Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Lobster

Jata masih termenung sembari duduk-duduk di kasur sambil menunggu giliran menggunakan kamar mandi. Sesekali ia memotret pemandangan Pantai Legian dari jendela kamar. Kegiatan apa pun akan dicobanya sekadar untuk mengalihkan perhatian dari percobaan-percobaan making love mereka yang gagal total. Untunglah ia bukan lelaki penggila seks sehingga masih bisa mengontrol diri dengan baik.

Setelah percobaan ketiga tempo hari, mereka mencoba lagi beberapa kali. Ia sudah memulai dengan baik-baik dan selembut mungkin dengan mengelus tubuh mungil itu. Tubuhnya bahkan belum memanas yang berarti mereka belum apa-apa. Saat tangannya bergerak membuka kancing blus Puput, wajah istrinya itu mengerut ketakutan. Tentu saja sang adik enggan bangkit. Akhirnya ia hanya terbaring di samping istrinya tanpa melakukan apa pun.

Jata meraih ponsel dan mencatat kejadian itu dalam notes.

Percobaan ke-4 gagal karena kecapekan.

Kecapekan? Geli rasanya menuliskan itu tapi memang ada benarnya juga, sebab ia merasa tenaganya habis dan daya juangnya lenyap setelah perjalanan panjang Semarang-Denpasar.

Jata kembali menulis.

Percobaan ke-5 gagal karena kurang romantis.

Sepulang dari Bedugul, berfoto ria di Tanah Lot, dan makan malam, ia langsung menyergap Puput di kamar. Tak sabar menunggu mandi, begitu pintu kamar tertutup, tangannya langsung membenamkan Puput ke dalam pelukan.

Puput segera menghindar. Aroma masam tubuh Jata membuatnya mual. Langsung saja mulutnya melancarkan protes. Jata baulah, Jata joroklah. Ketika suaminya tidak merespon, ia semakin gusar. Dituduhnya Jata tidak romantis, mesum, dan main sergap saja.

"Yaelah, Put. Masa memeluk istri sendiri dibilang mesum?" gerutu Jata waktu itu.

"Kakak nyosor aja, sih. Aku risih! Itu mesum namanya."

Jata benar-benar terusik dengan kata mesum itu. Baginya, kata itu sama saja dengan penghinaan terhadap kesetiaannya sebagai lelaki selama ini.

"Kalau aku nyosor ke patung Ganesha di depan itu, baru namanya mesum, Put!" geram Jata.

Jata kembali mengembuskan napas kesal mengingat kejadian itu.

Percobaan ke-6 gagal karena lobster.

Setelah puas menikmati Pantai Dreamland dengan berenang dan berselancar, mereka menutup kegiatan hari itu dengan makan malam di pinggir pantai dalam nuansa sunset nan romantis. Sore itu sangat menyenangkan. Pantai yang diapit tebing tinggi itu semakin indah di kala matahari tenggelam. Mereka duduk berdua saling mencuri pandang dengan mata berbinar. Sungguh berbeda berpacaran dengan menikah. Dulu, waktu-waktu indah seperti ini akan terputus bila malam tiba. Sekarang, mereka terus bersama sepanjang waktu. Pikiran Jata langsung melayang ke agenda nanti malam, percobaan keenam. Suasana romantis ini semoga mengantarkan mereka ke keberhasilan.

Jata sengaja memesan lobster kesukaannya dan kerang kegemaran istrinya. Nafsu makannya tergugah saat lobster kemerahan beraroma sedap terhidang di meja.

"Kakak nggak alergi lobster?" tanya Puput.

"Enggak." Tangan Jata yang tengah membuka kulit binatang karang itu tiba-tiba terhenti. Matanya menatap dengan gamang. "Aku memang pernah biduran, sih, tapi bukan karena lobster."

"Siapa tahu Kakak nggak tahan lobster di sini. Kan jenisnya beda-beda."

"Bisa begitukah?" tanya Jata dengan logat khas Kalimantannya.

Puput mengangguk kecil.

"Kayaknya aku minum obat antialergi dulu, deh. Kamu bawain obat itu nggak?"

"Ada." Jari Puput merogoh tas untuk mengeluarkan sekeping obat.

Jata meminum satu butir. Hasilnya sangat bagus. Mereka menyelesaikan makan malam tanpa insiden. Sampai di hotel, tanpa menyiakan waktu, Jata merengkuh istrinya. Puput tidak melawan dan pasrah saja saat Jata merapatkan tubuh. Tangan mungil itu bahkan membalas mengelus punggungnya. Mungkin efek seharian berselancar berdua dan makan malam romantis tadi. Matanya terus berbinar setiap menatap Jata.

Jata semakin percaya diri. Lampu kamar diredupkan. Baju-baju mulai berjatuhan dan terserak di lantai. Akhirnya Jata menggendong istrinya ke kasur, melingkupi tubuh tanpa busana mereka dengan selimut. Adiknya sudah bangkit dengan sempurna. Kini tinggal menyiapkan Puput.

Jata menggerakkan jemari dengan lembut menelusuri kulit hangat sang istri. Ia tidak ingin terburu-buru kali ini, nanti Puput kegelian atau dirinya dituduh asal nyosor. Puput terpejam dengan tenang. Tidak geli, tidak berontak. Jata mulai terlena. Hangat tubuh Puput dalam balutan selimut, lembut seprei yang harum menghanyutkan perasaannya. Sungguh nyaman dan nikmat hingga....

Jata terbangun. Tangannya menggapai ke sebelah. Ia lega karena menemukan Puput tidur meringkuk membelakangi. Dengan bertumpu tangan, ia bangkit duduk. Matanya terbuka lebar karena heran. Ia masih telanjang! Apa yang terjadi?

Puput menggeliat. Wajah mengantuk itu menoleh. "Udah bangun, Kak?"

Jata baru sadar Puput sudah mengenakan baju tidur lengkap.

"Itu baju Kakak di nakas," ujar Puput seraya menunjuk kaus, celana pendek, dan celana dalam yang terlipat rapi di samping tempat tidur.

"Put, kita udah ngapain aja barusan?"

Puput duduk dan memandang suaminya dengan cengiran lebar yang membuat matanya melengkung dan menyipit seperti bulan sabit. "Nggak ngapa-ngapain. Kakak ketiduran."

Sesudah itu gadis itu tertawa terpingkal-pingkal tak tertolong. Dengan mata nanar, Jata meraih baju dan segera mengenakannya. Ia pasti mengantuk karena efek samping obat antialergi. Ketiduran saat torpedonya siap diluncurkan? Apa-apaan?

"Cowok bisa begitu ya, Kak? Ketiduran di tengah-tengah...."

Lobster sialaaaannn! Jata menyumpah-nyumpah dalam hati.

"Nggak lucu, Put!" dengkus Jata dengan kesal. Bisakah dibayangkan, sudah gagal, ditertawakan pula?

Tak ayal, ditubruknya tubuh Puput, direngkuhnya erat, dihujaninya dengan ciuman. Sang adik langsung bangkit dan siap diluncurkan kembali.

Puput memberontak dengan ketakutan. "Kak Jataaaa!" pekiknya keras. Tangannya berusaha mendorong tubuh Jata yang menimpanya. Sayang, tangan lemah itu tak sanggup melawan sang naga yang tengah memanas.

"Kakaaak! Kamu mau memperkosa aku?" rintih Puput diiringi tangisan.

Jata tersentak. Serta merta diangkatnya tubuh lalu berguling ke samping. Puput segera bangkit dan duduk meringkuk di sofa.

Memperkosa? Ah! Sakit sekali kata-kata itu bak ditikamkan ke hati Jata. Ia tidak pernah memperlakukan perempuan dengan kasar. Ia menganggap semua perempuan harus dihargai, seperti ayahnya yang selalu menyayangi ibunya. Dengan lemas, ia pergi ke kamar mandi, lagi-lagi untuk menuntaskan seorang diri.

Tangis Puput terhenti saat mengetahui suaminya syok karena tuduhan tadi.

"Kak, mau minum hangat?" tanya Puput. Iba juga melihat suaminya cuma terbengong di kasur setelah keluar dari kamar mandi.

"Enggak." Jawab Jata datar.

Puput tahu, dirinyalah penyebab kediaman Jata. "Aku minta maaf," katanya lirih.

Jata menoleh. Sebenarnya dadanya terisi segunduk kekecewaan. Namun wajah polos yang memelas itu membuatnya iba. Mungkin bukan sepenuhnya salah Puput. Bukankah hubungan intim itu dilakukan oleh dua orang? Barangkali ia yang tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik. Alih-alih membuat Puput terangsang, ia justru malah menakuti.

"Aku harus gimana sih, Put?" tanyanya setengah frustrasi.

Puput terdiam.

☆☆☆

Suasana restoran hotel masih sepi karena Jata dan Puput datang paling pagi. Harum aroma makanan segera menyambut sejoli yang kini memasang wajah datar. Mereka mengambil tempat duduk di dekat kolam, sengaja agar suasana indah itu menghapus kekesalan semalam.

"Hari ini kita ke mana, Put?" tanya Jata setelah menyeruput kopi. Lusa mereka harus pulang, sehingga perjalanan kali ini haruslah menjadi kenangan yang spesial. Biarpun masih mendongkol karena kegagalan semalam, Jata ingin melakukan sebaik mungkin, agar malam nanti mereka berhasil melakukan malam pertama.

"Aku ikut Kakak saja. Tapi jangan yang biasa-biasa seperti kemarin."

"Kemarin itu biasa-biasa?" Jata yang masih kecewa menjadi agak tersinggung. Ia sudah memilih obyek wisata yang menurut saran rekan-rekannya terbaik. Pengalaman beberapa kali ke Bali membuatnya tahu mana-mana tempat yang menyenangkan dan romantis.

"Ada yang lain dari yang lain nggak?" tanya Puput.

Jata memutar otak sambil mengamati layar ponsel. Inilah keuntungan pergi tur sendiri. Mereka bisa merubah tujuan dengan mudah. "Nih, ada Hidden Canyon. Nggak jauh dari sini."

Puput melihat isi situs itu, lalu menggeleng. "Kayaknya bikin capek."

"Terus usulmu apa?" tanya Jata datar.

Puput menelan ludah. Sejak semalam wajah suaminya terus saja datar. Puput jadi merinding dibuatnya. "Ya deh, Hidden Canyon aja."

☆☆☆

= Di suatu tempat, di suatu dimensi =

"Leilith!"

Suara menggelegar tanpa wujud itu membuat Leilith dan segenap pembantunya membungkuk. "Ya, Tuan."

"Mana janjimu?"

"Sebentar lagi datang, Tuan."

Desiran angin panas menerpa dirinya berikut beberapa anak buah level tertinggi. Tuan sudah tak sabar, batin Lelith. "Minggu depan, pengantin Tuan akan datang. Saya berjanji."

"Hmmm ... kamu tahu akibatnya kalau ingkar!"

"Saya tidak akan ingkar, Tuan."

Desiran angin panas kembali berembus, kali ini bergulung kasar, kemudian lenyap. Leilith tahu, tuannya telah kembali ke tempatnya. Kini saatnya untuk lebih giat lagi.

"Anak-anak!" pekiknya. Tangannya bergerak merentang. Seketika air bendungan Riam Kanan bergolak. Mendung menutup desa kecil di tepi bendungan. Dalam gumaman badai makhluk-makhluk berbaju gelap, berwajah tirus, dan bertangan hitam kurus datang menanggapi panggilannya.

"Saat bekerja sudah tiba!"

☘-Bersambung-☘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro