mampir. Katanya, sih, ini yang asli. Coba kamu cicipi!"
Mulut Asela seketika terasa getir. Sebenarnya ia enggan memasukkan benda berkarbohidrat tinggi itu ke dalam perut, belum lagi lemak jenuh dari santannya. Namun, melihat binar di wajah Devan, mau tak mau ia pun mengambil satu buah serabi yang masih tergulung daun pisang dari kotaknya.
Devan tak ketinggalan. Ia juga mencomot satu biji dan langsung melahapnya usai melucuti pembungkus daun pisang. Tidak seperti Asela yang masih memegangnya dengan ujung jemari dan mematung, seperti orang yang tidak tahu bagaimana cara makan.
"Coba, deh! Enak banget, lho! Aku nggak bohong!" dorong Devan dengan mulut penuh. Meski demikian, pria itu masih saja mengambil satu gulung lagi dan bersiap melontarkannya ke perut.
Asela menarik napas panjang. Bau gurih dari adonan tepung dan santan yang dipanggang tercium tatkala ia mendekatkan makanan itu ke mulut. Perut Asela mulai bergolak tergoda. Rasa-rasanya serabi itu memang enak, seperti yang dikatakan Devan. Ia pun membuka mulut lebar dan siap menggigit jajanan lembut itu.
'Kalori seratus gram tepung, 360 kkal. Kalori seratus ml santan, 230 kkal. Kalori gula ....'
Tiba-tiba saja gerakan Asela berhenti. Serabi itu mematung, tepat beberapa senti di depan bibirnya. Perhitungan kalori yang tanpa sopan santun melintas di kepalanya sukses melenyapkan selera makan Asela. Aroma sedap serabi itu pun tak lagi menggugah hasrat.
"Lho, kok nggak jadi dimakan?" tanya Devan bingung saat melihat Asela kembali meletakkan serabinya di atas meja. Alih-alih menggigit, wanita itu justru mencuil sedikit pinggiran kue dan menyuapkan ke mulut, setelah sebelumnya melirik penganan itu dengan tatapan malas.
"Masih kenyang. Udah makan banyak tadi," elak Asela bohong. Padahal perutnya sudah bergoyang disko hanya dengan potongan kecil serabi yang baru saja ia telan. Tak tahan, ia pun mengambil secuil lagi sebelum buru-buru mengakhiri sesi makannya dengan menandaskan segelas besar air putih. Lantas mendorong piring beserta sisa serabi di atasnya jauh-jauh.
"Lagian Mas Devan, sih, bawa oleh-oleh bukannya sayur apa buah, kek," celetuk Asela terdengar kesal.
Devan menarik napas panjang. Dalam hati sebenarnya ia merasa kecewa karena Asela tidak senang dengan oleh-oleh yang ia bawakan. Perasaannya sebagai seorang suami yang ingin dicintai dan dihargai oleh pasangan pun sedikit terluka.
"Ya kalau buah atau sayur, kan, nggak perlu jauh-jauh beli ke luar kota, Sel. Di pasar sini juga banyak!" terangnya sambil menahan emosi.
"Ck!" Tanpa sadar Asela berdecak. Mungkin karena efek perut yang tiba-tiba jadi 'tak penurut' sehingga mood-nya ikut sensitif. Ia bahkan tidak menyadari ketika lagi-lagi sang suami menghela napas panjang dengan ekspresi wajah lesu.
"Bi Mar! Tolong bikinkan saya teh hijau hangat, dong. Nggak pakai gula, ya!" perintah Asela sambil menengokkan tubuh ke dapur. Pada saat bersamaan, Devan bangkit dari kursi dan meninggalkannya lebih dulu naik menuju kamar.
Asela tak mengindahkan. Ia malah asyik membuka-buka laman Instagram-nya yang kebanyakan didominasi oleh unggahan tentang Idol perempuan Korea Selatan dan model-model internasional di bagian 'explore'. Rasanya menyenangkan melihat tubuh-tubuh langsing itu berlenggak-lenggok dengan indah. Cukup membawa imaji Asela membayangkan dirinya memiliki lekuk serupa.
"Ini, Neng, tehnya." Suara Bi Mar diikuti denting saat bagian bawah lapik beradu dengan permukaan meja marmer menginterupsi kegiatan Asela. Namun, hanya beberapa detik karena setelah itu matanya kembali sibuk menjelajah. Ia menyesap lewat bibir cangkir, tanpa beralih. Cairan hangat yang terasa pahit di mulut dan kerongkongannya itu langsung mengisi ruang di lambung Asela sampai penuh. Ini adalah salah satu trik yang sejak dulu ia lakukan untuk menekan rasa lapar, yaitu dengan minum teh hijau pahit banyak-banyak. Selain itu, Asela juga pernah membaca di sebuah artikel kesehatan bahwa teh hijau bisa meningkatkan metabolisme dan memecah lemak di perut.
Sebuah pop-up pemberitahuan muncul di bagian atas layar. Ada unggahan baru yang menandai dirinya oleh akun dengan nama @Yummy_regy. Asela tahu bahwa itu milik Regina. Ia pun segera membukanya.
Ternyata itu adalah sebuah video pendek saat kegiatan pemotretan tadi. Tampaknya manajer Regina yang merekam. Di unggahan tersebut, Regina menuliskan kesan betapa senangnya ia bisa satu frame dengan Asela. Namun, yang jadi fokus wanita itu lagi-lagi justru bentuk tubuhnya. Ia merasa pinggang dan panggulnya masih terlihat lebar, padahal sudah disandingkan dengan Regina. Apalagi kalau di sampingnya adalah wanita kurus, pasti malah dia yang jadi angka nolnya!
Keringat dingin seketika mengucur di kening Asela. Dadanya terasa penuh. Ia melirik perut yang tampak berlekuk di balik pakaian. Rasa sesal memenuhi pikiran karena sudah menumpuk makanan lagi di dalam sana. Padahal semangkuk sereal oat dan satu buah pisang cavendish yang ia santap sebagai sarapan pagi tadi kelihatannya belum diserap sepenuhnya oleh usus-ususnya. Tak seharusnya Asela makan lagi. Ia benci dengan kemampuan metabolisme tubuhnya yang lambat. Ia bisa saja mengembang kapan pun, seperti bola bekel yang dimasukkan ke dalam drum berisi penuh minyak tanah.
Tiba-tiba saja Asela bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Pikiran itu membuat sekujur tubuhnya merinding. Dengan tangan gemetar, Asela membuka tutup kloset dan menyodokkan ujung sikat gigi di genggaman tangan yang berbeda hingga menyentuh dinding belakang mulut. Dorongan kuat segera timbul mulai dari bagian bawah diafragmanya.
Asela mengeluarkan isi perut, beberapa kali hingga tubuhnya gemetar dan kuyup oleh keringat. Namun, ia merasa sangat puas. Dengan sekali tekan pada tombol flush, jejak-jejak perbuatannya menghilang terseret guyuran air, begitu pun ketakutan yang sejak tadi membayangi.
Sebelum keluar dari kamar mandi, Asela berhenti sejenak untuk menatap pantulan dirinya dari kaca berbentuk oval yang menempel di atas wastafel. Kedua sudut bibirnya melengkung puas. Dengan begini, momok bernama 'gemuk' itu tidak akan menghantui mimpi indahnya.
Sayang, harapan Asela tak terwujud. Kondisi perut yang kosong membuat ia sulit tidur. Ditambah lagi, Mirna mengirimkan beberapa hasil pemotretan tadi yang rencananya akan diunggah di laman media sosial "Alexandria" besok. Asela kembali dilanda gelisah. Dan saat kedua matanya berhasil terpejam, ia melihat sosoknya dalam balutan dress warna mint itu lagi, tetapi dengan tubuh milik Regina.
"Aaaaaaargghh!!!" teriak Asela sekencang-kencangnya.
~~~~
Sebenarnya pengen kasih warning di part ini. Tapi peringatannya karena apa, ya? Abusive atau mature content kok kayaknya nggak masuk, ya? 🤔
Boleh, nih, yang mau kasih saran di komen!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro