Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵20. Penyesuaian🏵

Hai, Deers, siapa yang menanti kisah Lian Dayu? Hohoho, slow apdet ya? Harap bersabar😘

💕💕💕

Lian benar-benar membuat Dayu terpesona. Wajah tampannya tak sia-sia digunakan sebagai pajangan. Keahlian memasak lelaki itu tak diragukan. Dari cara meracik bumbu, menarikan suthil, atau menaburkan garam, terlihat sungguh ... menawan bagi Dayu. Baru kali ini gadis bangsawan itu melihat dengan mata kepalanya sendiri, lelaki yang terlihat menyatu dengan dapur. Kemampuan Lian tak kalah dengan koki restoran terkenal di Djakarta. 

Malam ini mereka akan makan malam dengan menu sederhana—sayur tumis kangkung, telur dadar dan tahu goreng—yang disajikan nikmat oleh anak sulung keluarga Yu. Bersama nasi hangat, Dayu tak lupa membuat sambal korek—ulekan cabai dengan bawang putih—yang meningkatkan nafsu makannya. 

Dayu bersyukur, setidaknya mereka bisa makan nasi dengan sayur dan lauk pauk. Di daerah lain, ada yang kelaparan karena tidak mendapatkan beras yang langka karena semua panenan disetorkan kepada Dai Nippon.

"Kamu suka pedas, Dayu?" tanya Lian yang masih fokus membalik tahu di dalam penggorengan.

"Iya. Kenapa?" Tangan Dayu masih bergoyang menggilas cabai, garam, dan bawang putih di atas cobek batu. Beruntung di dapur ada cobek batu. Walau awalnya terlihat berjamur karena lama tak digunakan, setelah dicuci cobek itu masih bisa digunakan.

"Pantas, mulutmu pedas seperti cabai," ujar Lian membuat mata Dayu mendelik dan mencebik kesal.

"Ko, mulutmu itu bisa dikasih saringan? Kenapa bicaranya tidak enak didengar?"

"Bicaraku tidak mengandung pemanis. Sesuatu yang tidak enak itu biasanya menyehatkan. Contohnya jamu, pare," ucap Lian asal. "Kalau bicara terlalu manis, hati-hati terkena kencing manis."

Bibir Dayu semakin manyun, maju ke depan  beberapa centi. Lian mengulum senyum kemenangan mendapati reaksi Dayu.

"Tapi omongan Koko membuat hepatitis, hatiku bisa meradang!!"  Gadis itu selalu tak mau kalah dalam hal apapun. 

Lian terbahak. Bagaimana mungkin akhirnya mereka bercakap tentang diagnosa penyakit. Namun, hal itu terasa menyenangkan bagi Lian. Kapan lagi sebuah diagnosa menjadi bahan pembicaraan tidak berfaedah.

Dayu mendecih mendengar tawa Lian yang renyah. Sementara Baba Ji hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua anak muda itu. 

Setelah selesai membuat sambal, gadis itu membawa cobek ke meja makan. Ia juga menata sayur dan lauk hangat yang baru saja diangkat dari penggorengan. Hanya melihat saja sudah merangsang saliva Dayu keluar dan ingin segera mencicipi hasil masakan suaminya.

Perut Lian juga sudah keroncongan. Ia pun juga tak sabar ingin segera makan. Alis lelaki itu mengernyit ketika mendapati meja makan terlihat aneh. Tidak ada mangkok dan sumpit. 

"Dayu, ambilkan mangkok dan sumpit!" Lian meletakkan bakul berisi nasi yang mengepulkan uap.

Namun, Dayu menggelengkan kepala. Ia mengacungkan telunjuk lalu menggerakkan ke kanan kiri. "Tidak perlu. Hari ini kita makan ala inlander."

Lian mengernyit karena tak memahami maksud Dayu. Sedang sang ayah yang muncul dari dapur setelah memberesi daun herbalnya tak menimbrung obrolan mereka. Lelaki itu menikmati suara renyah Dayu yang berdebat dengan Lian, sehingga putra sulungnya yang irit bicara akhirnya mengeluarkan suara.

"Maksudmu?" tanya Lian.

"Kita makan pakai tangan?" Alis Lian semakin berkerut membentuk dua  guratan di pangkal hidungnya. "Cuci tanganmu. Aku akan mengajari cara makan wong ndeso."

"Tapi—"

"Sudah. Turuti istrimu. Dia rindu kampung halamannya. Hanya beda cara makan saja kalian berdebat panjang. Hasilnya kan sama saja, makanan ini masuk perut."

Lian mendengkus. Ayahnya sangat terlihat memihak menantu perempuannya. Bahkan Lian merasa seperti menjadi anak tiri. Bukan, lebih tepatnya seperti anak pungut di keluarga Yu. Ayahnya memperlakukan Dayu justru seperti memperlakukan Yan Ni. Seolah lelaki tua itu mendapatkan anak gadisnya kembali.

Namun tetap saja, Yu Lian menuruti perintah Dayu, istrinya. Dia bergegas mencuci tangan di bawah gentong pancuran yang ada di belakang dan bergabung duduk mengitari meja makan di mana Dayu serta ayahnya sudah di sana. Dayu mengambilkan nasi bagi ayahnya dan kemudian bagi Lian.

Mata Lian membelalak. "Banyak sekali? Kamu pikir lambungku tempayan?" Protes lelaki itu saat melihat nasi segunung di atas piringnya.

"Tuan Muda Yu, aku sudah memperhatikan makanmu selama beberapa hari ini. Nasi yang kuambilkan adalah ukuran makanmu selama ini. Kamu berkali-kali tambah nasi dengan mangkok kecil itu." Sambil menerangkan, Dayu menyendokkan sayur untuk mertuanya.

Lian menatap gunungan nasi di piringnya. Lian berpikir, betul juga kata Dayu, karena selama ini dia pasti menambah nasi 4-5 kali. Dia tak menyangka akan makan sebanyak itu.

Setelah mengucap syukur atas makanan yang tersaji, Dayu menyantap makanannya. Memang makan dengan tangan terasa sungguh menyenangkan, seperti kembali ke rumah.

Setiap suapan Dayu berisi helaian daun kangkung, potongan telur, tahu dan sambal. Keringat gadis itu mulai mengalir dan ingusnya meleleh. Ia mendongak menyeka peluh dan ingus dengan punggung tangannya. 

Gadis itu tiba-tiba menaikkan kedua alis. "Fuqin, Koko? Kalian tidak makan?" 

Baba Ji dan Lian tertegun melihat cara makan Dayu. Gadis itu seperti orang kelaparan yang tidak makan berhari-hari. Belum lagi cara makannya membuat pipinya menggelembung. Sungguh berbeda dengan Dayu biasanya. Orang yang tidak mengenal pasti tidak akan tahu kalau gadis itu seorang keturunan bangsawan Soerakarta.

Ayah dan anak itu saling memandang dan terkekeh bersama. Terlebih saat melihat Dayu yang kepedasan, hingga ingus beningnya mengalir ke bawah hidung. Gadis itu menyerot hidungnya, lalu mengelap dengan punggung tangannya lagi.

"Kenapa?" Dayu heran karena kedua lelaki di depannya tertawa tak jelas.

"Ha ya, kamu lucu, Dayu. Fuqin pikir seorang putri Soerakarta makan dengan anggun" ungkap Baba Ji. 

Dayu membulatkan mata dan menutup gerakan bibir dari samping kiri. "Cacingku sudah berontak minta disejahterakan," desis Dayu membuat Baba Ji terkekeh. Suaranya lirih seolah takut ada orang lain mendengar. "Kalau urusan lapar, mau bangsawan atau bukan, sama saja!! Ayo, makan! Enak sekali makan memakai tangan." Dayu mempersilakan dengan gerakan tangan seolah mereka tamu.

Lian tersenyum canggung dan pelan-pelan dia mengikuti gerakan Dayu. Ternyata makan memakai tangan sulit juga. Butiran nasinya sudah ambyar saat mau masuk dalam mulut. Gerakan Lian tertangkap ekor mata Dayu. 

"Ko, lihat ini!" Instruksi Dayu membuat Lian mendongakkan wajah pada gadis itu. 

"Tangkup nasi dengan lima jari dan dorong dengan jempolmu saat makanan di ambang mulut. Seperti ini." Dayu memperagakan, diikuti Lian. 

Mata lelaki itu berbinar setelah berhasil mengikuti apa yang diperintahkan Dayu. "Nah begitu! Fuqin saja tahu tanpa diajari."

"Tuan Muda Yu ini tak pernah hidup susah. Dia selalu makan memakai alat makan, sedang Fuqin dulu hidupnya susah sehingga makan seadanya. Kadang hanya makan sisa makanan orang," kenang Baba Ji. 

Dayu mendongak mendengar asal usul keluarga Yu. 

"Keluarga Yu sampai pada kakek Lian adalah keturunan tabib istana. Namanya Yu Wang Ping. Tetapi karena persekongkolan di dalam istana, maka kakek dijatuhi hukuman. Fuqin dan nenek terpaksa mengungsi ke Shanghai. Waktu itu Fuqin masih berumur 15 tahun. Dan dari buku-buku yang dituliskan oleh leluhur kami turun temurun, Fuqin belajar pengobatan dan mengingat kembali semua yang dilakukan kakek, sampai pada akhirnya Fuqin bisa pelan-pelan melayani masyarakat."

Dayu membelalak. Tabib istana? Sungguh bukan hal yang main-main. Pantas saja ilmu pengobatan mereka tak biasa. Standarnya sungguh sangat tinggi. 

"Kenapa Koko memilih menjadi dokter?" 

Pertanyaan Dayu membuat Lian tersedak. Tenggorokannya menjadi panas karena sambal yang menyatu dalam makanannya. Dayu menyodorkan gelas yang sudah berisi air minum dan segera diambil oleh Lian. Cepat-cepat ia meneguk air itu untuk menyegarkan tenggorokan.

"Kamu sudah tahu Lian seorang dokter?" tanya Baba Ji disambut anggukan Dayu. "Biarkan dia bercerita sendiri bila dia sudah siap membagikannya padamu. Bukan begitu, Xiao Kai?" 

Mata ayahnya begitu syahdu menatap sang putra. Lian hanya mengalihkan muka, tak membalas tatapan itu. Lelaki muda itu tak tahu apakah dia akan membagikannya pada Dayu, karena itu akan mengorek kembali luka yang sudah hampir mengering. 

Dayu menatap Lian. Alisnya berkerut penuh tanya. Batinnya tergelitik rasa ingin tahu kenapa Lian memilih menjadi dokter daripada menjadi seorang tabib, dan apa yang terjadi sehingga lelaki itu melepas gelar dokternya. Ingin rasanya Dayu mengorek isi otak Lian, untuk mencari jawab atas rasa penasarannya.

Yu Lian ….

Lelaki itu menyimpan banyak misteri yang membuat Dayu ingin mencari tahu siapa sebenarnya jati diri suaminya. Lian yang berwajah datar itu sekarang sudah bisa mengembangkan senyum. Namun Dayu belum puas. Dia ingin mengenal lebih dalam sang suami.. 

Pelan-pelan, Dayu. Suatu saat kamu akan tahu.

Dayu membereskan alat makan setelah mereka selesai makan. Gadis itu masih menyempatkan mencuci dan meletakkan alat makan di tempatnya serta memberesi dapur yang berantakan selesai memasak. Teringat pesan Bibi Tan, pekerjaan yang tertunda hari ini akan menjadi tumpukan pekerjaan esok hari. 

Mata Dayu semakin berat karena letih yang mendera. Namun, karena keringat yang membasahi tubuh, Dayu memutuskan untuk mandi. Di kamar mandi, gadis itu melihat tumpukan baju yang sangat menggunung tak sempat dicucinya tadi pagi. Mendesah pelan. Dayu tahu, pekerjaan yang tak sempat dikerjakan hari ini akan menjadi tanggungannya besok.

Dayu menumpuk begitu saja baju kotornya bersama tumpukan baju yang lain. Otaknya bekerja memperkirakan apa saja yang harus dia lakukan besok. Sungguh kontras saat dia sekolah di Ika Daigaku. Setiap malam dia akan belajar dan merencanakan apa yang dilakukannya besok, seperti kuliah, membuat laporan atau jaga di rumah sakit.

Dulu Dayu sempat mengeluh melakukan banyak hal sekaligus. Tetapi sekarang justru gadis itu merindukannya. Berjalan cepat di koridor rumah sakit, mengikuti sang guru yang hendak mengobservasi pasien dan kesibukan lainnya yang menguras tenaga serta pikirannya sebagai seorang mahasiswa kedokteran.

Dayu mendesah. Sekarang ia bukan lagi mahasiswa. Otaknya kini dipenuhi jadwal esok hari sebagai seorang istri. Jam berapa bangun pagi, mau masak apa, mencuci jam berapa, mau berbelanja apa, bersih-bersih rumah jam berapa. Hal remeh yang tak pernah sekalipun hinggap di otaknya karena selama ini apa yang akan ia kerjakan adalah tugas para abdinya.

Tak terasa Dayu sudah selesai dengan guyuran terakhir, seiring dengan otaknya yang berputar ekstra. Gadis itu sudah merindukan kasur dan bantal. Dia pun segera keluar dan hanya menyampirkan handuknya di sandaran kursi ruang makan karena malas menjemur di dapur. 

Lian yang duduk di ruang tamu hanya memalingkan wajah sebentar saat melihat Dayu berjalan menuju kamar, lalu kembali menekuni sebuah buku.

Dayu tak sanggup lagi untuk menahan kantuknya dan segera mengambrukkan diri di kasur yang begitu nyaman. Ia selalu merindukan pembaringan setelah melalui hari yang melelahkan seperti dulu dia merindukan ranjang di kamar rumahnya atau kasur di mess Ika Daigaku. Sekarang kasur di salah satu kamar rumah keluarga Yu, adalah kasur yang akan selalu dicari saat raganya penat. Tak butuh waktu lama Dayu sudah terlelap dan larut di alam mimpi.

Pukul 04.30, Dayu bangun. Otaknya otomatis berputar kembali. Hanya memasak ayam saja, dia sudah berpikir keras. Antara dibuat opor, digoreng atau dibacem. Sungguh Dayu hanya dihadapkan pada pilihan sepele, tapi tetap saja otaknya berpikir.

Kalau opor, aku tidak punya santan. Digoreng? Pasti akan memboroskan minyak. Akhirnya, Dayu memilih membuat sop ayam. Ia yakin keluarga itu pasti akan menyukainya. 

Dayu tersenyum puas dengan pilihan menu yang sudah dia putuskan. Mendapati hari telah pagi, dengan hati-hati dia bangkit dan melangkahi Lian yang masih pulas tidur.

Di dapur Dayu mulai sibuk memasak nasi, dan membuat sup dengan tambahan wortel, kol, serta daun bawang yang dibelinya kemarin. Sup itu akan terasa nikmat karena memakai kaldu dari ayam kampung. Tak lupa, Dayu menggoreng tahu yang tersisa. Setelah satu jam lebih bergelut di pawon, masakan pun telah matang. Ia segera menata makanan untuk sarapan di meja makan.

Sambil menunggu anggota rumah lain bangun dan bersiap sarapan, Dayu yang merasa dirinya berbau asap kayu bakar, berinisiatif mandi. Ia berpikir setelah mandi, akan merendam baju, sambil menunggu baju kotor lainnya untuk dicuci.

Saat masuk ke kamar mandi, Dayu menatap kosong. Alisnya mengernyit saat melihat tumpukan pakaian kotor itu tak lagi ada. Ember itu sudah dalam keadaan tertelungkup menghadap dinding. Dayu mengedarkan pandangan ke seluruh bilik kamar mandi kecil itu, kemudian ia berpaling memandang pintu kamar mandi yang masih terbuka.

Jangan-jangan Koko yang mencuci baju? Gusti Allah! Baju dalamku dicuci olehnya? Mata Dayu melotot.

Dayu buru-buru berlari menuju halaman belakang tempat tali jemuran terpancang untuk memastikan pikirannya. Namun, saat mendapati kain segitiganya menggantung manis di tali jemuran, matanya membelalak. Kaki gadis itu terasa lemas. 

"Ya Allah, kutangku … celana dalamku … dicuci oleh laki-laki itu?" gumam Dayu lemas. 

Wajah Dayu terasa panas dan pipinya sontak seperti kepiting rebus. Sandangan bagian pribadinya dicuci oleh Yu Lian. 

Memang dia suaminya, tapi ….

Dayu mengerang dalam hati. Yu Lian selalu membuat Dayu malu. Untungnya, gadis itu tidak sedang datang bulan. Tapi, melihat kutang itu sudah banyak lubangnya dan celana dalamnya sudah sedikit molor. 

"Aaarggh, Duh, Gusti, mau ditaruh mana muka hambamu ini! Yu Lian, kenapa kamu selalu membuatku malu!!:

Dayu mengacak-acak rambutnya karena geram dengan lelaki bermata sipit itu. Gadis itu berjalan lemas ke kamar mandi dan saat membuka pintu, Dayu terperanjat melihat lelaki yang berekspresi lega memegang sesuatu di bawah perut. Matanya mengerjap-kerjap dan kepalanya menengadah ke atas saat sesuatu keluar dari bagian tubuhnya.

"AARGHH, YU LIAN! TUTUP PINTUNYA KALAU KAMU DI KAMAR MANDI!" 

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro