🏵7. Di Atas Kereta🏵
Otot-otot kaki Dayu rasanya tak mampu berkontraksi untuk menegakkan tubuh. Dari belakang, Lian langsung sigap memeluk perut Dayu. Lelaki itu mencegah Dayu terjatuh ke luar gerbong.
Pekikan Dayu bersatu dengan deru mesin kereta api yang perlahan meninggalkan stasiun. Dayu terisak. Dia menyesal kenapa memutuskan pergi bersama Lian dan tidak menunggu Yudha yang akhirnya menjemput. Dia justru menyalahkan Lian yang memaksanya naik ke gerbong kereta. Pria itu yang telah menghancurkan hidupnya!
"Lepaskan," kata Dayu lirih. Setelah Lian menarik badan ringkih itu ke tengah kereta, barulah dia melepas kaitan tangannya di badan sang gadis.
Dayu berbalik. Dia menatap tajam mata sipit itu. Matanya merah dan berlinang bulir bening.
Telunjuknya yang bergetar mengacung di depan pucuk hidung lelaki itu. "Siapa kamu yang memisahkan aku dari kekasihku?!" sergah Dayu.
Lian tak menjawab.
"Jawab aku! Kenapa kamu tega membuatku terpisah dari mas Yudha?! Siapa kamu sampai berani memisahkan kami?!" Nada suaranya meninggi tak dapat mengontrol emosi. Telunjuknya dipukul-pukulkan ke dada Lian.
Suara lokomotif nyaring terdengar. Bising gesekan roda besi pada rel membuat jeritan itu seperti bisikan.
"Aku ..." Lian akhirnya buka suara. I menggenggam jemari tangan kanan Dayu dan menatap gadis itu tajam. "calon suamimu. Aku yang akan menjadi suamimu!" Nada suaranya tegas dan rendah, tetapi masih bisa tertangkap oleh pendengaran Dayu.
"Kembalikan aku pada Mas Yudha! Dia pasti kesakitan." Dayu memukul dada bidang itu dengan keputus asaan. Lian hanya diam menerima setiap pukulan dari Dayu.
"Tangisilah kekasihmu hari ini sepuasnya. Mulai besok kamu adalah istriku ... istri Yu Lian!" tandas Lian.
"Apa salahku padamu sehingga kamu begitu tega padaku? Seharusnya kamu melepaskan aku!" seru Dayu. Wajahnya menunduk di bekap telapak tangan yang tak lebar. Lian hanya diam tak bersuara. Lidahnya seperti terkunci untuk membela diri.
Bagaimana bisa aku melepaskanmu saat prajurit Jepang menguntit kekasihmu? Dan kamu akan mengalami hal yang lebih mengerikan dari sekedar melihat kekasihmu ditembak. Bisa jadi kamu akan diperkosa di depan kekasihmu yang membuatmu akhirnya memilih untuk menghilangkan nyawa bersamaan dengan selesainya pelampisan nafsu bejat mereka. Sama seperti istriku...yang diperkosa dan memilih mengakhiri hidupnya.
"Aku benci kamu. Aku benci!" ucap Dayu lirih.
Lian hanya menunduk. Lagi-lagi dia tak bisa berucap.
Kecepatan kereta api semakin laju membelah persawahan dan ladang rumput hijau. Lian hanya bisa membisu. Ia memasuki kabin dalam gerbong kereta besi yang panjang dan duduk di tempatnya. Keramaian penumpang bercakap dan anak kecil yang rewel karena kepanasan tak mengusiknya.
Peristiwa yang terjadi baru saja menguak luka lamanya. Bekas tembakan di punggung terasa ngilu di tulang. Tangannya mengepal di atas paha saat mengingat hari yang ingin dihapus dari ingatan. Lian berjanji, dia akan melindungi Dayu dengan sepenuh hati. Kejadian ini pasti akan membuat diri gadis itu terguncang.
Janji itu terucap dalam hati. Tak ingin diingkari. Merasakan kepedihan yang sama cukuplah menjadi alasan bagi Lian untuk sedikit ikhlas menerima Dayu sebagai istrinya. Kalau dulu Lian beranggapan bahwa ini adalah misi penyelamatan. Sekarang tidak! Lian ingin memperistri Dayu untuk melindunginya agar tidak terluka. Ia ingin mengobati batin Dayu yang remuk karena orang yangbterkasih tumbang dan berceceran darah tepat di depan mata. Lelaki itu ingin menghapus kenangan buruk Dayu saat tunangannya tertembak dan dibiarkan jasadnya tergeletak begitu saja seperti hewan perburuan. Sementara orang di sekitarnya, hanya mampu melihat, dengan tatapan kasihan. Atau ada yang dengan pandangan menuduh, bertanya-tanya kesalahan apa yang ditumpukan padanya sehingga dia bisa dihadiahi dua bola timah panas.
Dayu masih berdiri di belakang gerbong. Matanya menatap sambungan gerbong satu dengan yang lain. Ia mendengkus dengan perasaan iri. Bahkan kereta api pun bisa saling bergandengan satu sama lain untuk menjalani satu tujuan yang sama. Namun sekarang Dayu merasa sendiri. Untuk terakhir kalinya pun Dayu tak bisa menggandeng tangan Yudha, apalagi memeluknya.
Dayu membalik badan, lalu memandang lurus permadani hijau yang membentang di atas bumi berharap sesak di hati akan terobati.
Namun, tetap saja batinnya berontak. Ia ingin menyalahkan seseorang atas semua penderitaannya. Haruskah dia membenci Lian? Entah kenapa Dayu merasa lelaki itu hanya berusaha melindunginya dan Dayu tidak bisa membencinya begitu saja.
Dayu mendengkus pelan. Senyuman miring yang tergambar di wajah hendak mengejek nasib yang dialaminya. Kehilangan orangtua tidak juga cukup. Kini dia harus kehilangan tunangannya, dan besok dia harus menikah dengan lelaki asing.
Mas Yudha ... aku akan selalu mencintaimu ...
Angin pagi menyapu wajahnya. Membuat Dayu menyadari bahwa hidupnya tak semulus yang dipikirkan. Setelah menata hati, Dayu masuk ke dalam gerbong. Gadis itu duduk begitu saja di sebelah lelaki yang esok hari menjadi suaminya.
Pandangan Lian hanya tertuju pada deretan pepohonan yang berlari berlawanan dengan laju kereta. Lelaki tidak bertanya bagaimana perasaan Dayu karena ia tahu bahwa hati gadis itu pasti terkoyak menjadi serpihan kecil yang susah disatukan. Untuk apa menanyakan hal yang aneh, yang bisa ditebak jawabannya. Lian memilih membiarkan Dayu menata hatinya.
Padahal, Dayu saat ini ingin direngkuh.Ia butuh sandaran. Dia tetaplah seorang gadis yang mempunyai sisi lemah. Keangkuhan hanya tembok kekuatannya agar ia tidak terjebak diremehkan oleh para lelaki yang merasa lebih hebat. Batin Dayu saat ini ketakutan. Namun, tetap saja Dayu tidak mendapat sambutan senyuman atau basa-basi pertanyaan ‘Kamu tidak apa-apa?’.
Dayu sebenarnya ingin mengobrol tentang apapun untuk melupakan peristiwa menakutkan yang terjadi beberapa waktu lalu. Batinnya ingin berteriak. Kalau dia bicara sendiri, pasti orang akan menganggap dirinya tidak waras. Dari ekor matanya, Dayu melirik sosok lelaki yang hanya duduk mengamati pemandangan luar. Sebegitu hebat dan elokkah deretan sawah dan pohon dibanding hatinya yang remuk? Lelaki itu juga tidak memberikan tatapan empati padanya. Wajahnya hanya datar, sehalus sutra yang tanpa disetrika pun tetap licin kainnya.
Inikah suami yang akan dinikahinya? Lelaki itu tak mau merengkuh batin rapuhnya. Di saat Dayu terpuruk, Lian hanya diam.
Yu Lian sungguh manusia tanpa rasa. Mata batinnya sudah mati.
Mereka diam. Dua jam perjalanan diisi dengan kebisuan. Masing-masing mempunyai praduga dan prasangka di benak mereka.
"Kamu mau makan? Shu shu tadi membawakan nasi bungkus." Akhirnya Lian bersuara. Dayu hanya menoleh. Air matanya yang sudah kering menyisakan mata yang sembap.
Mata Dayu memicing, memeriksa setiap detail wajah Lian. Lagi-lagi Dayu gagal melihat apa yang tersirat. Tak ada tanda kecemasan, ketakutan atau prihatin dari ekspresi muka si lelaki.
"Baiklah. Lagi pula aku lapar," sahut Dayu.
Lian menunduk untuk meraih ransel yang tergeletak di bawah kursinya. Ia merogoh dua bungkusan nasi yang dimasukkan begitu saja di dalam tas hingga bentuknya tidak beraturan.
"Ini." Lian mengulurkan bungkusan itu ke depan Dayu.
Dayu menerima nasi bungkus itu, tapi pandangannya masih menerawang. Ia menggenggam buntalan itu di atas pahanya selama beberapa saat. Sampai akhirnya perutnya berbunyi, ingin diisi. Dia harus banyak makan, supaya kuat menghadapi keadaan.
Lian sudah membuka jatah nasi bungkusnya. Secentong nasi putih dengan telur dadar dan tumis kacang panjang cukup untuk mengganjal perut keduanya.
"Kalau ingin menangis, menangislah! Setelah jadi istriku, jangan menangisi lelaki lain. Walaupun kamu sangat mencintainya!" ucap Lian masih memusatkan perhatian pada nasinya.
Dayu menoleh, lalu memandang wajah yang dari samping hidungnya tampak menonjol.
Mulut Dayu saat itu sudah penuh nasi dan sepotong kacang panjang yang belum sempat masuk dengan sempurna di mulut. Matanya yang membesar mulai berkaca-kaca. Bahu Dayu naik turun saat isakan halus terdengar lembut di telinga. Kata-kata lelaki itu seolah membuka bendungan air mata yang sedari tadi ditahannya.
Mungkin Lian ada benarnya. Dia sebentar lagi menjadi istri dari anak sulung keluarga Yu. Sangat tidak pantas bila dia kedapatan menangisi lelaki lain yang bukan suaminya. Memutuskan naik kereta itu, sama artinya bahwa dia sudah menyerahkan nasibnya kepada Lian.
Ia tidak mempunyai jalan lain lagi. Kini otaknya terbuntu dan hatinya menciut melihat apa yang terjadi pada Yudha.
Dalam isakannya, Dayu berusaha menjejalkan makanan dalam mulut kecilnya. Gerakan gigi beradu untuk menghaluskan makanan pun terasa begitu susah. Saat makanan meluncur ke kerongkongannya pun menjadi tak lancar, membuat nyeri ulu hatinya. Gadis itu menepuk dadanya. Berusaha menurunkan sumbatan makanan agar menerobos ke dalam lambungnya. Namun tepukan keras itu juga diharapkan agar batin perihnya segera lenyap.
Lian menyodorkan air bekal, supaya Dayu bisa menggelontorkan makanan yang seret di tenggorokan. Tanpa bicara. Hanya gerakan tangan. Tanpa mimik khawatir. Dari awal sampai akhir semua sama. Datar.
Dayu melirik sambil mengambil botol bekal itu. Dalam hati ia berpikir, apakah nanti dia akan menikahi suami yang beraliran kebatinan? Tanpa kata dan semua hanya dibatin? Dayu ingin bicara tentang apa yang dirasakannya. Namun, bila lelaki yang ada di sebelahnya hanya diam tak mau tahu, mulut Dayu akhirnya kembali terkunci. Ia memilih menelan kembali kepahitannya.
Selesai makan dan mengakhiri dengan meneguk air. Akhirnya Dayu membuka suara. "Kenapa kamu mau menerima permintaan tolong kakakku?"
Lian yang sudah selesai makan lebih dulu melipat bungkusan daun pisang dan meletakkan di atas meja kecil di sisi jendela. "Apa yang kamu harapkan dari jawabanku?" Bukannya menjawab Lian justru melempar pertanyaan yang lain.
"Aku bertanya duluan," kata Dayu gusar sambil meremas daun itu dan mencondongkan badannya hendak meletakkan daun pembungkus di atas meja.
"Daru memohon padaku, untuk menyelamatkanmu. Itu saja."
Namun jawaban Lian tidak memuaskan Dayu. "Aku tahu itu. Tapi kenapa?"
"Daru meminta keluarga Yu melindungimu. Tidak mungkin kami hanya melindungimu dan memintamu tinggal bersama kami begitu saja. Oleh karena itu, untuk menghindari kecurigaan, Daru merrasa ada baiknya aku menikahimu. Dengan begitu kamu masuk sepenuhnya dalam keluarga Yu dan menjadi tanggung jawab kami. Namamu akan menjadi Nyonya Muda Yu, bukan lagi Dayu, Putri Tuan Wedana, terang Lian.
"Berarti pernikahan ini hanya pura-pura?"
"Siapa bilang pura-pura? Semuanya, dilakukan dengan sungguh-sungguh. Begitu kita sampai, kita akan menikah. Diberkati langit dan bumi dan para leluhur! Tidak ada kepura-puraan!" sanggah Lian.
"Tetap saja, tidak ada cinta! Sebuah pernikahan bila tidak ada cinta, seperti bangunan tanpa pondasi!" sergah Dayu.
Lian memiringkan posisi tubuhnya menghadap Dayu. Tangannya memegang dagu Dayu dan memalingkannya sedikit paksaan walau tak kasar. Wajah mereka berhadapan.
"Pernikahan ini sungguh-sungguh! Biarkan waktu yang berbicara. Aku tahu kamu mencintai orang lain. Namun aku tidak mau kamu menganggap pernikahan ini main-main. Di keluarga Yu, pernikahan adalah sakral! Paham?! Kamu kira aku memutuskan menikahmu ini gampang?" Mata Lian mengecil, membentuk mata elang yang siap menerjang musuhnya.
"Kamu jatuh cinta denganku?" Pertanyaan polos itu meluncur dari bibir Dayu.
Lian hening. Namun, beberapa detik kemudian tawanya menyembur saat otaknya bisa mencerna kalimat yang terlontar dari bibir Dayu.
"Jangan mimpi!!" Lian menyentil dahi Dayu, mengusir pikiran aneh di kepala gadis itu.
Lian kemudian melepas pegangan di dagu Dayu. Lagi-lagi dia menikmati pemandangan yang berjajar di balik jendela. Sementara Dayu menggosok dahinya yang memerah karena disentil oleh Lian.
Jatuh cinta?? Lucu sekali?? Bahkan aku lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku tidak bisa melupakan sosok istriku yang sangat aku cintai, sebagaimana kamu mencintai lelaki itu.
Dengkusan halus terdengar dari bibir merah Lian. Lelaki dan perempuan itu mengalami takdir yang sama. Berpisah dengan yang tercinta dengan cara yang keji. Mereka dipaksa bersatu dalam ikatan pernikahan.
Melalui ujung matanya, Lian melihat tubuh yang terguncang hebat menyembunyikan isakan kepedihan karena kehilangan seorang kekasih. Lian berharap biarlah sang waktu yang akan menyembuhkan luka gadis itu.
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro