0. Aruaru (Usikan)
Selama hidup sebagai manusia sepanjang lima tahun, baru kali ini seorang anak perempuan sadar bahwa dirinya harus menangis. Harus menyesal. Harus menerima kenyataan bahwa dirinya sangat tidak berguna dan keberadaannya sangat tak diinginkan di dunia.
Pada siang hari nan terik, anak perempuan itu melangkah tersendat-sendat di tepi jalan tanah lempung, tangannya terus-menerus mengusap mukanya yang bocor air mata. Bukan mengusap pelupuk. Bukan. Melainkan dagu. Itu karena dia mengenakan kedok wajah.
Mana bisa seseorang yang pakai topeng mengusap mata tanpa melepas kedok? Susah, bukan?
Maka, anak itu sebisa mungkin membersihkan air yang mengalir di dagu dengan tangannya supaya tidak mengotori jalan. Dia juga menghindari memakai bajunya untuk mengusap agar tak menodai kain. Kan, dia berpikir bahwa setiap partikel dirinya tidak pantas ikut serta dalam siklus alami kehidupan ini.
‘Aku menyesal!’ Dia begitu menyesal.
Bayu silir seakan mengolok-olok betapa tak bergunanya dirinya.
‘Aku sangat menyesal!’ Dia sangat menyesal.
Pohon kayu lagi terna seolah menyorakinya supaya segera mengakhiri hidup.
‘Aku menyesal mempunyai anak sepertimu!’ Dia menyesal telah membuat ibunya menyesal mempunyai anak.
Perempuan kecil tersebut berhenti, menyaksikan bangkai seekor makhluk hitam bersayap, tergeletak di depan kaki bersandalnya.
***
Hari saat anak perempuan itu jebrol ke muka bumi, dia tidak menangis. Dengan mengintip memori siapa pun orang yang hadir pada kelahirannya, bayi tersebut benar-benar tidak menangis. Hanya diam saja. Tentu bukan berarti diam tidak bernapas. Respirasinya normal. Hanya saja, dia tidak menangis. Sudah dimandikan pun, dia tidak menangis.
“Bagaimana ini, Simbok?” Tentu setiap orang tua akan menanyakan hal itu. Itu wajar. Namun, bagaimana dengan orang yang ditanyai? Dia, si dukun beranak, harus menjawab apa?
Jawabannya adalah, “Ayo kita tumbalkan ke Pengawas Desa, Bu.”
“Mustahil!” Iya, benar mustahil. Bayi itu anaknya. Darah dagingnya yang sudah dia kandung selama sembilan bulan. Anak yang dia lahirkan dengan susah payah bahkan sampai harus mengejan banyak kali di atas katil. Masa harus ditumbalkan?
“Bu, dia buta. Kita bisa menawarkan kepada Pengawas Desa untuk ditumbalkan dan diganti matanya.”
“Oh, Simbok benar. Ya sudah kita tumbalkan saja dia.”
Apa?
Baiklah. Karena ibunya sendiri sudah setuju, bayi itu akan segera ditumbalkan kepada Pengawas Desa. Siapa dan di mana Pengawas Desa ini pun kebanyakan orang tidak tahu. Mungkin hanya Kepala Desa dan segelintir sesepuh yang pernah bertemu. Pernah melihat rupanya (itu kalau punya).
Singkat cerita, setelah segala kegiatan penumbalan sudah dilakukan, seperti musyawarah, upacara, ritus, sajen, tralala, lalala, blablabla—akhirnya si anak perempuan sudah diganti kedua matanya. Bukan sudah bisa menangis, ya. Sepasang bola mata baru tersebut terlihat indah saat dipandang. Sungguh bayi nan imut, suci, dan polos.
Ah, polos.
Untuk menutupi kepolosannya, muka bayi perempuan itu dipasangkan topeng. Guna menjaga kepolosannya dan demi melindungi kepolosannya.
Sama seperti orang-orang yang hadir pada acara selamatan ini. Semua orang memakai topeng. Dengan corak serta ekspresi nan berbeda. Untuk menjaga apa-apa yang berharga dalam hidup mereka.
Semua orang terhubung.
***
Tinggal satu inci ujung jemarinya hampir menyentuh benda (mungkin) hidup yang sudah mati itu, sebelum ….
‘Jangan, ui!’ Seruan tersebut mirip suara ibunya. Segera gerakan lengan kanan si anak perempuan setop.
Terdengar kikik dari arah pohon kersen di kebun terdekat. “Berhenti! Jika kamu menyentuhnya, nanti kamu bakal menghilang, lo!” Dua remaja kencur berbeda gender, Genduk dan Tole, mentertawakan dari sana. Tentu mereka mengenakan topeng yang berbeda ragam pula mimiknya.
Tunggu! Jadi siapa yang menghentikannya? Suara yang mirip ibunya atau dua remaja kencur? Ah, tidak masalah. Siapa saja boleh. Yang penting si anak perempuan tidak jadi menyentuh makhluk hitam bersayap yang tergeletak kaku di atas jalan.
“Kamu tidak boleh menyentuhnya,” larang Genduk.
“Kenapa tidak boleh?” tanya si anak perempuan. Dia sesengguk-sengguk. Air matanya masih belum kering.
“Nanti kamu menghilang.”
“Menghilang bagaimana?”
“Ya … pokoknya menghilang!”
Selagi Genduk mengajak berbicara, Tole melakukan gestur ganjil laksana mengisyaratkan arah obrolan ini.
Sepasang remaja itu benar-benar aneh. Mereka seakan kembar, tetapi jika dicermati lagi sebenarnya bukan kembar. Keduanya seolah mirip, tetapi bila dilihat kembali sesungguhnya tidak mirip. Mereka seperti dari satu orang, tetapi bukan bagaikan pinang dibelah dua.
Kebingungan si anak perempuan lantas membuat dua remaja tersebut tertawa lagi. Anak kecil itu lantas ketakutan, langsung berlari dengan kaki-kaki mungilnya, menyisir jalan tanah lempung. Panas terik laksana memanggang setiap sel kulit.
Genduk dan Tole mengikuti. Apakah mereka penguntit?
Anak kecil itu dikuntit ke mana pun dia pergi. Di mana saja dia berada. Saat di rumah, dua remaja mengawasi dari semak-semak. Kala keluar rumah, dua remaja keluar dari semak-semak. Masa pergi bersama Ibu, dua remaja itu mengekor dari belakang.
Mau mereka apa, sih?
Ketika Ibu sibuk berbelanja, si anak perempuan memberanikan diri untuk bertanya. Hanya Genduk yang membalas.
“Kamu adalah anak yang unik. Matamu. Matamu bukanlah milikmu.”
“Lalu milik siapa?”
“Milik kita.”
Tole menepuk dada dengan kedua lengan bersilang. Genduk mengangguk-angguk.
Seharusnya anak kecil itu paham. Ya, dia sudah paham.
Bahwa … Tole itu tunawicara … dan … Genduk itu tunarungu.
Mereka akan terus mengikuti supaya dia tidak menghilang. Keberadaannya ibarat begitu amat sangatlah penting sekali di dunia ini. Seringai tajam seakan-akan menyala pada roman tiap-tiap remaja itu.
Yang manakah hal yang dapat dipercaya?
###
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro