Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵3. Terjepit🏵

"Kenapa Tuan tertawa?" tanya Dayu tak suka. Wajahnya mendongak penuh harga diri yang tinggi. Melihat Lian yang tertawa lepas, bahkan sampai memegang perutnya membuat Dayu berang. "Saya pergi!"

Ancaman itu membuat Lian buru-buru meloncat turun dari dinding rendah serambi bangunan khas arsitektur Belanda. Serambi itu memanjang dengan deretan ruang berpintu tinggi. Dengan sekali langkah kaki panjang, dan badan agak membungkuk, tangan Lian berhasil menggapai pergelangan tangan Dayu sehingga gadis itu berbalik menghadapnya.

Lian mengulum senyum. Ia melipat bibir merah ke dalam karena menahan geli melihat penampilan Dayu yang belepotan, persis orang gila di Pasar Gedhe yang sering menggodanya. Penampakan Dayu seakan menjadi penawar bagi wajah datar lelaki itu. Terlebih bulu mata hitam Dayu mencetak garis-garis di kelopak mata bawah, membuat matanya menghitam seperti panda, di bagian kanannya.

"Ada apa tertawa seperti itu?" Dayu memicing. Dagunya naik dan kedua lengannya terlipat di depan dada. Sikapnya yang tampak tak senang seperti menantang berkelahi. Dayu paling tak suka ditertawakan tanpa tahu apa yang sebenarnya lucu untuk ditertawakan.

Lian mengusap air mata karena geli tak tertahan melihat pemandangan aneh di depannya. Gadis ini masih saja bersikap pongah sesudah mendapati kabar buruk tentang romo, kakak, dan tunangannya. Coba saja kalau gadis itu sadar, dia pasti tidak akan searogan itu. Mungkin setelah tahu, dia ingin lenyap ditelan bumi karena malu.

Lian lalu merogoh sesuatu dari saku kanan celana sambil menggelengkan kepala sambil berpikir mungkin saja gadis itu dalam tahap penolakan. Mengingkari apa yang terjadi dan bersikap seolah tak ada apa-apa.

Saat menemukan selembar sapu tangan, Lian mengibaskan ujung benda itu dengan satu tangan, membuat kain itu berkibar. Pelan-pelan Lian mengulurkan tangannya di wajah Dayu. Namun, gadis itu justru memundurkan langkah menghindar.

"Tuan mau apa?' sergah Dayu masih dengan nada tinggi. Bola mata hitamnya semakin membesar.

"Wajahmu seperti panda," ucap Lian tetap memajukan langkahnya. Lelaki itu masih menahan kikikan menyembur.

Lian menghirup udara dalam-dalam. Tangan kirinya menahan dagu Dayu agar tetap mendongak. Badan Lian yang tinggi membuatnya harus membungkuk lebih rendah ketika mengusap mata Dayu yang menghitam.

Dayu memejam mata erat sambil memegang lengan kanan Lian yang kokoh. Usapan Lian begitu lembut berbanding terbalik dengan otot kasarnya, seperti seorang dokter yang mengobati luka pasiennya. Sapuannya ringan, tapi berhasil mengangkat kotoran tanpa menyakiti Dayu.

"Ini." Lian menunjukan noda yang tertoreh di ujung sapu tangannya tepat di depan mata Dayu.

Kedua bola mata gadis itu bersatu di tengah bak orang juling. Dayu memundurkan obyek yang ada di depannya, sehingga matanya bisa menangkap bayangan lebih sempurna. Gadis itu menangkap warna hitam legam di ujung sapu tangan biru muda itu. Ia mengerutkan alis, mengingat kenapa bisa ada noda seperti itu. Dayu teringat, Melati menyarankan menggunakan sesuatu yang membuat bulu matanya kaku. Warnanya hitam pekat. Kata Melati bila memakainya akan membuat bulu mata lentik. Cake Mascara, begitu yang tertulis di kaleng kotak itu.

Dayu menyesal mengiyakan saja saran Melati. Ia yang tak pernah berpoles lupa untuk berhati-hati memperlakukan matanya. Parahnya saat mata Dayu kemasukan debu, dengan santai ia mengusap, bahkan menggosok kasar. Membuat warna pekat itu menempel tak jelas di sekitar matanya sehingga Dayu menjadi bahan tertawaan lelaki asing yang bermata sipit.

Sialan, Melati! Kamu membuatku malu. Pasti ini karena benda sialan itu!

Pipi Dayu merona. Dia berbalik, berusaha memperbaiki tampilan wajah yang sebenarnya sudah Lian bersihkan seluruhnya. Dengan gengsi yang tinggi seolah tak terjadi apapun, Dayu memutar tubuhnya.

Sungguh takjub Lian melihat kepercayaan diri Dayu. Kejadian memalukan yang tak hanya sekali tetapi dua kali terjadi dalam kurun waktu yang tidak lama berselang, tak menggoyahkan mental gadis itu. Mungkin kalau perempuan lain, mereka akan lari atau menangis karena malu.

Gadis itu berdeham mengatur getaran pita suaranya. "Jadi, Tuan mau bicara apa?"

Lian menarik bibir. Wajah datar yang beberapa saat dia lihat tadi, hilang entah kemana. Dalam hati Dayu bertanya-tanya, kalau masih bisa tersenyum, kenapa dia harus memasang muka datar dan dingin seperti tembok lembab?

"Kita cari tempat duduk yang nyaman dulu. Aku lelah berdiri." Lian berjalan lebih dahulu, diikuti Dayu dari belakang.

Di bawah sebuah pohon akasia yang rindang, ada sebuah tempat duduk dari besi yang beraksen. Warna cat pada besinya sudah memudar. Dedaunannya mampu menjadi payung mereka di siang hari yang terik. Lian berharap, oksigen hasil fotosintesis mampu membantu menjernihkan otak masing-masing yang penat.

"Ada apa?" Dayu duduk dengan kasar di sebelah Lian yang kali ini wajahnya sudah kembali tanpa ekspresi.

Cepat sekali berubahnya. Seperti bunglon saja, pikir Dayu.

"Aku tidak tahu apa yang ada di dalam suratmu, tapi Daru yang dalam pelarian, meminta tolong padaku untuk menikahimu," kata Lian membuka suara.

Dayu mendengkus. Sudut bibir kirinya naik beberapa mili ke atas, menunjukkan rasa tidak setuju. "Asal Tuan tahu! Saya sudah punya tunangan!" tandas Dayu, " Ini ... kain jarik ini adalah pemberian Mas Yudha saat melamar saya. Seperti pola semen rante ini, cinta kami tidak pernah bisa dipisahkan!" Dayu mengacungkan telunjuknya ke jarik yang dikenakan.

Kali ini Lian tak dapat menyembunyikan tawa. Dayu pun semakin gusar mendengarnya. "Kamu ini! Romomu meninggal, Mas Daru-mu yang dalam pelarian mati-matian memikirkan cara agar dirimu bisa hidup. Sedangkan kamu dengan enaknya mengatakan 'cinta kami tidak pernah bisa dipisahkan'." Lian menirukan suara cempreng dan gerakan Dayu saat mengulangi kalimatnya.

Rahang Dayu mengerat dengan mata membulat karena merasa tersinggung dengan gerakan Lian yang berlebihan.

"Persetan dengan cinta kalian! Kamu tidak tahu bagaimana rasanya Daru yang memikirkanmu, berusaha agar keselamatanmu terjaga!" tambah Lian dengan nada tegas.

"Lantas saya harus menyetujui menikah dengan orang yang tidak saya cintai? Bukan! Bagaimana saya bisa cinta, kenal pun tidak!" Mata Dayu mendelik menatap tajam wajah Lian.

"Kamu sudah mengenalku sekarang" kilah Lian.

"Kita baru sekali bertemu bagaimana saya mengenal Tuan."

Lian memutar tubuh, menghadap Dayu, lalu mengulurkan tangannya. "Kenalkan aku Lian. Yu Lian. Sekarang kamu sudah mengenalku."

"Bukan mengenal begini," desis Dayu geram. Giginya beradu membuat kertakan halus. Gadis itu menepis kasar tangan Lian cukup keras.

"Kamu keras kepala sekali!" Lian memperbaiki posisi duduk. Ia bersandar di sandaran kursi besi yang kokoh walau terlihat tua.

"Urusanku! Ini kepalaku! Mau aku kepala batu, otakku sekecil udang, tak ada urusannya dengan kamu!" Dayu memalingkan wajahnya, melupakan berbahasa yang sopan. Ia memilih menatap lurus ke depan.

"Aku hanya ingin menyelamatkan satu nyawa. Itu saja. Kalau yang ingin aku selamatkan menolak, itu urusanmu!" Lian berdiri, menggendong kembali ranselnya dan menjinjing jas. "Aku menginap di Kalijodo. Kamu bisa temui aku di sana atau besok di stasiun pukul 8 bila kamu berubah pikiran," kata Lian sebelum berlalu.

Dayu tak ingin memandang lelaki itu. Dia membiarkan punggung Lian menjauh. Di hatinya hanya ada satu nama : Yudha Satria. Pemuda lulusan Ika Daigaku yang menggetarkan hatinya.

Namun, otak Dayu kemudian mencerna keadaan. Bagaimana bisa Yudha menjadi buronan? Dayu tak pernah tahu tunangannya ikut dalam suatu pergerakan bawah tanah. Yudha merupakan tipe orang yang selalu mengambil jalan aman dan cinta kedamaian. Bahkan Yudha selalu menghindari untuk berkelahi.

Tidak! Aku tidak mau menikah dengan lelaki selain Mas Yudha. Aku bisa menjaga diri. Lagi pula aku seorang dokter.

Otak Dayu kacau. Pikirannya ruwet, seruwet benang kusut yang susah terurai. Untuk menemukan ujung pangkalnya saja Dayu tak mampu. Dia mendesah. Kala seperti ini, dia merindukan Romonya yang akan selalu menasihati.

Romo, Dayu kedah pripun? Saya harus bagaimana mana, Romo?

Dayu histeris. Terlalu banyak informasi yang harus diterima otaknya siang ini. Dalam satu waktu, semua direnggut darinya. Ia tiba-tiba menjadi sebatang kara, tanpa tempat bersandar. Keluarga besarnya pun mengucilkan keluarga Sastrodikromo. Bahkan sekarang Dayu tidak ada tempat untuk pulang. Tanpa terasa sebutir air menyelinap keluar dari kelopak matanya. Isakan Dayu semakin lama terdengar keras.

Dari jauh Lian masih mampu menangkap jeritan gadis yang sedianya hendak menjadi istrinya. Tangannya mengepal. Lian hafal jeritan putus asa itu, karena dia pernah mengalaminya.

Maaf, Daru. Tapi itu pilihan adikmu sendiri. Aku sudah berusaha sekuat tenaga.

***

Dayu menguras emosinya saat itu juga. Ia tidak ingin masalahnya diketahui orang lain. Dayu benci dikasihani. Menangis baginya sekarang adalah obat untuk mengurangi beban di hati. Selanjutnya Dayu harus berpikir apa yang akan dia lakukan setelahnya.

Dayu lantas bergegas pulang ke asrama untuk menata beberapa barang, karena dalam beberapa hari mereka akan meninggalkan tempat itu. Pikiran Dayu melayang selama perjalanan menuju asrama. Sandal yang terseret dari langkahnya, membuat gesekan dan alur jejak garis sejajar. Tangannya tak mau diam membelai dedaunan yang ada di sisi kiri.

Dalam hati Dayu membenarkan kata Lian. Sekeras apapun tangisnya, itu tidak akan membalikkan keadaan. Dayu tetap saja yatim piatu, dan mempunyai kakak yang seorang pemberontak.

Mantap betul nasibmu, Dayu! Dayu tersenyum sinis menertawakan takdirnya. Hempasan gelombang yang dalam sekali waktu membalikkan keadaan, menjadikannya terpuruk. Beban itu terasa berat dipikulnya. Dayu, bertahanlah! Kalau tidak, kamu akan gila!

Dayu memasuki pintu utama asrama. Bangunan ini terdiri dari beberapa kamar dan kebanyakan diisi oleh mahasiswa Ika Daigaku laki-laki. Karena dalam angkatannya hanya Dayu dan Melati saja yang perempuan, maka Dayu selama beberapa tahun sekolah, tinggal sekamar dengan Melati. Saat Dayu masuk ke kamar, Melati sudah sibuk menata barang-barang.

"Bagaimana pembicaraan dengan laki-laki itu?" Melati menyambar Dayu dengan pertanyaan begitu dia membuka pintu.

Dayu terlihat lesu dengan mata yang sembap. "Aku harus bagaimana, Ti?" keluh Dayu yang berjalan tanpa semangat ke tepi ranjangnya. Gadis itu duduk dengan tatapan kosong.

Melati menghentikan aktivitasnya. Perempuan itu menyebelahi Dayu untuk mendengar cerita sahabatnya. Ia lalu mengembalikan surat yang tadi terbang.

"Maaf, aku membacanya." Melati menarik tangan Dayu, menengadahkan telapak tangan gadis itu dan menaruh secarik kertas kumal itu di permukaannya. "Tapi, sepertinya keadaanmu sedang terancam bila tidak menuruti kakakmu. Aku mengenal Mas Daru walau sekilas. Dia tidak mungkin bermain-main dengan nasib adiknya."

Dayu mengembuskan napas panjang, seolah ingin mengeluarkan ganjalan yang membuat sesak. "Aku tidak bisa mengkhianati Mas Yudha. Mas Yudha belum mati. Dia hanya bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk menjemputku!"

"Dayu, sebelum kamu dijemput Mas Yudha, mungkin kamu tinggal nama. Datanglah besok ke stasiun kota. Pergilah ke Soerabaja." Dayu menghambur memeluk sahabatnya. Batinnya tertekan, memutuskan apa yang tepat untuk dirinya. "Yu, aku mungkin tidak mengalami apa yang kamu alami. Tapi aku mendukung apapun keputusanmu!" ujar Melati, mengelus naik turun punggung yang bergetar.

"Aku tahu. Kamu akan selalu mendukungku."

Di saat kedua gadis itu sedang berpelukan, dari luar terdengar huru-hara yang memekakkan telinga. Melati mengurai pelukan. Keduanya saling berpandang dan memasang telinga.

"Apa yang terjadi di luar?" bisik Dayu.

"Kamu disini. Jangan keluar. Firasatku tidak enak." Melati lantas keluar dan meninggalkan Dayu sendiri dalam kamar.

Dayu hanya mondar-mandir seperti setrika arang yang hendak melicinkan kain di dalam kamar. Ia hanya bisa menggigit kuku jari jempolnya sambil mengumpulkan nalar bila kekhawatirannya terjadi.

Gadis itu menghampiri daun pintu dan menempelkan telinganya untuk menangkap suara di luar. Mata Dayu membesar saat mendengar seseorang berbicara dengan logat bahasa Melayu yang aneh.

"Kami mencari Dewi Andayu, Putri Wedana Sastrodikromo."

Telinga Dayu terasa panas saat mendengar suara lamat-lamat itu. Rangkaian kata yang didengar itu dipersepsikan otaknya sebagai tanda bahaya.

"Gawat! Aku harus lari!"

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro