🏵4. Lari🏵
Dayu buru-buru melepas kebaya dan jariknya. Secepat kilat gadis itu mengenakan gaun yang asal diambil dari dalam lemari. Ditariknya koper yang ada di atas lemari, mengisi ruang kosongnya dengan beberapa lembar baju dan buku-buku. Alih-alih menata rapi, dia hanya mengambrukkan sembarang ke dalam.
Mata Dayu masih jelalatan memeriksa pintu kamar yang tertutup. Sedang telinganya terpasang menangkap gelombang bunyi di balik pintu. Kedua tangan Dayu secara cepat memindahkan pakaian dan buku ke dalam koper. Kemudian ia menutup paksa koper dengan bantuan satu lutut dan tekanan kedua tangan lalu melemparkan melalui jendela.
Dentuman keras terdengar. Beruntung di luar suasana lebih riuh sehingga bunyi itu tak mereka hiraukan. Dayu menaiki kursi lalu beralih ke meja yang ada di sisi jendela. Jendela itu tinggi tanpa teralis. Suatu keuntungan bagi Dayu untuk melarikan diri.
Dayu melangkah ambang jendela. Ia tidak memedulikan keributan yang dibuat Dai Nippon. Beberapa teman laki-lakinya sepertinya berusaha menghalangi para Kempetai, karena sempat terdengar baku hantam di luar. Dayu merasa dirinya harus segera keluar sebelum diseret dan dijadikan umpan agar kakak dan kekasihnya keluar dari persembunyian.
Separuh kaki Dayu yang berbalut sepatu tanpa hak, sudah melalui ambang jendela bagian luar. Pandangannya berkunang. Jarak jendela ke tanah cukup tinggi. Dayu memperkirakan tingginya sekitar 2 meter. Dadanya sekarang naik turun. Detak jantung Dayu terpacu. Adrenalinnya berproduksi kencang. Namun, suara-suara itu semakin mendekat sehingga dia harus melompat sekarang sebelum tentara Jepang menangkapnya.
Dayu memperkirakan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi saat melompat. Bisa jadi dia akan terjatuh dan mengalami fracture* atau kalau Dayu beruntung, vulnus laceratum* akan menjadi diagnosa lukanya.
Ah, Dayu! Ini bukan saatnya membuat diagnosa! Sekarang kamu harus lompat!
Dayu melangkahkan satu kaki yang masih berada di dalam. Sekarang kedua kakinya menggantung di ambang pintu. Duduk di tepian jendela.
Dalam hati, Dayu menghitung mundur dari hitungan ketiga. Ia akhirnya melompat, terbang di udara tertarik oleh gravitasi bumi. Angin kencang melambaikan roknya, membuat gaun yang dikenakan mekar memperlihatkan paha yang berkulit eksotis.
Ketidakyakinan Dayu melompat membuatnya tidak mampu mendarat dengan cantik. Tubuhnya terjerembab, bergulung di lantai berlumut. Sikunya lecet. Kulitnya terkelupas tanpa darah, memperlihatkan daging putih. Sebuah luka yang paling dibenci Dayu.
Dayu merintih kesakitan. Ia menepuk sekitar luka dan meniupnya untuk menghilangkan kotoran yang melekat. Namun, itu tak lama. Suara keras beberapa meter di dekatnya membuat Dayu harus menyambar tangkai koper, dan bangkit berlari keluar dari kompleks Ika Daigaku melalui jalur belakang. Beban koper yang berat tak dihiraukan. Yang diperlukan hanya lari dan lari. Terus berlari!
Dayu mengasah kewaspadaannya. Bola matanya berkeliling mencari celah aman untuk bisa keluar dari tempat itu. Dayu mengendap seperti pencuri yang hendak ditangkap untuk menghindari tentara Jepang sudah penuh di sekitar area Ika Daigaku.
Gadis itu bersembunyi di balik dinding lembab bangunan yang membuat punggung bajunya kotor. Begitu menemukan kesempatan emas, Dayu menyeruak lari keluar melalui gerbang belakang. Ia berlari sekencang-kencangnya dengan sebuah koper di tangan.
Dayu ingin menangis. Namun, air matanya tak mampu lagi keluar. Ketakutan menghantui. Seperti dikejar setan, Dayu melangkahkan kaki pendeknya bergantian dengan cepat. Derapnya tak punya tujuan. Hanya keluar dari gedung itu yang ada di pikirannya. Sampai akhirnya tubuh kecilnya lelah.
Dayu membungkukkan badan. Tangannya yang masih menggenggam gagang koper menyangga lengkungan tubuh. Ia mengatur napas yang terengah sambil berusaha memikirkan kenapa ia hendak pergi. Hari semakin sore dan malam akan menjelang, tidak mungkin dia menunggu di jalan. Dia tidak tahu di mana lelaki beretnis China tadi tinggal.
Aku akan ke stasiun. Menunggu di sana ...
Hanya itu yang bisa dipikirkannya. Dayu berjalan pelan ke stasiun. Jarak yang cukup jauh dari tempatnya sekarang berdiri sekarang. Kaki pendeknya bahkan mulai mengeluh dengan memberikan sinyal rasa nyeri di betisnya.
Dayu mendesah. Bukankah ini yang dia mau? Bertahan sendiri demi menolak pernikahan bodoh? Dan ternyata Dayu baru menyadari, apa yang dialami baru saja sungguh menakutkan. Suasana mencekam dalam pelarian membuat kuduknya berdiri.
Apakah ini yang dialami Mas Daru dan Mas Yudha? Berlari tak tentu arah saat menjadi obyek yang diburu? Mereka pasti merasa tak aman dan was-was setiap waktu.
Dayu akhirnya menyadari kenapa Daru memutuskan nasibnya tanpa bertanya apapun kepada Dayu. Sang kayak begitu saja menentukan Dayu menikah dengan anak laki-laki keluarga Yu. Pasti Daru tidak ingin Dayu mengalami hal yang sama dengannya. Hidup dalam pelarian. Hidup dalam kecemasan dan rasa was-was.
Hampir dua jam Dayu berjalan, dan akhirnya tiba di depan stasiun kota. Gadis itu duduk di tepi trotoar. Maghrib akan menjelang. Suara azan sebentar lagi berkumandang, mengajak para pemeluk berdoa pada penciptanya. Tak lama berselang, panggilan beribadah itu terdengar menemani kesendiriannya. Setidaknya Dayu merasa bahwa dirinya tak sendiri. Tuhan yang menciptakannya pasti akan menjaga dan melindungi. Suatu keyakinan yang selalu menancap di batin Dayu.
Dayu mengenang kembali masa indahnya bersama sang ayah. Salah satu nasihat Romo yang selalu diingat Dayu. "Jangan berharap pada manusia. Berharaplah pada Yang Kuasa. Ketuklah dan pintu akan dibukakan bagimu."
Romo, Sibu, Mas Daru, Dayu takut.
Dayu menekuk lututnya dan mendekap erat seolah ingin menenggelamkan tubuh. Sekuat tenaga ia ingin membuat keberadaannya tak kasat mata. Kegelisahan pun mulai menyelimuti Dayu, sehingga kebiasaan menggigit-gigit kuku muncul lagi. Kakinya bergetar seirama dengan degup jantungnya. Suatu respon tubuh yang tak disadari otak gadis itu..
"Kamu!" Seorang tentara Jepang mengangkat lengannya paksa, membuat tubuh Dayu terangkat separuh. Dayu terkejut. Tentara itu dengan kasar memperlakukannya.
Mati aku! Habis nasibku!
Dayu merutuki dirinya sendiri. Duduk di tepi jalan ternyata bukan ide yang bagus. Kini ia tertangkap tentara Jepang yang memandangi dengan tatapan nafsu liar seperti hendak memangsanya hidup-hidup.
"Lepaskan!!" Mata Dayu membulat. Suatu ciri khas Dayu. Harga dirinya yang tinggi sebagai putri penguasa wilayah kewedanan membuat Dayu melawan tentara Jepang itu.
"Kamu cantik sekali, Nona. Kulitmu sungguh eksotis sewarna tembaga." Tentara itu membelai pipi Dayu. Gadis itu bergidik dan spontan meludahi tentara itu tepat di wajah kuningnya.
Pria itu mengumpat, menyeka wajahnya yang dihujani saliva perempuan pribumi itu.
"Kurang a—"
Saat tangannya terangkat hendak menempeleng Dayu, kepala Dayu beringsut. Dayu ngeri melihat telapak tangan itu akan mendarat di pipinya. Dayu memejam kuat. Namun kekhawatirannya tak kunjung terjadi.
Dayu membuka mata perlahan. Seketika bola matanya membulat saat melihat penampakan di depannya.
Yu Lian?
Pemuda itu mencengkeram tangan tentara itu. Saking kuatnya wajah Lian memerah. Gigi atas bawah beradu dan urat di pelipisnya berkedut ketika seluruh tenaganya mengalir ke lengan. Lelaki Jepang itu kewalahan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh Lian.
"Lepaskan gadis itu!!" Kelopak mata sipitnya membelalak, memberikan tatapan tajam kepada tentara Dai Nippon.
Tentara itu meringis dan perlahan melepas lengan Dayu. Begitu cengkeraman di tangan tentara Jepang itu melonggar, ia menepis tangan Lian. Dengan pandangan geram dan meludah ke tanah, tentara itu pergi meninggalkan mereka.
Dayu mengelus lengan, sambil merintih tertahan. Lian masih memandang punggung tentara yang berlalu dari mereka sampai benar-benar tak terlihat. Baru setelahnya, Lian memperhatikan gadis yang ada di sampingnya..
"Kenapa kamu disini?" tanya Lian ketus dengan alis mengkerut.
"Suka-suka aku mau dimana," ujar Dayu masih dengan sikap arogan yang tak mau dikasihani. Lian tersenyum miring. Di saat seperti ini, gadis di depannya masih mempertahankan gengsinya.
"Baiklah. Aku juga tidak mau tahu," ucap Lian sambil lalu.
Namun, buru-buru Dayu meraih kain lengan kemeja lelaki itu. Gadis itu bahkan mencengkeramnya kuat. Lian tersenyum tertahan. Dayu terlalu angkuh mengakui bahwa dia membutuhkan bantuan.
"Tunggu!" seru Dayu.
"Bukankah kamu bilang kamu bisa menjaga dirimu?" sindir Lian.
"Aku bisa jaga diri. Kebetulan saja kamu lewat," kilah Dayu.
Lian berbalik, menunduk mengambil koper Dayu.
"Ayo, ikut aku, Nona Angkuh!"
Dayu membelalak saat mendengar dirinya disebut 'Nona Angkuh'. "Siapa yang kamu bilang angkuh? Aku bisa jaga diri. Hei, jangan merasa kamu kubutuhkan ya? Mimpi saja sendiri!! Aku tidak meminta bantuanmu! Aku hanya mau bertanya dimana penginapan!" Omelan tanpa jeda dalam satu tarikan napas itu menggelitik pendengaran Lian.
Pria itu berhenti mendadak. Membuat Dayu yang berjalan di belakangnya menabrak punggung kekar Lian.
"Kenapa kamu berhenti mendadak?" sergah Dayu jengkel.
Lian memutar tubuh seratus delapan puluh derajat menghadap Dayu yang meringis memegang siku kanannya.
Lian menarik lengan Dayu, memutarnya, lalu menundukkan badan tingginya. Matanya memicing mengamati luka gesek di sikunya yang membuat daging tersingkap. Dayu berusaha menarik lengannya, tetapi tenaga Lian cukup kuat menahan.
"Dalam keadaan seperti ini kamu masih bisa mengomel." Lian menggelengkan kepala. Ekspresinya tak dapat dimaknai Dayu. "Ayo, kita obati lukamu sebelum lukamu menjadi parah."
Lian melepaskan lengan Dayu dan melanjutkan perjalanannya. Dayu sedikit lega, paling tidak di saat genting Tuhan mengirimkan penyelamat.
Tuhan mengirimkan penyelamat?
Dayu menggeleng-geleng tak jelas, berusaha menepis pikiran aneh yang menyusup di nalarnya. Selama berjalan mengekori Lian, otak gadis itu tidak berhenti menimbang-nimbang.
Jangan sampai aku mati konyol menunggu Tuhan yang datang menyelamatkanku. Tangan Tuhan bisa datang melalui malaikat tak bersayap.
Tak dipungkiri Dayu, malaikat tak bersayap itu adalah Yu Lian. Walau Dayu berusaha menyangkal tetapi logikanya tetap sama. Bila ingin selamat, harus menerima tawaran Lian.
Setelah hampir satu jam mereka berjalan, Lian lagi-lagi berhenti begitu saja. Membuat Dayu hampir menabraknya lagi. Sebelum gadis itu mengomel, Lian berbalik. "Kita sudah sampai."
Dayu terperangah. Di samping kirinya, tepat di mana dia berdiri adalah rumah pelisiran. Dayu melongok ke atas, sebuah papan nama dengan huruf kanji tertera di situ. Yang Dayu tahu, rumah itu sejenis rumah bordil, yang sering orang sebut sebagai 'Rumah Bahagia'.
"Sampai?" Dayu mengernyitkan alis tak paham.
Lian tidak menjawab. Ia hanya masuk begitu saja membawa koper Dayu. Dayu pun segera mempercepat langkah, mengejar lelaki itu.
"Kenapa kita kemari?" desis Dayu melotot lebar, hingga Lian mengira bola mata itu bisa keluar dari lubangnya.
"Aku menginap di sini, sebelum kita besok berangkat," jawab Lian singkat.
"Apa? Kau anggap aku ini wanita apa? Aku ini dok—" Lian mengeluarkan sapu tangannya menyumpal mulut Dayu yang tak henti-henti menyerocos.
"Makan gelar doktermu! Sekarang kita disini. Kalau t idak mau, silakan pergi!" Sesudah berkata begitu, Lian berjalan menyusur tangga kayu.
Dayu menyemburkan sapu tangan itu. Namun ketika hendak membuangnya karena kesal, tangannya menyadari bahwa sapu tangan itu bukan sapu tangan biasa.
"Sutra?" Dayu mendecih. Keinginan membuang dan menginjak sapu tangan itu diurungkannya. "Kali ini kamu kumaafkan Lian..tidak ada besok lagi!"
Dayu berlari kecil mengikuti Lian yang masih menenteng bawaannya. Bola matanya masih mengarah pada sosok punggung kekar lelaki itu. Begitu sampai di depan pintu kamar yang berada tak jauh dari tangga, Lian membuka pintu kayu dan kemudian masuk. Kaki Dayu mandeg sampai di ambang pintu. Ragu untuk melangkah.
"Masuklah! Ini kamar kita," kata Lian.
"Tapi ...."
"Tenang. Aku tidak akan berbuat macam-macam denganmu."
Kalimat itu menjadi jaminan Dayu merasa aman sehingga dia masuk ke dalam kamar. Ruangan itu berinterior khas China. Satu dipan dengan kelambu merah berada di sisi dinding. Dii tengah ruang ada kursi dan meja yang diletakkan teko kecil dan beberapa gelas tertelungkup.
Dayu duduk di kursi dengan canggung. Sementara Lian menurunkan bawaannya di sisi dinding kayu kamar itu.
"Kenapa kamu keluar dengan keadaan seperti ini?" tanya Lian. Melihat tampilan kusut Dayu, bisa dipastikan bahwa kepergiannya mendadak dan tak terencana.
"Dai Nippon mencariku."
Lian mendengkus. "Jadi apa rencanamu?" Lian terlihat sibuk mengobok-obok tasnya. Tidak tahu apa yang dicari. Dayu hanya diam.
Lelaki itu lalu berdiri dengan sebuah wadah keramik kecil di tangannya. Ia letakkan wadah itu di atas meja lalu mengambil baskom yang bertengger di sebuah sandaran besi. Kemudian ia mengangkatnya dan menaruh di atas meja.
"Kemarikan lukamu," ujar Lian sambil menarik kursi untuk duduk lebih dekat di samping Dayu.
Dayu tak merespon.
Lian terpaksa harus memutar tubuh Dayu sehingga tubuh gadis itu berhadapan dengannya. Ditariknya lengan kanan Dayu yang luka lecet. "Katamu kamu dokter, kenapa kamu diam saja mendapati lukamu terbuka seperti ini? Bisa-bisa lukamu infeksi."
Dayu mendecih tak senang. Sekarang dia merasa sebagai pasien. Dayu hendak menarik tangannya tetapi lagi-lagi ditahan oleh Lian.
"Aku bersihkan—"
"Aku dokter, aku bisa—" Namun, ucapan Dayu buru-buru diputus oleh Lian.
"Dokter juga membutuhkan dokter. Dokter yang tidak membutuhkan teman sejawatnya hanyalah dokter hewan!"
"Kamu dokter?" Alis Dayu mengkerut penuh tanda tanya.
"Bisa dibilang begitu. Ayahku adalah ahli pengobatan medis timur." Lian menyeka luka terbuka di siku Dayu, membuat gadis itu meringis menahan perih.
"Kamu juga?" tanya Dayu dengan nada penasaran yang berusaha ditahan.
Lian tak menjawab. Namun Dayu menyimpulkan bahwa ayah dan anak keluarga Yu itu seprofesi.
Saat Lian mengoleskan ramuan dalam wadah itu, rasa perih dan panas membakar lukanya. Dayu mencengkeram kuat lengan Lian. Namun, ia sungguh heran karena ekspresi Lian sungguh datar. Tak mencerminkan empati pada sang pasien.
Kalau muka kamu datar begini bagaimana usaha pengobatanmu laku. Pelangganmu pasti akan kabur semua!
Saat jarak kepala Lian hanya sejengkal dari wajah Dayu, gadis itu bisa lebih jelas mengamati setiap inchi lekuk wajah Lian. Dalam hati, gadis itu membenarkan perkataan Melati.
Lelaki ini mempunyai cranium yang langka!
💕Dee_ane💕💕
Nb:
Fracture =patah
Vulnus laceratum = luka sobek
Cranium = tengkorak
Mau seri hisfic romance indonesia yang lain?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro