🏵5. Di Rumah Bordil🏵
Up lagi yak Dayu dan Lian Kai..
Semoga kalian masih mengikuti sampai part ini...
Jangan lupa jejak cintanya ya reader sayangku...
Salam hangat di sore hari yang cerah
Dee_ane😊
♥️♥️♥️
"Aku tahu aku begitu rupawan sampai kamu melihatku seperti itu."
Suara Lian yang mengusik telinga Dayu mengembalikan kesadarannya. Hampir saja Dayu terhipnotis dengan pesona lelaki Tionghoa itu. Apalagi hidung yang menonjol dan bibir merahnya sungguh indah dipandang. Entah kenapa Dayu tidak bisa melepaskan pandangan dari dua bagian wajah lelaki itu.
Indah ....
Ciptaan Tuhan di hadapannya ini terlalu ideal. Komposisi yang membentuknya pas, membuatnya menjadi sosok yang bernama Yu Lian. Buru-buru Dayu menepis pikiran aneh itu. Bagaimanapun Dayu sudah bertunangan. Cintanya hanya berlabuh pada Yudha Satria. Namun Dayu tetap perempuan normal. Walau hatinya untuk Yudha, tetapi matanya sibuk mencari penyegaran.
Dayu segera mendorong tubuh Lian, bertepatan dengan selesainya lelaki itu mengoleskan ramuan pada lukanya. Imajinasi terlalu tinggi membuat gadis itu berfantasi sendiri.
Lian bangkit, tak mengindahkan sikap Dayu. Decitan kaki kursi saat terdorong menyeruak di ruangan. Lelaki itu berjalan menghampiri tasnya, lalu berjongkok membelakangi Dayu. Ia menempatkan dengan hati-hati wadah keramik berisi obat herbal racikan rahasia warisan keluarga Yu di dalam tas yang dibawanya. Ramuan itu bisa diracik kembali, tetapi wadah keramik itu peninggalan dari kakek buyutnya yang tak bisa ditukar bila pecah.
Rasa malu dan jengkel menggerayangi batin Dayu karena Lian memergokinya mengamati wajah lelaki itu sampai tak berkedip. Dayu mendengkus tak senang, apalagi mendapati reaksi datar yang terkesan angkuh. Entah kenapa, gadis itu melempar begitu saja kain basah bekas untuk menyeka luka. Kain itu melayang dan berhasil mendarat di bahu Lian. Membuat pria itu membelalakan mata.
"Dayu!" Lian bangkit, berbalik dan mengertakkan gigi. Selebar apapun mata sipit itu melebar, bagi Dayu tak ada beda.
Lian menarik kain itu kemudian melihat sekilas ke bahunya. Kain kemeja di bahu sudah transparan karena basah, mencetak tali kaus dalamnya. Bahkan saking tembus pandangnya, Lian bisa menangkap warna kaus dalamnya yang berwarna putih.
Mata Lian menyipit tajam. Lengannya yang memegang kain basah, mengepal membuat kain itu tidak sengaja terperas. Air menetes dari ujung kain dan dari ujung buku jari Lian. Kalau tidak ingat perempuan itu sedang dirundung duka, dan janjinya pada Daru untuk memperistri Dayu, dia pasti akan meninggalkan gadis itu sendiri. Sifatnya sungguh keterlaluan. Arogan tak tertolong. Sindroma Tuan Putri-nya sungguh mendarah daging, membuat apapun yang tidak berkenan di depannya langsung didampratnya habis-habisan.
Siapa Dewi Andayu bagi Lian? Sampai detik gadis itu bukan siapa-siapa! Dan hari ini sudah dua kali Lian jadi sasaran lempar jauh Dayu. Masih untung yang dilempar adalah kain, kalau keramik mahal dari dinasti Ming kepunyaan sang ayah, bisa menangis Ba ba Ji!
Sambil tersenyum miring, Lian menebak bahwa bila Dayu menjadi istrinya, gadis itu tidak akan bisa seenaknya seperti ini. Bila Dayu tidak bisa beradaptasi, lelaki itu yakin gadis itu akan seperti hidup di neraka.
Wajah Lian saat itu sungguh mengerikan bagi Dayu. Seringaian di wajah datar itu membuat Lian seperti sosok jahat berdarah dingin. Satu hal yang Dayu tangkap, lelaki tanpa ekspresi itu berbicara lewat matanya. Sorot mata lelaki itu kini ditafsirkan oleh Dayu sebagai sorot kemarahan dan rasa jengkel. Dayu tahu dirinya sudah keterlaluan. Hanya saja, Dayu paling tidak bisa dibuat malu.
***
Situasi menjadi canggung. Udara di dalam ruangan itu terasa menyesakkan. Berada bersama lelaki asing di sebuah kamar ketika seorang gadis sudah bertunangan sungguh tidak bisa dibayangkan sebelumnya oleh Dayu. Dayu merasa seperti pengkhianat bagi Yudha.
Lian tidak menggubris Dayu. Pria itu sibuk sendiri dengan tasnya. Sedang Dayu hanya duduk seraya memainkan jemari di atas paha.
Detikan jarum jam dinding terasa begitu nyaring, seolah mengejek Dayu atas kecanggungan suasana. Dayu ingin bicara, tapi tak tahu yang dibicarakan. Sementara kalau hanya membisu, dirinya bisa tercekik dalam rasa canggung yang tak mengenakkan.
Ini baru sehari. Bagaimana kalau dia menjadi istri Yu Lian. Sekamar bersama orang itu akan menjadi makanan sehari-harinya.
Tunggu ... sekamar? Itu artinya aku harus tidur bersama dia?
Dayu menggigit bibir. Mengerling ke arah Lian yang masih membelakanginya. Kini, mata Dayu mengedarkan pandang. Tempat tidur hanya satu. Ia mulai berpikir di mana dia akan tidur.
Dayu mengacak rambutnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala membayangkan bahwa ia akan menjadi istri lelaki itu.
"Aku keluar. Aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan makanan bagi kita," ujar Lian yang juga tidak nyaman dengan perempuan itu.
Dayu hanya diam. Otaknya masih disibukkan dengan pikiran tentang masa depannya.
Ia harus menikah bukan karena cinta. Bagaimana bisa Dayu melakukannya? Hanya dengan membayangkan saja, kuduk Dayu meremang. Kalau benar ia menikah, itu sama saja Dayu berkhianat pada Yudha.
Dayu mulai kalut. Pernikahan tidak sekedar pernikahan. Banyak konsekuensi yang harus ia tanggung. Gadis itu mengerutkan alis, memutar otak untuk mencari cara lain.
Namun, tak ada satu ide lain yang muncul di otaknya. Mau tidak mau, Dayu mempertimbangkan baik buruk menerima tawaran Lian.
Kalau gadis itu menjadi istri Yu Lian, ia tidak perlu hidup dalam pelarian. Paling tidak Dayu akan terlindung. Tapi bila ia menolak?
Dayu menggigit bibir kala bayangan kelam masa depannya kembali menggerogotinya. Pelariannya tadi sore sungguh sesuatu yang membuat kesehatan jantungnya diuji. Hidup berdebar seperti tadi tak bisa dibayangkan oleh seorang Dewi Andayu yang selalu mencecap hidup enak.
Tapi kalau aku menikah dengannya. Berarti aku harus mengabdikan diri untuk laki-laki itu, termasuk urusan ranjang?
Dayu bangkit. Kuku jemarinya sudah habis digerogoti oleh gigi Dayu. Suara di dalam kepalanya datang silih berganti.
Sepertinya aku harus menerima lelaki itu menjadi suamiku.
Tidak! Suara lain menyelip berbicara. Saat ini kamu hanya perlu ke luar dari Djakarta. Cukup itu! Selebihnya, kamu bisa berpikir sambil jalan.
Dalam lamunannya, sebuah suara ketukan pintu menggema di ruangan. Dayu berjalan ke arah pintu dan membukakan. Bau makanan menguar menggelitik penciuman.
"Kami antarkan makanan."
Dayu memiringkan tubuhnya memberi kesempatan pelayan itu masuk mengantar makanan.
Setelah makanan tersaji di atas meja, pelayan keluar dan Lian masuk sesudahnya, dengan rambut basah tanpa gelnya sudah jatuh di dahi. Membuat penampakan lelaki itu seperti anak remaja.
Dayu kembali duduk. Ia bingung hendak berbuat apa atau bicara apa. Bola matanya hanya mengikuti gerak gerik Lian yang menjemur handuk di sandaran kursi kayu di sisi dinding.
Saat menyisir rambut, bayangan Dayu yang memperhatikannya tertangkap di cermin.
"Jangan terpesona padaku. Aku tahu wajahku memang langka!" Lian berkata begitu dengan tanpa ekspresi.
Dayu mendecih, merutuki kebodohannya memperhatikan si lelaki. Dia mau mengingkarinya tetapi apa yang dikatakan Lian itu memang kenyataan. Wajah Yu Lian sungguh langka. Terlalu sempurna seperti ukiran patung David karya Michelangelo. Yang jelas bukannya membuat Dayu senang tetapi membuat gadis itu bersungut-sungut.
"Aku hanya terpesona pada Mas Yudha!"
Lian tak menjawab.
Baru saja dia mengajak berdebat dan sekarang bungkam? Lagipula kalau mau menyombongkan fisiknya, kenapa mimiknya rata seperti tembok?
Lian sudah selesai menyisir rambutnya ke belakang tanpa gel. Saat kering helaiannya akan kembali menutup dahi. Lelaki itu ikut duduk mengitari meja yang sudah menyajikan makanan khas Negeri Tirai Bambu.
Lian memajukan badannya. Ia menghirup kuat uap aroma masakan yang lama tidak dicecapnya. Tangannya melambai berusaha meraup wangi makanan ke dalam indra penciumannya. Matanya terpejam menikmati sensasi harum yang membuat perutnya keroncongan.
Capcay dengan sayuran wortel, sawi putih, buncis, kacang kapri, sawi sendok semua tersaji di sebuah piring datar. Fuyunghai pun dipesannya. Sebuah dadaran telur dengan cacahan daging dan udang ditambah saus diatasnya.
"Ayo makan! Aku sudah lapar," ajak Lian.
Dayu melirik pemuda itu yang mengambil nasi dan mengisi mangkoknya dengan sayur dan lauk. Mata Dayu membulat melihat makanan itu dijepit dengan dua tongkat kecil dari bambu. Cara makannya pun aneh karena Lian mengangkat mangkok seperti memasukkan paksa isinya ke dalam mulut.
"Kamu tidak makan?" Lian menurunkan mangkoknya. Dia masih mengunyah makanannya. "Atau tuan putri ingin dilayani?" Alisnya naik ke atas membuat dahi berkerut.
"Aku bisa sendiri!"
Dayu bangkit, tidak ingin melangkahi makanan dengan badannya. Dia menghampiri wadah nasi, memasukkan nasi sebanyak dua entong dan mengambil sesendok sayur dan sepotong lauk.
Dayu duduk. Namun dia diam, tidak memakan apa yang sudah diambilnya.
"Ayo, makanlah!" Perut Lian sudah melilit. Sedari pagi belum ada makanan yang masuk. Dia bisa saja menghabiskan semua makanan yang tersaji.
"Aku ...."
Suara dehaman yang terdengar karena wajah Lian tertutup pantat mangkuk. Tangannya sibuk bergoyang mengapit sumpit untuk menjepit makanan dan memasukkan dalam mulut.
"Aku tidak bisa makan pakai barang ini." Dayu tertunduk lesu.
Lian menurunkan mangkoknya. Otaknya mencerna kalimat Dayu lalu tawa menyembur dari mulut Lian membuat nasinya berceceran dan mendarat di wajah Dayu.
"Maaf." Dia meletakkan mangkok pada permukaan meja dan menyeka mulutnya. Diulurkannya tangan untuk membersihkan muka Dayu.
Mata belok Dayu tinggal segaris. Wajahnya ingin menerkam Lian karena sudah dibuat geram beberapa kali hari ini. Ditepiskannya kasar tangan Lian.
Lian kegelian. Pernyataan polos yang keluar dari bibir Dayu tidak pernah diduganya. Tidak bisa menggunakan sumpit? Dan dia hanya diam saja? Sungguh sombong sekali.
Dayu menepuk wajahnya. Untuk urusan sembur menyembur seperti ini dia tidak jijik. Dia pernah melakukan operasi kista dan isi dalam kapsulnya tersembur seperti bubur ke wajahnya. Dan setelahnya Dayu masih bisa makan bubur ayam, padahal Melati sudah berkali-kali tidak mau makan yang berhubungan dengan nasi lembek karena isinya menyerupai isian kista.
Lian berdeham. Ia menahan rasa geli dan dalam hitungan detik wajahnya kembali seperti semula.
"Sini, aku ajari. Menjadi menantu keluarga Yu, salah satu kemampuan dasar yang harus dipunyai adalah ... memegang sumpit." Lian mengambil sumpit dan menarik tangan kanan Dayu.
"Siapa yang mau jadi istrimu?" protes Dayu tak dihiraukan Lian.
Namun gerakan tangan Lian yang menekak nekuk jemari Dayu tidak bisa ditolaknya. Tidak bisa pegang sumpit artinya dia akan kelaparan dan memalukan diri sendiri.
"Caranya ..." Lian menaruh sebatang sumpit di antara jari jempol, telunjuk dan jari tengah. "taruh sumpit seperti ini. Ha Ya, jarimu kaku sekali. Bagaimana kamu bisa membedah pasien kalau begini."
"Tidak ada hubungan membedah pasien dengan memakai sumpit!" sergah Dayu.
"Gerakan jarimu terlalu kaku. Menjadi dokter itu seperti seniman. Dia menggoreskan pisau bedah alih-alih kuas lukis. Gerakan tangan dokter yang melakukan sayatan di tubuh pasien sama gemulainya seperti tangan seorang penari."
Dayu mencibir. Walau wajahnya mencemooh, tapi dalam hati dia membenarkan perkataan Lian. Dayu bisa merasakan kasarnya jemari Lian. Membuatnya berpikir apa yang sudah dikerjakannya selama ini.
Apakah menjadi pengobat medis timur apakah seberat itu sehingga kulit di telapak tangannya menebal.
Bola mata bulat yang hitam itu memperhatikan tangan Lian yang melekak lekuk jemarinya.
"Sudah. Gerakkan!" Lian puas mengamati hasil karyanya saat Dayu melakukan titahnya. "Bagus. Sekarang coba jepit wortel ini."
Dayu menurut dan mengulurkan tangannya berusaha menjepit wortel. Namun jepitannya buyar membuat wortelnya terlepas.
Lian terkekeh lagi. Membuat Dayu justru merasa tertantang untuk menaklukkan dua buah batang bambu itu.
Mata Dayu memicing. Ia mengumpulkan konsentrasi yang penuh di ujung jemari.
"Ayo, kamu bisa. Buka sedikit." Dayu menahan napas. "Ya, begitu. Jepit erat! Kamu bisa. Lama-lama kamu akan terbiasa."
"Aargghh!" Desahan keras keluar dari keduanya.
Sementara itu, suara kikikan tertahan terdengar dari lorong lantai dua. Beberapa penghuni rumah pelisiran itu begitu penasaran dengan Lian dan perempuan yang dibawanya. Tanpa penghuni kamar itu sadari, dari luar suara mereka diasumsikan lain oleh para penghuni rumah bordil itu.
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro