Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵19. Ikhlas🏵

Telinga Lian memerah saat mendengar pertanyaan Dayu. Wajahnya sontak menegang. Ekspresinya pun berubah menjadi mengerikan. Lian menggerakkan kepala sedikit. Kerlingan Lian seolah hendak menerkam gadis yang masih duduk meluruskan kaki di atas ranjang. 

Hanya dengan tatapan tajam itu, Dayu merinding. Sisi lain Lian yang baru kembali terkuak. Wajah datar itu mempunyai emosi marah selain bisa tertawa.

"Dari siapa kamu tahu?" Suara Lian yang berdesis terdengar seperti ular yang hendak mematuk karena terganggu. Mulutnya tak terlihat bergerak. Dayu bergidik. Gadis itu menyesal mengemukakan hal itu.

"Aku ... aku ...." Dayu gagu. Ia merutuki lidahnya yang kepleset merangkai kalimat tanya itu.

"Jangan sekali-kali ungkit hal itu. Mengerti?!" Mata sipit Lian melebar. 

Seperti anak kecil yang dimarahi orangtuanya, Dayu hanya mengangguk berulang. Mimik wajah Lian yang seperti tembok dingin nan datar terlihat menakutkan. Bulu kuduk Dayu spontan berdiri.

Dayu memang belum mengenal Lian sepenuhnya. Wajah datar tanpa ekspresi itu tampak gusar bila diungkit perihal profesinya. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Lian membenci profesi ini yang berkebalikan dengan Dayu? Kalau boleh memilih, Dayu ingin mengabdikan ilmunya, alih-alih menyembunyikan kemampuannya. Sedang Lian justru berusaha mematikan ilmu yang sudah pernah didapatnya dari Fakultas Kedokteran Universitas Leiden.

Universitas Leiden? Mengingat nama universitas itu pun kuduk Dayu meremang. Universitas itu adalah universitas tertua di Belanda dan semua guru besar di STOVIA pernah mencecap pendidikan di sana. Dayu yakin, ilmu kedokteran yang sudah dipelajari Lian masih terpatri di otaknya. Yang membuat Dayu merinding, perpaduan medis barat dan medis timur yang dipahami oleh Lian, mampu membuatnya menjadi seorang dokter yang hebat. 

Pantas Melati bilang Lian seperti dokter. Terus, sewaktu ia membersihkan mata dan lukaku, gerakan tangannya begitu halus dan penuh perhitungan seperti dokter bedah.

Dayu menunduk menatap lutut kaki yang tertutup gaun. "Maaf, aku ...." Dayu berusaha menetralisir emosi Lian. Ia segera menghapus rasa penasaran di otaknya.

"Tidurlah. Besok kamu harus bangun pagi," ucap Lian datar. 

Saat Lian membereskan peralatannya, tiba-tiba suara gemuruh yang teredam terdengar. 

Lian menoleh. Ia mengernyitkan alis sambil mencari sumber suara. Bunyi itu terdengar lagi lebih keras. Tatapan Lian tertuju pada sosok Dayu yang menunduk. Helaian rambut yang lepas dari ekor kudanya membuat wajah gadis itu tertutup. Untuk ketiga kalinya suara itu terdengar.

Dayu meringis. Ia memeluk perutnya yang keroncongan. Lagi-lagi Lian membelalak tak percaya. Hati panasnya tiba-tiba terguyur oleh ulah spontan Dayu yang polos. Emosinya reda. Lenyap begitu saja.

Bisa-bisanya kamu, Dayu. Di saat aku marah besar, perutmu berbunyi karena kelaparan? Batin Lian tergelitik.

Dayu menyerongkan kepala membelakangi Lian. Gadis itu memejam satu mata, membuat pipinya tertarik dan sudut bibir kirinya naik. Dayu tahu, suara itu terdengar oleh Lian. Gadis itu takut Lian semakin marah. Namun yang terjadi, usapan lembut mengenai pucuk kepalanya. Tangan besar Lian mengacak rambutnya yang sudah berantakan.

Lian mendengus pelan. "Ayo makan, aku juga belum makan." Suara berat itu kembali seperti semula. 

Dayu mendongak melihat punggung Lian yang sudah tegak dan menjauh darinya.

Dayu membuang napas lega. Tangan kanan Dayu mengusap dada seperti lolos dari bahaya. Paling tidak kemarahan Lian tidak menyembur dan dia bisa makan. Perutnya terasa kosong karena sudah dipakai untuk berlari dan menjelajah sebagian kota Soerabaja. Dayu menggeser pantat, menurunkan kakinya, dan berusaha berdiri.

Mata Dayu membulat saat mendapati kakinya tak lagi sakit seperti yang dikatakan Lian. Gadis itu berdecak kagum karena suaminya ternyata bukanlah dokter yang bisa dipandang sebelah mata. 

Dayu berjalan pelan menuju lemari. Ia mengambil sisir bergerigi rekat, sehingga  saking rekatnya Dayu berpikir telur kutu dan kutunya bisa tersangkut ke sisir. Sambil menata rambutnya yang acak, ia melihat bayangan dirinya. 

Gadis itu seperti bukan Dayu yang dulu. Dia memang manja dan tak mau mengalah, tapi bersama Lian, dia banyak mengalah. Banyak mengatakan 'iya' alih-alih menolak. Peristiwa yang banyak terjadi akhir-akhir ini membuat Dayu hanya bisa pasrah. Bisa makan, tidur dan tinggal di rumah beratap tanpa ancaman tentara Jepang yang memburu setidaknya bisa membuat Dayu sedikit bernapas lega. Walau kecemasan akan keselamatan sang kakak masih ada dalam benaknya.

Sesudah mematut diri sejenak, Dayu keluar. Lian dan sang ayah sedang sibuk di dapur. Dayu menjadi tak enak hati karena tidak seharusnya dirinya ketiduran dan membiarkan ayah mertuanya sibuk mengurus makan malam. 

"Fuqin, beristirahatlah! Aku akan mengurus semua," larang Dayu saat Baba Ji hendak merebus ayam.

"Haya, tidak apa-apa lah. Kamu pasti terkejut karena tersesat," ujar Baba Ji dengan logat bicara yang aneh. 

Pipi Dayu memerah diingatkan kembali kecerobohannya.

"Fuqin, istirahatlah. Biar kami mengurus semuanya." Dayu menarik lengan mertuanya keluar supaya menjauh dari dapur. 

"Iya, Fuqin. Beristirahatlah" Lian mendukung ucapan Dayu. 

Baba Ji tersenyum senang. Mata sipit yang berkerut di tepi luarnya itu memandang bergantian anak lelaki dan menantunya.

"Ya sudah. Kalian urus sendiri." Baba Ji berlalu menuju kamarnya untuk mengistirahatkan badan rentanya. 

Dayu meneruskan pekerjaan Baba Ji. Dia duduk berjongkok sembari memasukan ayam kampung yang sudah dicuci ke dalam kuali tanah liat setelah airnya mendidih. Di dalam dapur itu, Lian dan Dayu tak bercakap. Walau tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing—Dayu dengan rebusan ayam kampungnya dan Lian menapis obat herbal yang sudah kering— tapi pikiran mereka menerawang.

Dayu tahu aku seorang dokter? Aku yakin Tan Ayi yang memberi tahu. Tangan Lian masih memilah dedaunan herbal kering sambil sesekali melirik ke arah Dayu yang sedang meniup api di dalam anglo kecil dengan bumbung bambu.

Sementara itu Dayu berpikir kenapa Lian bisa semarah itu saat profesi sebenarnya terungkap. Hatinya didera rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi? 

Suasana yang sunyi hanya dimeriahkan oleh bunyi decakan cicak yang menempel di dinding dan suara meletik dari kayu membara yang dijilat kobaran api di tungku. Lagi-lagi Dayu seperti tercekik dengan keheningan yang tercipta. Sikap hangat Lian seolah terhapus dengan sebuah kata 'dokter' yang terucap dari bibirnya.

"Ko, maaf ...." Suara serak Dayu menggema di dapur bebarengan dengan suara percikan kayu bakar yang melemparkan bunga apinya ke luar dari tungku tanah liat.

Lian menoleh, lalu memandang lekat punggung gadis itu kini berdiri menghadap jendela di sisi tungku besar. Bunyi gaduh saat baskom tembaga diletakkan di meja semen menciptakan kebisingan. 

"Sudahlah. Tidak perlu dibahas lagi," ucap Lian.

"Kupikir, hanya aku yang menderita karena ilmuku menjadi tak berguna. Ternyata ... ternyata ...." Dayu tak bisa menyembunyikan isakannya. Gadis itu berpikir tragedi yang hanya sedikit Dayu ketahui ceritanya itu pasti sangat berdampak bagi Lian sehingga lelaki itu harus memendam kemampuannya, dan meninggalkan panggilannya untuk menyembuhkan orang sakit melalui bidang kedokteran medis barat. 

Getaran punggung Dayu tertangkap oleh Lian. Lelaki itu akhirnya harus meletakkan tampah—sebuah perabot yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk lingkaran—di atas kursi panjang di sisi lain dapur. Lian bangkit dan menghampiri Dayu. Dari belakang, dipeluknya badan mungil itu untuk menahan isakan sang gadis. 

Jemari Dayu mencengkeram baskom tembaga dengan kuat, berusaha untuk meredam sesenggukannya.

"Aku tahu pasti kamu sangat berat tidak bisa mengamalkan ilmumu, Dayu. Alih-alih terpaksa, aku sendiri justru yang memilih meninggalkan dunia kedokteran." Lengan kokoh Lian merengkuh tubuh Dayu yang semakin membuat bahu Dayu naik turun. Karena badan Lian yang tinggi, lelaki itu membungkuk untuk meletakkan dagunya di bahu kiri Dayu sehingga posisi kepala mereka sejajar dan pipi mereka berhimpit.

"Kupikir, aku adalah orang yang paling tidak beruntung di dunia ini. Ternyata saat aku mengutuki nasibku, ada kamu yang mempunyai nasib tak kalah tragis dariku, sudi datang menolong dan selalu melindungiku. Siapa kamu sebenarnya Yu Lian?" Dayu menggigit bibir bawahnya untuk meredam isakan. 

Kalungan lengan lelaki itu di badannya yang semakin erat justru memecah tangis Dayu. 

"Aku ... suamimu. Dari awal aku memutuskan untuk mengambilmu menjadi istri, aku berjanji akan melindungimu. Sebagai ganti bahwa aku dulu pernah gagal menyelamatkan istri dan adikku. Dan sebagai bukti akan janjiku pada Daru, kakakmu." 

Suara Lian yang begitu lembut  menghangatkan batin Dayu. Sisi hatinya yang selama ini dipenuhi kesedihan akan kehilangan Yudha, perlahan terhapus oleh usapan lembut telapak tangan Lian di lengan atasnya. Gadis itu merasa bersalah, bahwa apa yang dilakukan Lian selama ini belum mampu dibalas oleh Dayu dengan menerima pernikahan itu dengan tulus.

Maaf, Mas Yudha. Aku harus melanjutkan hidup. Aku harus menerima lelaki ini menjadi suamiku dengan ikhlas.

Lian melepas pelukannya. Ia membalikkan tubuh Dayu dan menarik tubuh kecil yang terkesan ringkih. "Dengar Dayu. Jadilah wanita yang kuat. Mengerti? Aku tidak bisa memanjakanmu, layaknya putri. Tapi aku harus bisa membentukmu menjadi seorang wanita tangguh yang bisa menghadapi semua keadaan yang terjadi."  Lian menyapu air bening yang membasahi pipi Dayu. "Sekarang, kita siapkan makan malam. Dari tadi cacing di perutmu berdemo minta kesejateraan."

Senyuman Lian membingkai di wajahnya. Seketika hati Dayu berdesir. Wajah datar itu kini telah sering terukir senyuman sehingga batin Dayu terasa nyaman dan aman. 

Lian melepas pelukannya. Ia kembali sibuk mengeluarkan apa yang dibelanjakan Dayu tadi pagi.

"Kita masak sayur kangkung, ya. Kamu bisa bantu petik sayur ini?" ujar Lian yang hanya dijawab anggukan oleh Dayu. 

Baru sekali ini Dayu tahu sisi lain Lian. Dengan cekatan, pemuda itu mengupas bawang merah dan bawang putih. Dalam sekali gebrakan pisau besar, umbi bawang itu menjadi pipih. "Panaskan minyak kalau sudah selesai. Aku akan menyiapkan dadaran telur dan menggoreng tahu dengan anglo."

Dayu terpana. Pemuda itu begitu cekatan di dapur. Lima tahun tanpa perempuan di sisinya membuat Lian harus beradaptasi di dapur. Lelaki itu mempelajari sesuatu yang bukan menjadi kodrat seorang laki-laki, hanya untuk menghidangkan makanan yang akan mengisi lambungnya dan sang ayah. Air mata Dayu tak dapat dibendung. Tanpa isakan, buliran itu terus menetes membasahi pipi. Gadis itu mengutuki diri yang manja dan sombong. Yu Lian berhasil menampar cara pandang dan gaya hidup Dayu, tanpa banyak bicara. 

Sementara itu, Lian sebenarnya tahu, Dayu  masih menangis. Namun, ia membiarkan gadis itu menguras air matanya karena  mungkin suasana hatinya akan menjadi lebih baik dan esok Dayu bisa melangkah lebih tegar.

Emosi Dayu bergejolak. Mungkin kinerja hormon yang setiap bulannya naik turun, membuat Dayu melepas pekerjaannya dan menghamburkan pelukan pada punggung Lian yang sedang meracik dadaran telur. 

Gerakan tiba-tiba itu membuat Lian hampir saja melepas kocokan telur. Dia buru-buru meletakkan mangkok dan sumpit, lalu memandang sejenak tangan kecil yang mengalung di perutnya seperti gadis kecil yang ingin bermanja pada ayahnya. Lian berusaha melerai kaitan jemari Dayu. Namun tautan jemari Dayu semakin kuat, tak ingin terlepas.

"Dayu ...." 

Dayu diam. Namun, punggung Lian merasakan getaran dan perlahan basah. 

"Aku ... aku ikhlas menjadi istrimu, Ko" 

Lian hanya menelan ludah kasar saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir Dayu. Gadis itu telah menerima dengan tulus pernikahan ini. 

Lian mengusap lembut kaitan jemari itu. "Ya, aku tahu. Sejak awal, pernikahan ini nyata. Kamu adalah istriku dan aku suamimu."

"Terima kasih telah mengajarkan kepadaku banyak hal."

Suara berdeham datang dari ambang pintu  dapur. Baba Ji terharu dengan pelukan Dayu di tubuh Lian. Ia merasa pada akhirnya anak sulungnya mendapatkan gadis yang tepat. Lelaki tua itu tak menyesal telah menyarankan agar Lian menerima tawaran Dewandaru untuk memperistri sang adik.

"Mau sampai kapan kalian berpelukan? Fuqin sudah sangat lapar. " 

Dayu tertegun ketika suara Baba Ji masuk ke liang telinganya. Cepat-cepat dilerainya kaitan jari dan segera kembali duduk memetik kangkung. Pipinya terasa panas dan semakin merona. Dayu mengusap cepat pipi dan matanya, tak ingin terlihat mertuanya bahwa dia menangis.

Lian berbalik dan mendapati sang ayah terkekeh dengan raut muka bahagia yang lama tak dilihatnya. 

"Fuqin ..." Pipi Lian tak kalah merah seperti kedapatan melakukan perbuatan memalukan. "istirahatlah." 

"Fuqin heran, kenapa dari tadi tidak ada suara penggorengan, ternyata kalian sedang berpelukan. Kalau seperti ini bisa-bisa baru selesai besok pagi," kelakar lelaki paruh baya itu. 

Setelah mengambil pisau di rak piring, Baba Ji duduk di sebelah Dayu, mengambil setangkai kangkung dan membantu memetiknya. Dayu tak berani menengadahkan wajah. Ia malu karena kepergok memeluk Lian dan takut dianggap wanita yang agresif.

"Dayu, lihat! Yang kamu letakkan di sampah justru daunnya, bukan batang dan akarnya." Baba Ji menunjuk dengan ujung pisau.

Dayu membelalak dan lagi-lagi merasa konyol di depan ayah mertuanya dan Lian.

"Ya Tuhan, apa yang kulakukan!" 

Lian dan ayahnya menyembur tawanya melihat kecerobohan Dayu.

"Dayu, Dayu. Tak kukira kamu sudah menjadi dokter. Bagaimana pasienmu kalau kamu ceroboh seperti itu? Yang dioperasi kaki kiri, kamu malah mengiris yang kaki kanan!" ledek Lian.

"Koko!! Aku tidak seceroboh itu!" Dayu membelalak memasang muka tak terima yang justru membuat ayah dan anak itu terkekeh.

Baba Ji bersyukur, akhirnya kedatangan Dewi Andayu bisa mencairkan suasana. Gadis itu memberi keriuhan bersahabat di rumah yang sarat dengan kaum adam. Tingkah polos Dayu menghangatkan kebekuan yang terjadi di keluarga Yu. Ia berharap menantunya bisa mewarnai hidup Yu Lian dengan keceriaan dan kebahagiaan.

🏵🏵🏵🏵

Semoga Lian Dayu bisa menjadi penawar sendu yang readerku..

Selamat malam, selamat istirahat..

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro