Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵8. Soerakarta🏵

Hai...Dayu - Lian Kai up...

Boleh donk kasih komen banyak - banyak biar semangat nulisnya... hehehe

Yang jadi sider, yuk klik bintangnya..

Happy reading.

===PEONY===

Mereka menghabiskan separuh perjalanan dengan berdiam diri seolah tak saling mengenal. Walaupun sebenarnya mereka memang baru mengenal kemarin siang. Dayu merasa canggung berbicara dengan pemuda di sampingnya yang irit kata. Lagi pula Dayu tak ingin bicara karena perasaannya sedang dirundung duka  Otaknya berkutat dengan pikiran dan kesedihannya. 

Dayu mengingat kembali peristiwa tumbangnya Yudha yang menyisakan guratan luka di hati. Harapannya untuk menikah dengan Yudha dan merajut hari bahagia bersama akhirnya pudar begitu saja.  Ia terpaksa menerima Yu Lian sebagai suaminya. 

Dayu mendesah panjang, membuat Lian melirik gadis itu dari ekor matanya. 

Dayu merasa sepi. Kesendirian menderanya. Air matanya kini sudah mengering, menguap bersama embusan napas terakhir Yudha yang dilihat Dayu dari jauh. Semuanya tinggal kenangan indah. Senyuman Yudha ... tawa Yudha ... cinta Yudha ...dan jarik semen rante itu. Dayu pun sudah merindukan Yudha. Rasa cintanya pada lelaki itu sungguh besar. Memenuhi semua ruang di hatinya. 

Di sisi lain, Lian sangat paham kepedihan Dayu. Namun menurut Lian, hanya sang waktu yang mampu menyembuhkan luka itu. Apalagi Lian bukan lelaki yang pandai berkata-kata. Diam, dan memberi ruang bagi Dayu menurutnya yang terbaik saat ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Perlahan-lahan kereta mereka sudah berada di stasiun Balapan Soerakarta. Seandainya semua baik-baik saja, Dayu akan berlari dan melompat turun dari kereta, lalu mengembangkan senyuman dan berlari mendapati Romonya yang menjemput menggunakan delman. Kemudian mereka akan mampir dulu makan nasi liwet di Pasar Legi sebelum pulang kembali ke rumah. Atau mampir ke warung Laksita di Kartasoera. Begitulah rutinitas setiap Dayu pulang. Dan kali ini Dayu harus ikhlas merelakan semuanya. 

Romo, Dayu rindu. Sibu, Dayu ingin menjenguk makam Sibu. Padahal Dayu besok akan menikah. Sayangnya, Romo dengan Sibu tidak bisa menyaksikannya. Ah, seandainya mempelai prianya adalah Mas Yudha paling tidak Dayu sedikit terhibur. 

Lokomotif mulai menarik deretan gerbong di belakangnya memasuki jalur kereta nomor satu. Mengetahui tulisan Stasiun Balapan dari balik kaca jendela, Dayu hanya diam dengan pandangan kosong. 

Saat melihat kempetai atau polisi militer Dai Nippon berseliweran di peron, wajah Dayu menguap ronanya.

Lian bangkit begitu roda besi kereta itu tak lagi berputar. Decitan rem menggaung memekakkan telinga saat rentetan gerbong itu berhenti di tempat. Badan Lian yang tinggi membungkuk untuk menghindari benturan rak kabin di atas tempat duduk.

"Mau makan apa?" Lagi-lagi urusan perut yang membuat bibir pria itu terbuka. Dayu hanya menggeser kakinya menyamping, memberi jalan pada Lian agar dapat keluar. Pantat Dayu digeserkan ke kiri, menepi ke arah jendela.

"Mau makan apa?" tanya Lian sambil menghela napas panjang. Memang menghadapi Dewi Andayu membutuhkan pasokan kesabaran yang banyak.

"Terserah."

"Tidak ada menu makanan yang namanya terserah!" sergah Lian. 

Hah, aku bukan lelaki yang suka menebak hati perempuan Dayu! Aku bukan cenayang!

Dayu mendesah kesal.

"Terserah kamu mau bawakan aku apa, aku akan makan!" seru Dayu. 

Lian tak menjawab. Dia melangkah keluar sambil meluruskan kaki setelah hampir separuh hari kakinya menekuk.

Lian meluruskan badannya. Ia meregangkan tubuh penat dengan menarik otot. Lengan diangkatnya ke atas hingga bunyi kertakan tulang terdengar. Dipatahkan badan ke kanan dan kiri membuat tulangnya bergemeretak. Setelah puas meregangkan tubuh, kepala Lian menengok kanan kiri mencari apa yang bisa mengisi perutnya dan sang calon istri.

Membayangkan akan menikah dengan Dayu sedikit banyak membuat Lian bergidik. Seolah dia mendapat undian menikah dengan monster ganas yang siap menyemburkan api bila marah. Namun, tetap saja, besok pernikahan itu akan tetap terlaksana. Karena hanya itu satu-satunya cara membuat Dayu masuk ke dalam keluarga Yu.

Lian berjalan menyusuri peron. Matanya melihat seorang nenek tua yang duduk di dingklik kayu kecil. Di hadapannya ada tenggok dari anyaman bambu. Lian tertarik dengan nenek tua yang sepertinya tidak banyak dilirik pelanggan. Kebanyakan penumpang kereta yang beristirahat memilih membeli nasi liwet dari penjual muda yang memakai kebaya dengan belahan dada yang terkuak, seolah memanggil pelanggan iseng untuk cuci mata. 

Lian justru tertarik pada nenek tua yang sedari tadi mengipasi dagangannya dengan ujung selendang. Belum ada satu pembeli pun yang menghampirinya.

"Mbah, sadean napa?" tanya Lian dengan bahasa jawa yang halus, menanyakan apa yang dijual nenek tua itu.

"Gudangan, Den," jawab nenek penjual itu. 

Lian berjongkok di depan bakul anyaman yang berisi sayur dagangan si nenek. Lian melongokkan wajahnya ke dalam bakul, melihat apa yang dijual. Gudangan yang dimaksud nenek itu adalah sayur mayur yang terdiri dari bayam, kenikir,  kacang panjang, kecambah yang direbus, dicampur dengan sambal kelapa. Lauknya rempeyek teri dan telur rebus separuh. Menu yang tepat menurut Lian untuk mengganjal lambung yang sudah kosong.

"Saya mau nasi gudangannya dua." Lian menunjukan jemarinya membentuk huruf 'v' dengan cengiran khas anak kecil. Nenek itu terkekeh memperlihatkan gigi merahnya. Kebiasaannya menginang membuat gigi, gusi dan bibirnya memerah. 

Nenek itu mencuci tangan di ember kecil, lalu mengelap pada kain serbet bersih sebelum meramukan makanan bagi Lian. Sementara mata Lian sama sekali tak beranjak dari gerak gerik si nenek. 

"Mau kemana, Den?" tanya nenek yang masih fokus mencampur aneka rupa sayuran dengan sambal kelapa parut berwarna oranye.

"Soerabaja, Mbah." Lian menjumput sambal kelapa untuk mencicipi. Sesudahnya ia mengangguk-angguk. Aroma bumbunya begitu kental. Yang Lian tangkap dari indera perasanya ada aroma kencur dan daun jeruk purut yang melekat di sambalnya sehingga menambah cita rasa tersendiri di lidah.

Bakat mencecap dan membaui lelaki itu merupakan warisan turun temurun keluarganya yang berprofesi sebagai pengobat medis timur. Meramu obat herbal adalah salah satu keahlian dalam menjalankan profesinya. Ramuan itu diracik dengan mengandalkan indra penglihatan, peraba bahkan pencecap untuk meyakinkan bahwa bahan yang diracik sudah betul.

"Enak, Mbah. Bumbunya pas," puji Lian membuat nenek itu kembali terkekeh.

"Mulutmu manis sekali. Istrimu pasti senang!" kata nenek itu.

"Sayangnya saya tidak punya istri, Mbah. Doakan besok saya akan menikah," ujar Lian.

"Beruntung sekali yang mendapatkanmu, Den. Sudah ganteng, bermulut manis pula." Lian tersipu. Mulut manisnya digunakan hanya saat tertentu saja. Contohnya membeli sesuatu agar mendapat bonusan dari sang penjual.

Dayu menatap lurus pemandangan aneh dari tempatnya duduk. Lelaki itu duduk berjongkok dan asyik bercengkerama dengan nenek penjual makanan. Ekspresi Lian menjadi magnet bagi Dayu untuk mendatanginya. Ekspresi itu tak pernah dilihatnya selama sehari kemarin Dayu mengenalnya. Lian hanya tertawa saat mengejeknya atau menertawakan kebodohannya. Dan sekarang, tawa renyahnya yang terlihat tulus itu keluar saat berbicara dengan seorang nenek. Dalam hati, ia penasaran dengan obrolan yang tampak asyik itu.

Dayu beranjak dari duduknya, meninggalkan tas dan koper di dalam gerbong. Dia sepertinya juga membutuhkan angin segar. Begitu turun di peron, Dayu meregangkan ototnya yang kaku. Selanjutnya, ia melangkah menghampiri Lian. 

Dayu menepuk bahu Lian, membuat lelaki itu mendongak.

"Ini, Mbah, calon istri saya." Tiba-tiba Lian memperkenalkan Dayu saat gadis itu datang.

Dayu mengernyit saat diperkenalkan.

"Lha ayu ne, Nduk. Pantes Den Koko tresna," puji nenek itu.

"Mbah bisa saja." 

Nenek itu mengulurkan pincukan daun yang pertama pada Dayu. Dayu menerima dengan senang hati. Gudangan itu terlihat menggiurkan.

"Orang menikah itu tidak gampang. Cinta diperlukan agar bahtera rumah tangga kalian tidak runtuh." Nenek meracik gudangan yang kedua, sambil melanjutkan petuahnya, "Ibarat bahtera, setelah kalian resmi menjadi suami istri, tali akan dilepaskan dan perlahan bahtera kalian berlayar menjauhi pantai. Pada tahap awal ini justru yang sulit. Biasanya ombak dekat pantai itu datang bergulung-gulung. Bila tidak bertahan, perahu kalian akan dihempas begitu saja kembali ke daratan. Padahal apabila kalian bisa melewati gulungan ombaknya, di tengah lautan akan kembali tenang." Dayu dan Lian termangu saling pandang. Bahkan pincukan nasi gudang itu pun belum disantapnya.

"Mbah ini kok malah melantur saja."

"Tidak, Mbah. Justru kami senang," ucap Lian buru-buru. 

Lian paham, pernikahannya akan berjalan sangat berat. Tanpa cinta, dan ditambah dia harus menopang Dayu yang mempunyai kakak seorang buronan. Tentu saja hal itu juga akan mengancam keluarga Yu. 

Dayu melirik Lian. Sisi lain lelaki itu tertangkap netra Dayu. Lian seolah melepas topengnya. Wajah itu terlihat lebih menyenangkan dengan senyuman yang terukir di wajahnya.

Lian berdiri, merogoh dompet di saku belakang celana. Selembar uang diberikan pada nenek penjual gudangan. 

"Den, pakai uang pas mawon," kata nenek penjual tak menerima uang Lian.

"Ambil saja kembaliannya, Mbah. Anggap saja ucapan terima kasih kami karena sudah diberi porsi lebih dan petuah," kata Lian.

"Matur nuwun nggih, Den. Mbah doakan, Den Koko dan Den Ayu langgeng sampai kakek nenek." Mbah itu menerima uang Lian dan mengambil sapu tangan yang diselipkan di kap kutangnya. Sapu tangan itu ternyata tempat menyimpan uangnya. 

Lian dan Dayu berpamitan. Lelaki itu kemudian mengajak Dayu duduk di peron.

"Ada jahe hangat. Kamu mau?" tanya Lian. 

Dayu mendongak. Lelaki ini kalau soal urusan makan selalu sigap. Namun, gadis itu hanya mengangguk. 

Mengetahui gerakan kepala calon istrinya, Lian memberikan dahulu makanannya kepada Dayu kemudian bergegas membeli dua gelas jahe hangat.

Dayu duduk di kursi kayu di peron itu. Saat pantatnya menyentuh permukaan kayu, derik kasar terdengar karena ada bagian yang terlepas dari pakunya. 

Selang beberapa menit kemudian, Lian datang dengan dua gelas cairan cokelat kemerahan yang mengepulkan uap. Lelaki itu menyodorkan gelas yang ia bawa dengan tangan kanan pada Dayu. Dayu meletakkan jatah makan Lian di atas kursi untuk menerima gelas jahe. Lalu Lian ikut duduk menyebelahi Dayu setelah mengambil makanannya.

"Kamu pandai merayu nenek tua, ya?" kata Dayu sambil menyendok gudangan dengan suru atau sendok dari lipatan daun pisang. 

"Bukan merayu, tetapi berbicara dengan ramah," kilah Lian yang menaruh gelasnya di bawah kursi.

"Kalau bisa tersenyum seperti kenapa harus berwajah datar?" 

Lian diam. Lelaki itu menikmati suapan pertamanya. Nikmat adalah sensasi pertama yang dicerna otaknya setelah lidahnya bersentuhan dengan makanan sederhana itu.

"Aku hanya tersenyum tulus, tanpa dibuat-buat. Nenek itu mungkin yang membuat bibirku melengkungkan senyum."

Dayu mendecih. Seorang nenek membuat si muka tembok datar Yu Lian tersenyum? Memang seleranya aneh, seaneh orangnya, pikir Dayu.

"Kamu akan jatuh cinta padaku kalau aku sering tersenyum." 

Dayu membelalak tanpa percaya dengan kepercayaan diri Lian. Suara yang keluar itu tidak seperti gurauan. Seolah kalimat serius baru meluncur.

"Hah, mimpi saja kamu! Hatiku hanya untuk Mas Yudha!" Dayu tak senang mendengar gurauan Lian. Sekali buka mulut, bicaranya tak jelas.

Ya, sebaiknya memang kamu tidak jatuh cinta padaku. Akan menyakitkan, karena aku sudah mengunci hatiku hanya untuk istri pertamaku! 

Lagi-lagi mereka makan dalam diam. Suara musik mengalun dari gramofon salah satu ruangan di stasiun. 

"Aku ke belakang sebentar!" kata Lian setelah meneguk habis jahe hangatnya. "Sebentar lagi kereta kembali berangkat. Segeralah naik. Oya, tolong buangkan sampah untukku dan kembalikan gelas ini ke penjualnya."

Dayu tidak menjawab. Dia menengadah memandang Lian. Kemudian kembali menghabiskan makanan yang tersisa.

Wajah lega terpancar saat kemih Lian kembali kosong. Bisa berkemih adalah sesuatu yang patut disyukuri dimana, organ ginjal seorang manusia masih berfungsi normal. Begitu pula dengan Lian yang sehat raganya. Selepas menyelesaikan urusannya, Lian mencuci tangan dan mukanya yang walau sudah seharian di kereta tetap menunjukkan wajah yang rupawan. 

Melihat Dayu sudah tidak ada di tempat mereka duduk begitu keluar dari kamar kecil, Lian pun bergegas masuk ke dalam kereta. Tanda kereta akan berangkat sudah berbunyi. Corong lokomotif sudah menyemburkan uapnya. Siulan kereta dari ruang mesin memberitahu penumpang agar segera menempatkan diri ke posisinya. 

Namun, saat kembali, Lian tidak mendapati Dayu di tempatnya. Dia tertegun. Buru-buru lelaki itu menerobos kerumunan orang yang hendak kembali duduk di lorong tengah kereta.

Wajahnya memucat. Lian khawatir Kempetai membawanya pergi saat dia sedang berada di kamar kecil. Kempetai diketahuinya sebagai polisi militer jepang yang sangat arogan dan banyak melakukan perbuatan keji. Seketika jantung Lian berdebar kencang.

Lian yang berbadan jangkung dan tegap membuatnya mudah menerobos kerumunan. Decakan gusar terdengar dari orang-orang yang berjalan di lorong tengah kereta.

"Dayu, dimana kamu!" 

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro