82. Jangan Dipegang
Sebelum tak sadarkan diri, Jata merasakan nyeri yang tak terperikan menyertai pergerakan para naga di dalam tubuhnya. Ia berteriak tanpa suara dan meronta tanpa sadar. Ia bahkan tidak yakin masih punya kepala, tangan, dan kaki. Tubuhnya bagai melebur dan larut ke dalam air yang dingin. Lalu ... semuanya gelap.
Ketika ia mendapatkan kesadaran kembali, tubuhnya sudah berbaring di tepi waduk, diselimuti sarung. Di sampingnya, Dehen membakar ikan dengan kayu-kayu hutan.
"Makan, yuk!" katanya sambil memberikan seekor ikan panggang.
Jata berusaha bangun. Sungguh aneh, badannya terasa ringan bagaikan kapas. Tak ada lagi rasa nyeri atau lemah lunglai. Sebaliknya, tubuhnya segar penuh tenaga. Jata memasang sarung untuk menutupi tubuh telanjangnya.
"Bagaimana, sudah jauh lebih enak dari kemarin?" tanya Dehen.
Jata duduk dan menggigit ikan panggang tersebut. "Iya, Pak, enak sekali badan saya sekarang."
"Makanlah. Sesudah itu kita harus latihan banyak."
Jata mengangguk. "Berapa jurus yang harus saya pelajari?"
Dehen tertawa terbahak-bahak sampai mukanya menjadi merah. "Tidak satu pun!" serunya.
"Tidak satu pun jurus harus dipelajari?" Jata mengulang perkataan Dehen sembari mengerutkan kening.
"Kamu belum juga mengerti, ya? Jurus hanya diperlukan oleh para pesilat turnamen."
Jata menatap lelaki yang tengah lahap menyantap ikan itu dengan tatapan tak mengerti. "Bagaimana cara belajar kita nanti?"
"Meditasi, bertapa, olah batin."
"Lho, katanya saya harus bertempur. Mengapa tidak menggunakan jurus? Apa tidak ada perkelahian di sana?"
Kini Dehen hanya menatap dengan iba pada anak didiknya. "Kita tidak membutuhkan jurus. Karena kita bisa melakukan apa saja hanya dengan meniatkan."
"Apa maksudnya dengan meniatkan?"
"Begini, Jat. Apa beda telegraf yang pakai sandi Morse itu dengan ponselmu?"
Jata terbahak sampai nyaris tersedak. "Beda bangetlah! Telegraf kan susah dan ribet. Teknologinya sederhana. Ponsel saya teknologinya udah canggih banget jadinya kemampuannya banyak dan gampang dipakai."
"Nah, sudah paham sekarang? Kemampuan jata ini canggih banget, jadinya penggunaannya semakin mudah. Cukup dengan meniatkan, tidak perlu dengan segala macam jurus yang ribet itu." Dehen terbahak juga. "Jurus – jurus itu bagus buat ditulis di novel silat atau dibuat film."
"Jadi nanti saya perang sambil duduk semadi?" tanya Jata lagi.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang makan dulu dan jangan banyak bertanya. Ada hal-hal yang lebih mudah dimengerti bila dipraktikkan daripada diceritakan."
Tak ada yang bisa dilakukan Jata selain menuruti kata-kata lelaki itu. Setelah makan, mereka berendam kembali di kolam tersebut. Dehen memintanya untuk berkonsentrasi pada pusaran energi di ketujuh tempat di badannya.
"Ada pusaran energi di situ, kan? Kamu bisa merasakannya?" tanya Dehen.
"Di tempat yang dibor para naga tadi? Iya, saya merasakannya."
"Itu namanya cakra. Pusat energi utama dalam tubuh kita. Selama beberapa hari ke depan kita akan melatihnya supaya kamu bisa menggunakan kekuatan cakra-cakra."
Sesudah itu Dehen memberikan beberapa instruksi untuk dilakukan Jata sepanjang hari itu.
Matahari telah bergeser ke barat, meninggalkan langit yang semburat kemerahan. Dehen mengakhiri latihan hari itu. Dehen mengambil pakaian dari ransel dan menyuruh Jata mengenakan. "Sekarang, kamu bisa pulang sendiri."
"Hah? Gimana caranya?" tanya Jata seraya mengenakan celana dan kaus.
"Diniatkan saja."
"Diniatkan bagaimana, Pak?"
"Ya diniatkan untuk pulang ke rumah. Seperti ini."
Tahu-tahu Dehen sudah menghilang dari pandangan. Jata kebingungan sendiri. Meniatkan bagaimana maksudnya?
Tak lama kemudian, Dehen muncul kembali di tempat itu. "Masih bingung, ya?" Ia meletakkan tangannya di lengan Jata. "Sekarang, niatkan untuk pulang ke rumah sekarang juga!"
Jata berpikir bagaimana caranya. Beberapa detik berlalu tanpa terjadi apa-apa.
"Oh, ini masalahnya. Kamu terlalu banyak menggunakan otak. Sekarang dipahami dulu, bahwa kamu akan bekerja di tataran tubuh halus. Dalam tubuh halus itu tidak ada otak, hanya ada energi. Jadi mulai sekarang, kamu harus belajar meninggalkan penggunaan otak. Gunakan niat."
Jata memejamkan mata untuk mendengar instruksi Dehen selanjutnya.
"Ayo, jangan dipikir. Niatkan untuk pulang. Tubuh energimu sudah tahu harus bagaimana. Mereka canggih banget, jauh lebih canggih dari otak. Karena itu, otak tidak berguna sama sekali untuk mengatur tubuh halus."
Jatah menurut. Ia memarkir otaknya sementara, lalu meniatkan dalam hati untuk pulang. Dan, terjadilah apa yang diniatkan tersebut. Dalam hitungan detik ia sudah berada di halaman rumahnya!
"Wow! Itu tadi luar biasa, Pak!" seru Jata.
Dehen tersenyum penuh arti. Tangannya menunjuk ke teras. "Yang itu lebih luar biasa!" katanya. "Ada yang mengirim wanita itu ke sini untuk mengganggu kamu."
Mata Jata kontan mengikuti arah tunjuk Dehen. Seketika ia terbelalak menyaksikan siapa yang tergeletak di teras. Wina!
Jata bergerak hendak mendekat. Namun, tubuhnya ditahan oleh Dehen. "Kamu di sini saja. Saya takut ini jebakan. Sebaiknya kita panggil tetangga."
Jata segera menelepon Gani. Mereka tetap berdiri di gerbang halaman hingga lelaki itu datang bersama istrinya. Berempat, mereka menghampiri Wina dan memeriksa wanita itu bersama - sama.
"Sepertinya dia pingsan," kata Gani.
"Kalau begitu sebaiknya dibawa ke rumah Bapak saja. Istri saya sedang tidak berada di rumah. Saya takut kalau nanti menjadi masalah. Bapak kan tahu dia mantan pacar saya," kata Jata.
Gani setuju. Bersama-sama mereka membopong tubuh Wina ke rumahnya. Di sana, Wina dibaringkan di sofa ruang tamu. Dehen melakukan sesuatu pada kepala Wina. Ada minyak yang dan pasta berwarna putih dioleskan di dahi dan kedua tangan. Tak lama kemudian, Wina pun siuman.
Begitu membuka mata, Wina langsung mencari keberadaan Jata. "Jata!" panggilnya dengan menangis. "Aku kangen kamu!"
Jata, Gani, dan Dehen saling berpandangan. Dehen memberi isyarat kepada Jata untuk diam saja.
"Ingat kamu masih belajar." Dehen mengatakan itu tanpa membuka mulut.
Tentu saja Jata sangat terheran. Orang itu berbicara dengan cara apa?
"Bapak bicara pakai apa?" Ia juga heran karena ternyata ia mengucapkan itu tanpa membuka mulut.
"Menurutmu pakai apa?" Terdengar suara cekikikan kecil.
"Pakai niat, Pak?"
"Kamu harus membiasakan diri dengan kondisi yang baru, ya!"
"Wow! Saya sakti sekarang!"
"Ini mah mainan anak kecil, belum seberapa! Nanti kamu bisa yang lebih hebat."
Pembicaraan mereka terhenti karena Wina tiba-tiba bangkit lalu menubruk Jata. Lelaki itu tidak siap. Ia terhuyung dan terduduk di sofa. Dengan cepat Wina merangsek, merebahkan lelaki itu lalu menindih badannya dan memburu bibirnya. Gani dan Dehen berusaha melerai, namun Wina sangat kuat. Tubuhnya bagai beton yang tidak bisa digoyang.
Jata hendak meniatkan untuk melawan. Namun Dehen berteriak dengan suara batin, "Jangaaaam! Tubuh Wina bisa hancur kalau kamu menggunakan kekuatanmu!"
"Aku harus gimana, Pak? Si adik mulai bangkit, nih!"
"Niatkan membuat tembok di antara kalian!"
Jata menurut. Ternyata tembok api yang muncul. Wina memekik kesakitan dan bangkit.
"Cepat, ambil air!" kata Dehen.
Gani sigap mengambil ember dari dalam kamar mandi. "Diciprat atau diguyur, Pak?"
Tanpa menjawab, Dehen mengambil ember itu lalu mengguyurkan isinya ke kepala Wina. Perempuan itu melengking panjang sebelum ambruk tak sadarkan diri.
"Saya pulang!" pamit Jata seraya melesat kabur ke rumah. Ia masuk ke kamar mandi, lalu mengguyur si adik dengan air dingin berkali-kali. Jata mendesah beberapa kali dengan sangat kesal. Mengapa saat si adik sedang sangat sensitif, dirinya malah kedatangan Wina?
Terdengar suara tawa Dehen. "Jangan dipegang, ya! Dinikmati saja denyut-denyutnya. Nanti reda sendiri."
Jata menyandarkan diri ke dinding kamar mandi sambil memukul-mukul dengan kesal bercampur merana.
"Put, Puuuuut! Aku kangen kamu, Puuuuut!" ratapnya dengan suara tertahan.
.
////////////
Bersambung minggu depan. Sabar, ya. Buat yang ingin maraton sampai tamat, silakan cuuus ke Dreame.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro