🌼21. Alot🌼
Hai, Deers, sapa yang menanti Koko Lian n Mbakyu Dayu? Jangan lupa komen dan kasih vote ya?
🌼Happy reading🌼
Dayu membanting pintu kamar mandi. Dia urung masuk ke bilik itu. Sungguh menjengkelkan pagi-pagi sudah disuguhi pemandangan tak senonoh. Bagaimana bisa Lian begitu ceroboh, dengan santainya berkemih tanpa menutup pintu. Melihat ekspresi penghayatan lelaki itu, pipi Dayu pun memerah dan terasa panas.
Teriakan Dayu dan bantingan pintu membuat Lian yang sedang asyik mengeluarkan air seninya terlonjak. Siapa yang tidak lega bila urine dalam kandung kemihnya terkuras habis. Dan kenikmatan mengeluarkan urinenya terganggu berkat ulah histeria Dayu. Lelaki itu pun buru-buru menyudahi aktivitasnya, mengguyur dan mencuci tangan.
Dengan mata memicing tajam, Lian keluar dari bilik untuk mengajari Dayu tata krama. Masa pagi-pagi sudah bikin ribut! Laki-laki Tionghoa itu lalu berhenti sejenak memeriksa apakah Dayu ada di sekitar situ, lalu memutuskan mencarinya di kamar.
Di dalam senthong, Dayu duduk di tepi ranjang dengan wajah yang terlipat saat Lian masuk. Lelaki itu menutup pintunya perlahan untuk meredam suara mereka agar tidak didengar sang ayah.
"Dayu, hentikan kebiasaanmu berteriak. Kami bisa jantungan bila kamu selalu seperti itu!" sergah Lian.
"Tolong ya, kebiasaanmu di dalam kamar mandi tanpa mengunci pintu itu diubah! Di sini ada perempuan!" balas Dayu.
"Kamu istriku." Lian tak terima.
"Aku tidak suka." Dayu bersedekap. Bibirnya maju dan wajahnya terlipat.
"Kenapa?" Alis kiri Lian terangkat sebelah.
"Tidak suka ya tidak suka!" Dayu mendengus keras.
"Atau jangan-jangan kamu tergoda, ya?" Lian semakin menggoda Dayu.
Dayu melempar bantal tepat mengenai wajah Lian. Namun, reflek Lian yang sudah hafal dengan kebiasaan "tuan putri' melayangkan benda itu membuatnya sigap menangkap bantal.
"Jangan mimpi!" tandas Dayu.
"Tenang. Aku tidak akan menjamahmu!" Lian berjalan ke arah jendela dan membukanya. Angin pagi terasa begitu sejuk menyapa kulit mereka.
"Aku juga tidak sudi." Dayu tetap tak mau kalah.
Lian hanya bisa membuang napas dan tak ingin memperpanjang debat. "Dayu, nanti setelah makan siang aku akan menemanimu ke pasar. Kita akan membeli kutang dan celana dalam."
Mata Dayu membulat. Kenapa tiba-tiba membahas hal itu. Pipi Dayu memerah, teringat Lian yang mencuci pakaian dalamnya. "Aku juga tidak suka kamu mencuci bajuku!" seru Dayu.
Lian berbalik mendapati kulit eksotis Dayu yang merona. Lelaki itu pun tersenyum.
"Kenapa harus malu? Justru karena mencuci kemarin, aku jadi tahu bahwa pakaian dalam yang kamu bawa sudah rusak. Apa kata orang bila melihatnya? 'Yu Lian tidak memperhatikan istrinya, bahkan membeli kutang dan cela—'"
"Bisakah hal itu tidak dibahas? Sepertinya kita selalu membahas hal yang tidak penting." Dayu berdiri dengan gusar. Ia menyibak roknya seolah ingin menepis rasa malu pada pemuda itu.
"Bagiku ini penting. Karena aku akan menjaga dan memperhatikan kamu luar dalam seperti janjiku pada kakang masmu," kata Lian sambil menatap Dayu yang termenung.
Sejujurnya, hati Dayu mencelos, hingga ia memilih keluar dari kamar. Perhatian Lian sampai ke hal yang remeh membuat dadanya sesak. Sungguh Dayu tak terbiasa. Dayu takut menjadi perempuan lemah karena terlalu banyak bersandar pada lelaki itu. Dayu menyimpulkan, Yu Lian adalah sosok suami posesif dan sekaligus protektif.
Dayu tidak ingin diperlakukan sama dengan Ke Yi Jie atau Yi Yan Ni. Dayu adalah Dayu. Walau ia seorang tuan putri yang manja, tetapi pendidikannya di Ika Daigaku menempanya menjadi perempuan mandiri. Dayu tak ingin terlena.
Membuatku menjadi perempuan kuat? Alih-alih kuat aku bisa menjadi perempuan manja. Dayu mencebik membuat ekspresi berlebihan saat mengulang perkataan Lian dalam hatinya.
Apa hubungannya coba antara kutang rusak dan celana dalam molor dengan melindungi? Arrgggghhh! Yu Lian, njenengan terlalu ngadi-ngadi! Kamu memang selalu membahas hal tak penting! geram Dayu.
***
Selama hidup bersama keluarga Yu, entah kenapa, Dayu merasa, Lian selalu berhasil dengan sukses mempermalukan Dayu dengan semua tindakannya. Dayu berusaha mengenyahkan pikiran jengkel itu dan bersikap biasa, karena tak ingin membuat khawatir Baba Ji, mertuanya. Ia pun memilih mandi untuk menyegarkan rasa kesalnya. Sementara menanti Dayu mandi, Lian mempersiapkan tanaman herbal kering yang hendak dibawanya ke toko.
Begitu Dayu mandi, ia oun menyiapkan sarapan. Aroma sop menggugah selera Lian saat pot keramik besar dibuka dan gadis itu menata di atas meja makan. Lian sempat melihat sekilas isi dalam kuali bertutup yang membuat kehangatan sayur sop tetap awet.
Setelah menyiapkan semua menu makanan, Dayu memanggil anggota keluarga yang lain untuk sarapan.
"Fujin, Koko!" panggil Dayu masih menata mangkok dan sumpit mengelilingi meja.
Mata Lian berbinar saat mendengar panggilan makan layaknya anak kecil yang dipanggil pulang makan siang saat sedang asyik bermain. Lian pun segera menyelesaikan persiapannya cepat-cepat dan bergabung dengan Dayu di ruang makan. Sedang Baba Ji dengan pakaian tradisionalnya dari sutra keluar dari kamar sesudah Lian duduk.
Lian yang tak sabar, menyodorkan mangkoknya untuk diisi nasi oleh Dayu. Gadis itu mengisi masing-masing mangkuk dengan nasi, dan mengedarkan kepada ayah dan suaminya. Lian lalu membuka tutup mangkuk sayur yang membuat uap hangat mengebul dan menguarkan aroma rempah yang harum memenuhi ruangan. Lian pun tak sabar untuk mencicipi masakan Dayu.
Bisa juga 'tuan putri' ini masak. Pikir Lian sambil manggut-manggut.
Dengan mata berbinar, Lian menyendokkan sayur sop dengan isinya : wortel dan kol ke dalam sebuah mangkuk lainnya. Tak lupa Lian memancing daging ayam yang ada di dalamnya. Tiga potong daging ayam berhasil dijaringnya. Lian pun akhirnya memulai makan. Dijepitnya nasi dalam jepitan besar. Tak lupa dia mengambil potongan ayam dan mulai menggigitnya.
Saat gigi serinya beradu dengan daging ayam itu, alisnya berkerut. Ditariknya kuat daging ayam itu dengan sumpit tatkala giginya berniat memotong daging yang melekat pada tulangnya. Namun, daging itu tak juga terpotong, malah membuat daging itu terpental jauh, mengenai dahi Dayu.
Dayu mendongak, mendelik. Potongan paha ayam jatuh tepat di depannya. Seketika gadis itu menggeram.
"Dayu, kamu masak sop ayam apa sop karet? Ini kenapa dagingnya tidak bisa digigit?" protes Lian.
Mata Dayu membesar. Dia memang belum mencicipi sopnya, karena baru saja menyendokkan sop untuk sang ayah mertua.
"Karet?" Dayu mengernyit tak paham.
"Ini ... coba kamu makan!" Lian menyodorkan potongan ayam dan meletakkan di atas nasi. Dayu mengambil sumpit, dan menjepitnya. Namun, yang terjadi, usaha giginya merobek otot ayam yang berwarna putih itu tak membuahkan hasil.
Gadis itu tak mau menyerah. Dayu meletakkan sumpitnya, menarik potongan kecil itu dengan kuat. Tangan kanannya menarik ke arah kanan, sementara giginya menarik ke arah sebaliknya. Dayu pun meringis dan kepalanya menoleh ke kiri sempurna. Sementara dua pasang mata sipit di hadapannya, menunggu hasilnya.
Tapi, Nol.
Daging ayam itu begitu liat membuat gigi Dayu tak bisa mengoyak.
"Duh, Gusti! Kenapa ayam ini!" umpat Dayu memelototi potongan ayamnya. Dengan tenang, Baba Ji menjepit-jepit daging ayam yang berenang dalam kuah sop di mangkuknya.
"Kamu kurang lama merebusnya, Dayu. Ayam ini ayam yang sudah tua, makanya dagingnya lebih liat." Baba Ji menerangkan.
Hati Dayu mencelos. Raut kekecewaan terukir di wajahnya. Niatnya ingin membuat takjub dua lelaki di depannya pun kandas.
Kepala Dayu menunduk untuk menyembunyikan rasa malu. Lian yang melihat perubahan ekspresi Dayu, merasa tak enak karena sempat protes dengan jerih payah Dayu.
"Maaf …," ucap Dayu lirih.
"Eh, tidak apa-apa! Ini karena ayamnya saja yang terlalu tua! Bukan begitu Fujin?" hibur Lian cepat-cepat karena tak ingin disalahkan membuat sedih perempuan yang sudah berstatus sebagai istrinya.
"Iya, memang ayam jenis ini diperlukan waktu yang lebih lama saat memasaknya," ujar Baba Ji menambahkan, agar menantunya tak bersedih.
"Eh, untung kamu menggoreng tahu! Yuk, kita makan memakai tahu!" Lian menjepit tahu dan menaruhnya kembali di atas mangkuk Dayu.
Dari nada kedua pria di depannya, Dayu tahu mereka ingin menghiburnya. Tapi, justru membuat Dayu semakin merasa bersalah karena tak berguna.
"Maaf, maaf, maaf …." Dayu tak kuasa menahan air matanya dan terisak seperti anak kecil yang sedih ketika gagal dengan percobaannya.
Lian membelalak dan kebingungan dengan reaksi Dayu, yang menurutnya berlebihan. Lelaki itu lantas memandang sang ayah yang juga memandangnya. Baba Ji memberi kode pada Lian untuk menenangkan Dayu dengan gerakan dagunya. Lian mengangkat bahu dengan telapak menengadah, memasang ekspresi 'aku harus bagaimana? Kenapa dia menangis?'. Namun bola mata Baba Ji semakin melotot, sehingga Lian terpaksa mendekati Dayu yang sudah menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Lian menggeser posisi duduknya, duduk di sebelah Dayu. Dengan ragu-ragu dia menepuk punggungnya.
"Sudah. Ayamnya bisa direbus lagi!" ucap Lian canggung karena tatapan Baba Ji masih terpaku padanya.
"Trus kita makan apa?" Suara Dayu teredam oleh telapak tangannya.
"Tahu!" jawab ayah dan anak serentak.
Lian menurunkan tangan Dayu dan menarik dagu gadis itu sehingga wajah mereka saling berhadapan. "Dayu, terima kasih sudah menyajikan makanan ini untuk kami! Jangan bersedih! Menjadi seorang istri tidak harus sempurna. Kamu sudah memberikan yang terbaik untuk kami."
Entah angin apa yang membuat Lian bisa merangkai kata-kata manis itu. Mendengar cara bicaranya sendiri, Lian bergidik. Sementara itu, Baba Ji hanya tertegun mendapati bisa momong istrinya 'tuan putri'–nya.
Namun, dugaan Lian salah. Tiba-tiba di depan mata Lian langsung, Dayu menjulurkan lidahnya.
"Siapa yang sedih! Weeee, aku hanya tidak mau dimarahi saja!"
Lian melotot tajam, merasa tertipu!
"DAAYYUU!!"
"Satu sama, Ko! Hahahahaha!!!" Dayu tergelak keras, bahkan melupakan bahwa dirinya adalah putri bangsawan.
Lian pun menarik pipi Dayu keras dan kuat hingga gadis itu merintih kesakitan dan terpekik.
Melihat ulah sang anak dan menantunya, Baba Ji tergelak. Sungguh sarapan yang sangat riuh dengan hiburan drama komedi dari putra dan menantunya.
***
Dayu sengaja memperlambat geraknya, mulai dari membersihkan rumah, hingga ke pasar. Yang membuat Dayu kesal, kenapa laki-laki itu mau ikut membeli barang pribadinya. Lian bisa saja memberikan sejumlah uang sehingga Dayu membeli sendiri barang itu.
Ah, selalu dia berbuat semaunya dalam memutuskan apapun. Untuk apa pula dia ingin ikut membeli baju dalam. Apa dia juga akan memutuskan kutang dan celana dalam seperti apa yang akan kubeli?
Pipi Dayu tiba-tiba memerah saat membayangkan pria tampan yang menjadi suaminya itu ikut membeli pakaian pribadinya.
Begini inikah mempunyai suami? Hahhhh, aku sungguh tak terbiasa. Dayu memukul samping kepalanya merutuki kebodohannya sehingga peristiwa Lian mencuci bajunya sampai terjadi. Dayu, kamu memang menyebalkan!! Ceroboh!
Tetap saja Dayu mengantar makan siang ke toko walau dengan lesu. Jalannya lemas, tak bersemangat. Dalam perjalanan, ia mengutuki ulahnya yang selalu membuat malu diri sendiri dan mengumpat Lian yang selalu menertawakan kecerobohannya. Sungguh Dayu tak nyaman mendapati Lian yang terlalu perhatian luar dalam.
"Selamat siang," sapa Dayu saat masuk ke dalam toko. Suaranya lirih tak ada greget.
Lian hanya melongok sebentar dan melihat saat Dayu masuk dengan kepala tertunduk. Matanya menyipit teringat keisengan gadis itu. Dalam hati Lian bersyukur, Dayu mempunyai kepribadian yang ceria dan cenderung tidak peduli, sehingga gadis itu bisa bertahan dalam kondisi yang mungkin akan membuat tertekan bagi orang lain.
Bibir Dayu masih terkatup ketika ia sibuk menyiapkan makan siang bagi Baba Ji dan Lian. Paman Tan mempunyai toko baru di daerah Kapasan. Toko yang ditempati Baba Ji adalah toko milik Paman Tan yang diambil alih oleh Baba Ji. Jadi, hanya mereka berdua sekarang yang menjaga toko.
Saat pelanggan sudah sepi, mereka makan. Dayu gelisah, kalau-kalau Lian mengingat ucapannya tadi pagi. Namun, tak ada pembicaraan mengenai hal itu sedikit pun.
Syukurlah, dia lupa! Pasti dia hanya menggertakku saja!
Setelah Dayu membereskan alat makan dan bersiap pulang, Lian berseru kepada ayahnya. "Fujin, aku tinggal sebentar, ya? Aku mau antar Dayu ke pasar dulu!"
Baba Ji sedang sibuk menghitung pemasukan setengah hari ini dengan sempoa. Bibirnya komat-kamit setelah membaca buku kas sederhana sambil mengangguk-angguk menjawab seruan putranya.
"Kita mau kemana, Ko?" tanya Dayu sok lupa.
Lian tersenyum, tapi bagi Dayu tarikan bibirnya lebih pas disebut seringaian. "Membeli ... itu .." Alis mata Lian bergerak naik, seraya dagunya bergerak ke atas, menunjuk ke arah Dayu.
Dayu mencebik, memiringkan tubuhnya karena pandangan Lian yang membuatnya tak nyaman. "Biar aku sen—"
"Ayoo!!" potong Lian sambil menarik tangan Dayu.
Dayu menggeram kesal, tetapi tak kuasa dengan cengkeraman tangan Lian yang menguasai pergelangannya. Gadis itu pasrah mengikuti Lian yang mengambil sepedanya dan sudah memosisikan roda sepeda ke arah luar.
Lian menepuk boncengan sepedanya dan berseru, "Ayoo, Dayu! Bonceng di belakangku!"
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro