Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵9.Menuju Soerabaja🏵

Lokomotif yang mengepulkan uap sudah menarik deretan gerbong. Suara siulannya melengking. Roda di atas rel pun mulai berputar, hendak mengantar kereta logam berwarna hitam itu menuju kota di bagian timur Jawa.

"Dayu, Dayu …," gumam Lian penuh cemas. 

Lian berjalan melawan arus penumpang yang hendak kembali duduk. Begitu berhasil menerobos gelombang orang yang masuk, lelaki itu menuju ke ujung gerbong, tempat masuknya penumpang. 

Wajah Lian mendadak pucat. Pikirannya melayang pada Kempetai yang lalu lalang di sekitar peron. Apa yang terjadi bila Dayu tertangkap tentara berdarah dingin itu? Pasti nasibnya akan mengenaskan. 

Lian mengerang. Memukul dinding logam gerbong dengan frustrasi. Dirinya merasa gagal melindungi gadis yang arogan dan sok tak membutuhkan perlindungan. Dayu lenyap begitu saja, seolah menghilang ditelan bumi.

"Dayuu, kamu menyusahkan!" Seruannya teredam oleh suara kereta yang mulai berjalan.

***

Dayu yang baru membuang hajatnya karena kebanyakan makan, harus buru-buru menyudahi urusannya. Setelah membersihkan semua, dan mencuci tangan kilat, Dayu bergegas keluar. Alangkah terkejutnya gadis itu ketika barisan gerbong mulai berjalan. Dia berlari secepat kakinya bisa melangkah.

Kaki pendeknya melangkah sepanjang mungkin. Roknya yang berkibar menyingkap paha pun tak dihiraukan. Bagaimana pada saat begini dia bisa ketinggalan kereta? Bukan, bagaimana pada saat yang genting ini dia masih merasakan gejolak pada pencernaannya?

"Tunggu! Aku belum naik!!" Dayu berteriak sekuat mungkin, berharap ada yang mendengarnya.

Sayup-sayup Lian menangkap suara cempreng di antara bunyi gesekan roda besi pada rel. Bola mata Lian membulat, berharap suara itu bukan khayalannya. Lelaki itu mendorong kepalanya melampaui gerbong, lalu menoleh ke belakang. Matanya berbinar saat melihat seorang gadis yang tergopoh mengejar kereta.

Dayu hampir menyerah. Namun saat melihat wajah Lian melongok keluar, dan mengulurkan tangan padanya, semangat Dayu untuk lari berkobar. Secepat mungkin Dayu mengayunkan kakinya. Tangan Lian diulurkan mencoba menggapai tangan Dayu.

"Dayu, raih tanganku!!" seru Lian yang mencondongkan badannya ke luar batas gerbong.

"Tidak bisa!" Dayu hampir menangis. Gadis itu terengah. Langkah pendeknya tak mampu mengimbangi laju kereta yang semakin cepat.

"Kamu pasti bisa! Ayo, condongkan sedikit badanmu!" seru Lian membuat urat lehernya menonjol. 

Pria itu menjulurkan badan. Satu tangan kirinya berpegangan erat pada besi kereta, berusaha menggapai tangan Dayu. Saat tangannya berhasil menangkap pergelangan Dayu dengan kekuatan penuh Lian menarik Dayu.

Dayu seolah terbang. Tubuhnya melayang dan melambung. Tanpa sadar dia sudah ada di pelukan Lian.

Sejak kapan? Berapa lama? Kenapa dia sudah berada di atas kereta? Tepatnya sejak kapan Lian memeluknya.

Dayu tak menyadari. Yang terjadi baru saja begitu cepat. Napas Dayu terengah. Jantungnya berdegup begitu cepat karena berlari mengejar kereta. Dayu takjub dengan kekuatan otot lengan Lian yang mengangkatnya. 

Lian masih merengkuh gadis itu. Detakan jantungnya memompa darah membuat dadanya kembang kempis. Peluhnya membasahi dahi.

Sedang Dayu, kepalanya yang miring ke kanan membuat telinganya bisa mendengar dengan jelas tabuhan organ vital yang berirama cepat. Gerakan rongga dada yang terengah mengambil udara pun tak luput dalam perhatiannya. Dalam hati, Dayu bersyukur, ada Lian yang menolongnya.

Yu Lian selalu ada di saat hidup Dayu terancam. Lelaki itu seperti kotak emergensi yang siap memberi pertolongan. Sedetik terlambat, nyawa akan melayang. 

Dayu perlahan menyadari arti kehadiran Lian dalam hidupnya. Pelan tapi pasti. Seperti udara yang menyusup dari celah pintu yang berusaha mengusir kesesakan hidupnya.

"Kupikir kamu melarikan diri," kata Lian masih dengan napas tersengal. Tangan kanan Lian merangkul tubuh kecil Dayu.

"Aku mau lari kemana? Aku tidak ada tempat untuk lari," jawab Dayu ketus. Tangan Dayu masih merasakan otot bisep dan trisep Lian yang berkontraksi. 

"Kamu darimana?" Lian melepas pelukannya. Dia mendekap tubuh Dayu mencegah agar tubuh gadis itu tidak limbung ke luar. 

Dayu pun menegakkan tubuhnya, mengatur napas dan merapikan roknya. Pertanyaan mudah itu, terasa sulit dijawab oleh Dayu. 

Dayu berdeham, memalingkan muka yang memerah."Dari … ehmm … kamar kecil." Pipi Dayu merona.

"Kenapa lama sekali?" sergah Lian kesal. Bagaimana bisa gadis itu tidak tahu waktu dan hampir ketinggalan kereta. Kalau sampai itu terjadi, usahanya menjemput Dayu sia-sia. 

"Kamu kemarin dan tadi memberikanku banyak makan. Perutku bergolak dan harus kukeluarkan." Dayu tidak terima gejolak alaminya disalahkan. 

Lian urung marah mendengar jawaban Dayu. Ditambah dengan wajah Dayu yang terlihat polos membuatnya hanya mengacak rambut gadis itu.

"Ayo, masuk!" ajak Lian mengulum senyum. 

Dayu hanya mengikuti Lian di belakangnya. Senyuman itu bagi Dayu seperti seringaian yang menertawakan kecerobohannya.

"Masuklah." Lian mempersilakan Dayu untuk duduk di sisi jendela. Dayu menurut, menempatkan pantatnya  di bangku sisi dinding kereta.

Mengetahui Dayu sudah memposisikan diri dengan nyaman, Lian menyusul duduk. Dayu duduk dengan canggung. Menarik roknya ke lutut. Lian melirik dari ekor matanya. 

"Kamu tidak perlu malu seperti itu. Buang air besar wajar bagi manusia," celetuk Lian. Pria itu duduk menumpukan kaki kanannya di atas paha kirinya.

Dayu membelalak. Ia menoleh tak percaya pada Lian yang membahas sesuatu tak penting.

"Bisa tidak kita membahas yang lain?" desis Dayu malu bercampur kesal. Giginya beroklusi, bibirnya pun tak bergerak.

"Ada yang salah dengan kataku?" tanya Lian dengan satu alis terangkat. 

Pandangan lelaki di sampingnya itu membuat kertakan dari gigi Dayu yang beradu terdengar semakin keras. Gadis itu menghela napas, berusaha menguasai diri.

"Ti-tidak! Katamu benar! Lagipula aku tidak malu, kalau aku tidak buang air justru itu aneh!" 

Lian terkikik.

"Dan kau buang … air …" Lian berusaha menahan tawanya. Ia bahkan menutup mulut yang berbibir merah dengan punggung tangan "sampai hampir ketinggalan kereta!" Tawanya kali ini menyembur. 

Dayu spontan berdiri menatap tajam Lian. "Memang apanya yang lucu kalau aku buang air! Kau pun juga!" Suara melengking Dayu naik satu oktaf. Lengannya sudah di pinggang seperti menantang. 

Sepi.

Semua penumpang menoleh ke arahnya. Hanya deru mesin kereta dan derak gerbong yang ditarik yang mengisi kesunyian. Semua mata, baik tua, muda, anak-anak dan balita tertuju pada Dayu yang terengah melampiaskan emosinya.

"Kamu bisa duduk? Suaramu terlalu keras dan kamu menjadi pusat perhatian. Kamu sekarang seperti mengumumkan kamu habis buang air besar!" Bibir Lian yang menyebar senyum, mengeluarkan desisan. Lian terpaksa menarik lengan Dayu. Pria itu ikut malu karena ulah Dayu.

Dayu duduk. Bibirnya mencebik maju beberapa sentimeter. Tangannya terlipat di depan dada. Gadis itu merutuki kebodohannya terpancing dengan gurauan tak jelas Lian.

"Jangan ungkit lagi!" gumam Dayu. 

Lian memiringkan badannya karena suaranya samar terdengar.

"Apa?"

Dayu menarik daun telinga Lian dan berteriak dengan keras, "Jangan ungkit lagi!" 

Lian mendorong Dayu. Ia menggosok telinganya kasar karena suara gadis itu seperti ada meriam yang meledak.

"Gila ya? Aku belum tuli!" seru Lian.

Dayu menggeser pantatnya lalu memiringkan badannya membelakangi tubuh Lian. Dari kaca jendela, bayangan Lian yang memperhatikannya tergambar jelas. Membuat Dayu muak sehingga memilih memejamkan matanya.

***

Kesadaran gadis itu larut dalam derap putaran roda besi yang melintas di atas rel. Beberapa kali, Dayu terantuk ke depan mengenai dinding gerbong. Dalam tidurnya, bayangan Yudha yang meregang nyawa membuat Dayu merintih dalam mimpi. Ia meraung dan menangis sampai sesak dadanya. Beruntung, mimpi itu disadarkan dengan antukan kepala di dinding gerbong. Membuatnya terjaga dari bunga mimpi yang membusukkan nalar.

Dayu meluruskan kembali badannya. Rasa kantuk dan lelah mendera. Kembali kesadarannya menipis. Kepalanya mulai bergoyang seiring dengan gerakan gerbong yang seolah menina bobokan penumpangnya. Kepala Dayu meliuk ke kiri, ke kanan dan lama-lama mendarat pada sesuatu yang empuk. Gadis itu semakin terlelap dan larut dalam alam mimpinya. 

Kali ini, mimpinya berganti dengan dengan mimpi yang indah. Dimana Dayu seperti berada dalam taman bunga yang sangat indah. Bunga yang belum pernah dilihat selama hidupnya. 

Sementara pria di sebelah Dayu juga terserang kantuk luar biasa. Lian yang juga ikut terlelap merasa ada sesuatu yang menindih bahunya. Pelan-pelan dibukanya kelopak mata sipit itu. Bola matanya bergulir ke sudut kiri matanya. Lian menarik bibir tatkala Dayu terlihat tenang saat tidur. Lain sekali dengan Dayu yang dalam keadaan sadar, begitu bersemangat dan berapi-api. Lian juga terheran dengan perempuan yang menyandarkan kepala di bahunya. Seolah peristiwa tadi pagi tak pernah terjadi, karena gadis itu masih bersikap biasa.

Lian mendengkus. Dayu, terbuat dari apa hatimu? Melihat peristiwa itu dan kamu masih bisa bersikap seperti biasanya.

Awalnya Lian mengira Dayu hendak meluruskan kepalanya. Namun justru gadis itu mendaratkan kepalanya di paha Lian. Seketika mata kantuk lelaki itu terbuka lebar. 
Bisa-bisanya gadis itu dengan seenaknya menjadikan pahanya sebagai bantal. Lian masih mengampuni bila Dayu bersandar di bahunya, tapi ini … paha?

Lian mengerang dalam hati. Gadis sombong dan semaunya sendiri itu, ternyata sangat ceroboh dan tak bisa menjaga diri. Bagaimana pun Lian adalah seorang laki-laki. Walaupun besok mereka akan menikah, tapi Lian tidak terbiasa dengan ulah Dayu. Lian hendak mendorong tubuh kecil itu. Namun urung, saat Dayu malah menggelungkan badan di kursi sampingnya. Gadis itu memeluk tubuh yang dibelai oleh angin jendela.

Lian menunduk memandang wajah Dayu dari samping. Tanpa sadar lelaki berwajah datar itu mengurai lengkung di bibir. Tangannya menyibak anak rambut yang menutup wajah sang gadis yang terlelap di pahanya tanpa merasa berdosa. Seperti seorang gadis kecil yang ingin bermanja-manja pada ayahnya. Lian teringat pada sosok Yu Yan Ni, adiknya yang tiada tepat di hari pernikahannya. 

Lian mengulurkan tangannya, mengambil jas yang tergantung di dinding gerbong. Ia menyelubungi badan Dayu dengan jas, membuat Dayu terlihat nyaman. Lian kemudian memejamkan mata, ikut larut di dunia mimpi.

"Soerabaja … Soerabaja ...."

Bunyi lonceng dari petugas peron membuat Dayu terhenyak. Matanya terbuka. Ia meraup kesadaran.

Empuk sekali. Bukannya aku kemarin di kereta. Tetapi kenapa aku tidur memakai bantal.

Tangan Dayu meremas sandaran kepala. Matanya masih mengantuk terlalu nyaman bersandar pada bantal empuk itu.

"Sudah puas belum kamu meremas pahaku?" Suara itu tiba-tiba menyeruak masuk dalam indera pendengarannya.

Buru-buru ditegakkan badan Dayu begitu ia mendengar suara Lian, tanpa memperhatikan bahwa kepala lelaki itu ada di atas persis kepalanya. 

Lian memekik saat dagunya terhantam kepala Dayu yang keras. Untung lidahnya tidak tergigit. Mendengar suara gigi beradu saja, Lian khawatir giginya ada yang patah. Tidak lucu dia harus memakai gigi palsu emas mengganti gigi ompongnya.

Lian meringis memegangi dagu. Kepalanya miring ke kanan, menjauhi Dayu yang selalu mempersulit dengan segala polahnya. 

"Kamu tak apa-apa?" Dayu mencondongkan separuh badan melampaui badan Lian duduk. Wajahnya menunjukan rasa bersalah. Tangannya menyangga tubuh di atas paha Lian.  

"Lepaskan tanganmu dari pahaku! " Lian berdesis. 

Dayu melepasnya ganti menumpukan tangan pada sandaran lengan. Tangannya dengan keras menarik dagu Lian.

"Sini aku lihat!" Dayu memicingkan mata, memperhatikan wajah Lian dari dekat karena lampu yang remang-remang.

Lian membelalak. Ada saja ulah gadis ini yang mengejutkannya. Wajah mereka begitu dekat sehingga bola mata Lian pun memusat di pangkal hidung saat melihat ekspresi serius Dayu. 

Dua  kali ini Lian melihat wajah Dayu dari jarak dekat. Kulit Dayu yang lembab bersinar tersorot sinar lampu membuatnya semakin berwarna tembaga. Hidungnya lumayan mancung. Alisnya begitu legam dan rapi dari asalnya dengan kelopak mata dalam yang dibingkai bulu mata lentik. Bibirnya tak semerah bibirnya tetapi warnanya pas dengan kulit wajahnya.

Lian menepis badan Dayu membuat Dayu terduduk di sebelahnya.

"Jangan berlebihan! Aku tidak apa-apa! Ayo turun!" sergah Lian tak nyaman. 

Lelaki itu menghela napas. Lelaki itu berharap Dayu tidak akan menyulitkan saat menjadi istrinya. Baru mengenal Dayu 2 hari saja, sudah membuat Lian kalang kabut.

Dayu mengendik. Sekali lagi ia menyadari dan membenarkan perkataan Melati. Semua jaringan yang meliputi tulang tengkorak Lian begitu ideal. Pas. Tak lebih dan tak kurang!

Lian menengadahkan kepala, lalu mengangkat lengan hendak menurunkan koper serta tas ranselnya. Dia berjalan di depan. Dayu akhirnya menyusul mengikuti Lian yang berjalan lebih dulu. 

Lian melompat dari gerbong kereta. Telapak sepatu berbunyi keras saat mendarat di atas lantai peron. Setelah koper ditaruh di sebelah kaki, lelaki itu mendongak ke atas gerbong, dan mengulurkan lengan kekarnya seraya berkata,

"Sugeng rawuh ing Soerabaja."

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro