Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Mblandang

Kambodja langsung bangkit dari posisi tidur, peluhnya bercucuran, napas tersengal-sengal. Wanita yang berselonjor itu menerawang seisi ruangan, gelisah pula takut bercampur jadi satu. Seluruh badannya gemetar.

Anak perempuan bertopeng yang Kambodja kenali telah menyelamatkannya. Sebelum si sosok tiruan mengerikan menerkam dengan taring-taring hitam nan tajam, anak itu mendobrak daun pintu kamar lalu berteriak kencang.

“Mbak, apa yang terjadi!”

Dalam sekejap mata, siluet yang terbuat dari kumbang-kumbang itu pecah berkeping-keping, hancur lebur berantakan bagaikan patung tanah hitam nan melebur menjadi lumpur. Para insek mungil pun terbirit-birit sembunyi ke celah dinding pula lantai.

“Bukannya sudah dibilang untuk kunci pintu sebelum tidur!”

Kambodja yang tersentak tahu-tahu menjadi gagu macam orang strok, tergagap-gagap tak bisa menyahut. Apakah barusan mimpi? Mimpi buruk macam apa itu? Mengapa bisa semenakutkan itu? Si wanita berdaster bertanya-tanya dalam benaknya.

Sementara itu, si anak perempuan berbaju tidur tampak gelisah mencari ke sana-sini. Ekspresi kecewa dia tunjukkan saat tak menemukan sesuatu. Dia hampir mirip Kancil yang kecolongan timun. Ya, memang benar Kancil yang kecolongan, karena timun hasil mencuri dari Pak Tani malah dicolong oleh suatu entitas misterius.

Si timun, maksudnya Kambodja, menoleh tiba-tiba ke arah jendela nako tertutup. Dari balik gorden nan tersibak sendiri, terdengar cekikikan, mirip suara anak perempuan kecil yang Kambodja tak kenali.

Anak itu ada di sana, berdiri di sisi lain jendela. Terlihat kepala bertopeng serta sebagian tubuh sebatas dada. Suasana malam nan gelap membuat sosok tersebut temaram, tetapi sepasang sorot mata merah tampak jelas sekali memelotot.

“Kamu akan segera mati … !” jeritnya seraya menggaruk-garuk kaca.

Anak perempuan kecil nan Kambodja kenali segera berlari menuju jendela, membuka kancing kisi-kisi sehingga angin kencang leluasa masuk. “Itu berlaku untukmu, pemberontak!” serunya, tak mau kalah.

Si anak misterius langsung lari sambil tertawa keras-keras mirip Nenek Lampir di film-film. Suara entakan terompah pun turut meramaikan.

Meski terlihat bergeming, anak perempuan di dekat jendela begitu jelas geram. Dari balik topengnya, dia menatap nyalang, pelototannya lebar seakan bola mata hendak copot. Kedua pupil menyempit. Garis-garis wajah tercetak tebal. Anak itu mengeritkan gigi sehingga timbul suara gemeletuk. Napasnya memburu.

Tawa anak misterius itu masih nyata menggema dari kejauhan. Namun, lama-kelamaan berubah menjadi ganjil. Mulanya hanya suara terbahak-bahak atau mungkin tersedak di sela tawa, tetapi kemudian berganti berupa seruan, jeritan, pekikan, bahkan makin parah hingga macam racauan. Tercipta bunyi seperti benda yang dibanting dan dilempar berulang kali. Teriakan kian terdengar kuat; teriakan sakit, teriakan minta tolong, teriakan untuk berhenti. Berikutnya muncul suara seperti orang kehabisan napas karena tercekik, lalu berganti suara mirip semburan air yang melancut deras, cairan kental tumpah ruah lalu menciprat ke mana-mana.

Setelah itu, semuanya hening.

Tidak ada lagi kebisingan terdengar, hanya kesunyian suasana malam yang ditemani kerik jangkrik dan nyanyian serangga lain.

Si anak bertopeng menutup kisi-kisi jendela dengan mengancingnya kembali. Perempuan itu berbalik, gelagatnya mirip bocah nan sedang geram. “Anak nakal harus dihukum,” bisik si anak.

“Tadi itu apa?” Kambodja sedari tadi menyaksikan semua kejadian dengan kesadaran laksana mengawang. Peluh telah kering walau noda kuyup masih tercetak di kain daster. Kulit si wanita muda begitu pucat ditambah efek penerangan lampu ruangan.

“Dia itu anak yang aneh … juga pintar. Dia versi jahat dari anak-anak yang selama ini Mbak lihat. Dia dikendalikan oleh orang-orang dewasa yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pengkhianatan.”

Kambodja tidak sepenuhnya paham dengan perkataan si anak perempuan. Maklum, nyawanya masih belum komplet terkumpul. Ketimbang mengekspresikan respons bertanya-tanya atau bersoal maksud lawan bicara, Kambodja lebih memilih:

“Kamu tidak tidur?” tanyanya.

“Ini mau.” Si anak bergegas lari kecil menuju pintu, menutup daun, lalu mengancing dari luar. Padahal kunci masih menancap pada lubang gembok. Bagimana bisa? Satu petunjuk: kunci cadangan.

Kambodja menatap pintu kayu terkatup. Tingginya mungkin kurang dari dua meter. Motif yang terukir barangkali terbilang biasa. Wanita tersebut menghela napas, kemudian menarik selimut putih nan sempat hampir jatuh seluruhnya, kembali ke posisi telentang.

Panjang masa berlalu, si wanita muda ternyata masih belum terlelap. Diduga dia terkena masalah tidur sehingga kelopak sulit terpejam. Daripada bosan menunggu mata lelah atau badan pegal atau jiwa digenggam Sang Kuasa, Kambodja lebih memilih selonjor, bersandar pada kepala dipan.

Tangannya mengambil sesuatu dari atas nakas, berupa benda berbentuk kotak hitam kecil yang disambung dengan lensa. Jari telunjuk menekan suatu tombol, lalu layar pun menyala. Cukup lihai si wanita memainkan benda tersebut, hingga bisa menampilkan suatu gambar. Gambar itu bisa berganti apabila digulir.

Pertama, sisi depan rumah lumayan besar dengan seorang wanita paruh baya berbadan gempal pula bertopeng, menghadap ke arah sini. Jika diteliti, jumlah jari tangannya ada dua belas.

Kedua, ruangan temaram dengan seorang remaja laki-laki bertopeng, bertubuh pucat, beriris merah, dan botak. Serta, alis pun rambut mata putih.

Ketiga, teras bangunan dengan dua orang berdiri mengapit seorang pria tanpa kaki di atas kursi roda. Semuanya memakai topeng.

Keempat, sebuah ambang pintu dengan seorang pria tanpa lengan yang berpose narsis, dia pun bertopeng.

Kelima, bagian depan ruang kelas dengan tiga orang wanita pula seorang pria berjejer dan berdempet satu sama lain, mereka semua bertopeng.

Keenam, ruang tamu dengan seorang pria bertubuh gempal dan berkepala botak duduk di salah satu kursi. Dia tidak bertopeng. Dia Kepala Desa.

Ah, Kepala Desa. Seorang pemimpin Desa Soco yang sudah menjalani tugas selama dua tahun lamanya. Tinggal di rumah besar serta kerja di Balai Desa kecil. Dia sudah banyak membantu Kambodja selama di sini. Kambodja harus berterima kasih kepadanya.

Saat sedang asyik-asyiknya bernostalgia dengan kenangan selama dua minggu di Desa Soco, tahu-tahu terdengar decit pintu yang terbuka ke dalam. Seorang wanita paruh baya berbadan gempal berjalan dari lorong sisi kanan, kemudian hadap kiri, menentang Kambodja dengan tampang bertopeng nan khas.

“Nak Kam, setelah sarapan, ikut Ibu ke--”

***

[Refrein main]

Latar cerita berupa dunia virtual yang serbaputih. Satu bola merah muda terlihat menguntit satu bola biru di suatu persimpangan maya. Bola biru tampak tenang, tetapi sesungguhnya gelisah, bergerak maju dengan mulus tanpa tersendat-sendat bagaikan berjalan di atas eskalator. Sementara itu, bola merah muda mengikuti dengan gerakan mulus nan sama.

Ketika bola biru cepat-cepat berbelok tanpa kaku ke dalam pintu masuk dari tempat yang penuh jalan dan lorong berliku-liku serta simpang siur, bola merah muda tanpa ragu ikut masuk ke dalamnya.

Keduanya terlibat kejar-kejaran yang sengit, sebelum bola merah muda berhasil mendekati bola biru, menggapainya, bergabung dan melekat padanya. Hingga bersatu menjadi bola besar berwarna ungu.

[Refrein setop]

###

Kudus, 22 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro