Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵17. Mencari Daiyu🏵

Lian membuka lemari dan menarik baju seadanya. Dia mengenakan sebuah kaus putih yang sebetulnya adalah pakaian dalam. Celana panjang segera dipakainya terburu-buru. Kemeja yang menggantung di balik pintu digapainya cepat, lalu dikenakan untuk menutupi kaus tipis yang sudah membalut badan. Lelaki itu tak sempat menyisir rambut yang masih basah.

Hanya berseru untuk memberi tahu Baba Ji bahwa dia keluar, Lian menghambur dan melompati dua undakan sekaligus di depan rumah. Sandal kulit yang dikenakannya menyapu debu halaman. Gerakan gesitnya membuat daun kering yang berserak di halaman beterbangan.

"Sialan! Dayu, kamu kemana?" Lian mengumpat sambil berlari. Bayangan Yi Jie dan Yan Ni yang mengalami hal nahas kembali bertebaran di otaknya seperti slide layar tancap yang memutar sebuah film propaganda. Dada Lian bergemuruh keras. 

Lelaki itu berhenti sejenak. Dia berbalik sambil menyusupkan jemarinya di rambut basah yang sudah semakin panjang. Jari-jari itu mencengkeram helaian rambut meredam rasa frustasi. Sejauh mata Lian memandang, tak nampak batang hidung Dayu.

Ketakutan akan mengulang hal yang sama mendera Lian. Bagaimana pun Dewi Andayu adalah istrinya. Bagaimana kalau gelar duda tersemat lagi di dirinya? Memikirkan hal itu, Lian mengerang frustasi.

Jangan bilang aku menjadi duda lagi. Sekali lagi aku menjadi duda, lebih baik aku menjadi biksu atau biarawan! Aaaarrrggghhhh!!

"Dayuu!!" Lian berlari seperti orang kesurupan sambil memanggil nama Dayu yang sudah menjadi istrinya. Istri yang seharusnya dia lindungi. 

Bagaimana bisa tadi dia hanya berucap hati-hati, sementara di luar sana terdapat banyak orang yang tak menaruh hati. Bisa saja orang jahat dengan kejam dan biadab menghabisi Dayu dan melucuti harga dirinya sebagai perempuan.

Langkah Lian terhenti. Napasnya tersengal. Sosok berseragam tertangkap matanya. Lelaki itu menepi mencari tempat aman. Beruntung tidak ada penerangan jalan sehingga keberadaannya tak disadari oleh para tentara itu. 

Lian menyandarkan punggung di tembok berlumut. Dia menggigit-gigit bibir bawah sambil menunggu saat tentara berkatana itu menjauh. Bulir keringatnya sudah mengucur deras di pelipis, dahi bahkan di balik bajunya. Rasa segar setelah mandi tak lagi dirasakannya. Gerah ... segerah hatinya karena dicekik kecemasan.

Begitu situasi aman, Lian segera mengambil arah berlawanan. Adrenalinnya terpacu. Sudah lama Lian hidup dalam zona nyaman. Area dimana tidak ada kegelisahan dalam hidupnya karena bergabung dalam pergerakan bersenjata dan menjadi bagian dalam pemberontakan. 

Sudah cukup baginya berlaku nasionalis! Idealismenya dulu telah mengorbankan dua orang yang dicintai. Istri dan adiknya. Lian benar-benar sudah kapok dan tak ingin terjebak dalam lubang yang sama.

Namun sekarang, hormon pemicu detak jantungnya meningkat. Peluh kecemasan membanjiri dahi dan pelipis. Lian tidak ingin mengalami hal sama, terlebih dia sudah berjanji pada Daru untuk menjaga adik semata wayangnya. Sekarang sudah menjadi kewajiban Lian sebagai suami untuk menjaga Dayu, istrinya.

Malam temaram. Sinar rembulan kadang tertutup oleh gulungan awan hitam yang nampak bagai kapas yang tercelup tinta. Suasana remang, membuat hati Lian ikit gamang. Langkah tersendat. Pandangannya terbatas. Situasinya begitu mencekam. 

Lian tidak mendapati lalu lalang orang. Sepi. Orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumah dari pada harus berkeliaran di luar saat tentara Jepang berseliweran hendak ke Kembang Jepun di dekat Jembatan Merah. 

Lian memicingkan mata, mengatur cahaya yang masuk dalam retinanya. Dengan kewaspadaan tinggi Lian lari menembus hari yang mulai malam.

Lian tidak bisa dengan seenaknya memanggil-manggil nama Dayu, karena akan terlalu berbahaya. Bisa-bisa Dai Nippon sadar bahwa Lian mencari Dewi Dayu yang merupakan keluarga dari buronan. 

Setiap berada di satu tempat atau lorong dia memanggil dengan bisikan atau desisan. Tetap saja tak mendapat jawaban dari yang punya nama. Sudah hampir satu jam Lian berkeliling. Namun, tak ada hasil. Napasnya kini tersengal karena lari dan kecemasan yang berlebihan.

Lian kembali mengerang. Dia menghentakkan kaki dengan jengkel ke tanah. Lelaki itu merasa gagal melindungi Dayu yang baru satu hari dinikahinya. 

"Bagaimana aku bisa menghadapi kakakmu kalau ada apa-apa denganmu?" Lian menggigit kuku jempolnya sambil memandang ke sekeliling. Dia menyibakkan rambut yang turun di dahi ke belakang.

"Kira-kira ke mana Dayu pergi? Tidak mungkin dia melarikan diri. Kalau ditangkap, pasti suasana lebih ramai dari ini." Lian mengerutkan alisnya. "Aku akan menyisir area Jagalan."

Lian lantas mempercepat langkahnya. Tak dihiraukan tetesan keringat yang berkali-kali membasahi punggungnya. Satu yang ada di dalam otaknya. Menemukan Dewi Andayu. Lian memutuskan untuk kembali ke toko, untuk mencermati apakah ada jejak Dayu yang tertinggal. Dari kejauhan, mata Lian menangkap sebuah kaki dengan sepatu yang sangat dikenalnya. Kaki itu melintang sedikit di jalan. Namun badannya tertutup tembok.

Harapan Lian melambung, walaupun jantungnya kembali berdegup kencang karena khawatir terjadi sesuatu yang serius pada istrinya. Lelaki itu mempercepat langkah dan memutuskan berlari agar segera mendapati pemilik kaki itu. Begitu sampai, Lian menengok ke bawah ke arah seorang perempuan yang duduk dengan melipat kaki. Wajahnya terbenam di antara paha. Badannya bergetar hebat naik turun.

Lian mengenal baju yang dikenakan gadis itu sehingga lelaki itu yakin gadis yang duduk di lantai jalanan dengan rambut yang semrawut itu adalah istrinya. Lian berjongkok, dengan lutut kanan menumpu di tanah. Tangannya terulur menepuk bahu Dayu membuat gadis itu terlonjak. 

Spontan Dayu menepis dan beringsut ke belakang yang sayangnya sudah tidak ada ruang lagi. Pergerakannya tak membuahkan hasil, kecuali ketakutan yang merongrong batinnya.

Melihat Dayu yang ketakutan, Lian menenangkan. "Dayu, ini aku. Lian. Yu Lian." 

Mendengar nama Lian, Dayu menengadah memandang sumber suara. Matanya memicing. Namun bayangan Lian terlihat kabur karena air mata yang menggenang. Dayu mengusap matanya dan begitu yakin bahwa memang Lian yang ada di depannya, Dayu menghamburkan badannya memeluk pria itu.

"Koko!" Dayu mengalungkan lengan kecilnya dan menumpukan semua berat badannya ke arah Lian. 

Pemuda itu terhuyung dan jatuh ke belakang. Dengan sigap tangan kirinya menumpu ke tanah untuk menahan badan supaya tidak terjerembab ke lantai. Sementara tangan kanannya melingkar di badan Dayu.

"Sudah. Tenang. Ada aku di sini." Lian merasakan getaran ketakutan yang luar biasa. Lelaki itu mengusap punggung Dayu naik turun. Dia ingin memberi tahu bahwa Dayu tidak sendiri lagi. Semua bahasa tubuh Lian gunakan. Tak terkecuali sebuah kecupan di pucuk kepala Dayu yang menghasilkan sengatan listrik kecil di tulang belakang gadis itu.

Dayu mendorong Lian lalu menyeka matanya yang sembab karena lama menangis. Dayu terkejut dengan kecupan itu. Beruntung saat itu kegelapan meliputi mereka, karena detik ini pipi Dayu sudah sangat memerah. Perubahan rona di wajah Dayu ditangkap oleh netra Lian, membuat pria itu mengulum senyum.

"Kamu dari mana?" tanya Lian. 

Pertanyaan Lian tak dijawab Dayu. Dayu berusaha menghindari kontak mata dengan suaminya. 

"Kamu dari mana?" Lian melempar pertanyaan lagi.

Dengan tatapan polos, Dayu mendongak, menatap wajah Lian yang menunggu jawabannya. "Aku tersesat. Aku .... " Dayu terdiam sesaat menimbang apakah perlu dia memberitahu apa yang terjadi hari ini.

"Kamu kenapa?" Lian berusaha bersabar. Bola matanya masih terpaku pada wajah gugup Dayu.

"Aku ...." Lidah Dayu terasa kelu. 

Lian mengangkat alisnya menanti kalimat yang akan keluar dari bibir Dayu, "Aku … dikejar anjing ...."

Krik … krikk … krikkkk ....

Suara jangkrik terdengar menggema malam itu. Setelah mengetahui jawaban Dayu suasana menjadi sunyi. Setiap kata yang terlontar dari bibir Dayu dicerna beberapa detik oleh Lian, dan setelahnya tersemburlah tawa lelaki itu.

"Dikejar anjing?" Lian terkekeh dengan cukup keras membuat Dayu mencondongkan badannya untuk membungkam bibir lelaki itu.

"Jangan tertawa. Jangan tertawa. Kamu menyebalkan tertawa di atas penderitaan orang lain!" 

Lian menurunkan tangan yang membungkam mulutnya, dan berusaha menahan tawanya. Lagi-lagi gadis itu membuat dirinya tertawa lepas dengan segala kepolosannya. 

Dikejar anjing? Ya Tuhan, apa lagi ini? Kemarin hampir ketinggalan kereta karena kebelet sekarang dikejar anjing?? Padahal aku membayangkan sesuatu yang buruk telah terjadi padanya dan berpikir akan menjadi duda lagi!!

Lian menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha menetralkan tawanya. 

"Ayo, pulang!" Lian berdiri sambil menunduk mengangkat lengan atas Dayu. 

Dayu ikut berdiri tetapi kakinya tak kuat menumpu badannya. Badannya oleng dan beruntung Lian dengan kokoh menopangnya. "Kakimu sakit?" 

Dayu meringis tak menjawab. Tangannya bersandar pada tembok tua di samping kanannya.

Kembali Lian berjongkok meneliti apa yang terjadi pada kaki Dayu. Kemudian dia memposisikan dirinya berjongkok di arah yang lain.

"Sini, naik ke punggungku. Kakimu terkilir. Kamu tidak akan kuat berjalan sampai rumah." 

Dayu diam. Digendong Lian sampai ke rumah membuat Dayu malu. Pertama karena dia merepotkan. Kedua, biar pun kecil tetapi tetap saja jarum timbangannya lebih suka memosisikan ke arah kanan. Ketiga, kakinya yang terkilir adalah akibat dari kecerobohannya. Balap lari dengan seekor anjing pitbull.

"Tidak usah. Aku berat," tolak Dayu halus. 

Namun Lian justru berbalik dan menarik tangan Dayu membuat Dayu roboh ke arah punggung Lian. 

"Siapa bilang kamu ringan," celetuk Lian. Dalam satu kali hentakan napas, pemuda itu berdiri membawa beban di atas punggungnya. Kedua lengan kokoh Lian terselip di bawah tungkai Dayu dan akhirnya Dayu hanya bisa pasrah bergelantungan di punggung suaminya. "Dan ternyata kamu benar-benar berat."

Dayu mencubit lengan Lian membuat pria itu terpekik. "Kalau begitu turunkan aku!! Menyebalkan! Aku tahu aku berat tapi tidak usah kamu perjelas!" Lian tertawa renyah. Reaksi Dayu sungguh lucu. Sebenarnya berat Dayu tidaklah seberat yang dipikirkan. Lian menaksir gadis itu berbobot 45 kg. Cukup ideal antara tinggi dan beratnya.

Dayu mengalungkan lengannya di leher Lian. Baru kali ini mereka begitu dekat. Tubuh mereka berhimpit dan keringat yang ada di punggung Lian menyusup ke dada dan perut Dayu bersatu dengan keringatnya. Baru kali ini juga Dayu mengenali aroma khas seorang Yu Lian. Seolah feromon pemuda itu menyeruak memenuhi organ penciumannya, membuat Dayu sebagai lawan jenisnya terbius dengan wangi manis yang dikeluarkan sang suami.

"Dayu, ceritakan bagaimana kamu bisa dikejar anjing." Lian menahan kekehan penasaran dengan apa yang dialami Dayu.

Dayu mendesah kesal. Embusan napasnya membelai tengkuk Lian membuat pemuda itu merinding kuduknya. Lantas Dayu mengingat-ingat apa saja yang telah terjadi siang itu setelah dari toko.

***

Selepas Dayu keluar dari toko siang tadi Dayu tidak sengaja membuat seekor anjing jenis pit bull milik toko sebelah berang. Batu kerikil yang ditendang Dayu berhasil mengenai wajah garang anjing yang sedang kelaparan. Ditambah bau ayam kampung yang mampu menggugah nafsu lapar si anjing, maka hewan karnivora itu sigap mendekati Dayu. 

Bukan Dayu namanya kalau tidak melawan. Dayu berjalan miring seperti seekor kepiting, berusaha melindungi ayam kampungnya yang menjadi target dari anjing pit bull hitam. Anjing itu menyalak dan berlari menerjang Dayu. Spontan Dayu kalap berlari seperti dikejar musuh. Gadis itu melangkahkan kaki cepat. Sesekali dia menoleh ke belakang melihat posisi anjing hitam.

Tanpa Dayu sadari, ia berlari menyerong tak tentu arah sehingga kakinya berpijak pada tepi parit. Seketika badannya terjerembab jatuh ke parit yang membuat kakinya terkilir.

Dayu meringis. Namun gonggongan anjing yang semakin nyaring membuat Dayu terpaksa harus mengeluarkan kepala ayam dan melemparnya jauh-jauh untuk mengalihkan perhatian si anjing pit bull. Membaui daging segar yang melayang, anjing itu berhenti. Kepalanya mendongak mengikuti arah kepala ayam melayang dan segera anjing itu berbalik mengejar kepala ayam. 

Dayu lantas bergegas berdiri, lalu membebaskan badannya dari parit. Rasa sakit yang menyergap tak dihiraukan. Gadis itu berharap si anjing sudah puas menggerogoti kepala ayam dan Dayu bisa mempunyai kesempatan bebas. Ketakutannya pada anjing pit bull lebih membuat Dayu menguatkan diri. Dia ngeri dengan kasus gigitan anjing yang pernah ditanganinya sewaktu sekolah. Membuatnya bergidik dan lari tunggang langgang.

Dayu berjalan tertatih setelah lelah berlari. Kakinya pincang. Mulutnya komat-kamit mengumpat kata 'anjing' pada seekor anjing yang hanya menjalankan nalurinya sebagai anjing.

Bukan salah anjing itu mengejarnya. Salahkan Dayu menendang batu, mengenai wajah pitbull lapar.

Dayu berjalan tak memperhatikan arah, karena fokus dengan umpatan dan makian yang tak jelas. Sampai akhirnya, gadis itu tersadar. Ada yang salah dengan jalan pulangnya. Dayu belum hafal jalan menuju rumah keluarga Yu. Dia kini hanya berdiri di tengah jalan yang lumayan ramai. 

Ini dimana? 

Dayu mengedarkan pandang. Ke kanan, ke kiri. Tubuhnya berputar. Larinya yang kencang seperti kesurupan, membuatnya tak memperhatikan arah jalan.

Dayu mencoba mengurut jalan yang tadi dilaluinya. Sayang, kelemahan Dayu adalah menghapal rute jalan. Sekarang Dayu tersesat. Gadis itu hanya bisa menggigit bibir. Matanya mulai berkaca dengan mendekap keranjang belanjaan dan rantang. 

Tenang, Dayu. Kamu tidak boleh menangis.

Dayu menghirup napas panjang untuk menyusupkan oksigen ke paru agar otaknya sedikit segar dan pikiran lebih jernih. Dia memutuskan untuk bertanya. Jalan paling aman adalah pulang ke toko dan berharap masih bisa menemui Lian.

Lian, kumohon. Aku membutuhkanmu.

Pada saat seperti ini, Dayu berharap sosok Lian muncul. Seperti saat Dayu nyaris ketinggalan kereta. Namun harapannya sirna. Sesudah azan maghrib berkumandang, Dayu akhirnya tiba di area Jagalan. Gadis itu sampai di toko herbal milik Paman Tan yang dibeli Baba Ji. Hatinya kecewa karena yang diharapkan tak ada disitu. Yu Lian, Baba Ji, Paman Tan dan Jiayi sudah pulang. 

Toko sudah tutup. 

Sontak Dayu diliputi keputusasaan. Rasa sakit dan lelah menggerayangi raga. Dia mengambrukkan badannya begitu saja di tepi jalan untuk mengistirahatkan badan yang lunglai. Gadis itu tak bisa lagi berpikir menemukan  jalan pulang.

Dayu hanya bisa terisak. Dia mendekap kakinya menyembunyikan wajah. Sampai suara itu muncul, membuat asanya berpendar dalam hati.

Sebuah suara berat dan dalam yang menyentuh indera pendengarannya memberi sensasi ketenangan. Saat nama "Yu Lian"  terucap, Dayu merasa aman dan tidak sendiri. 

Dayu hanya bisa memeluk raga kekar pemuda itu. Dia bersandar di pundaknya yang kokoh dan tak ingin melepaskan. Gadis itu sudah terhisap dalam pusaran kedamaian yang ditawarkan oleh keluarga Yu. 

Dayu kini terhipnotis dan tak berdaya dalam rengkuhan pemuda itu. 

♡♡♡

Selamat Hari Kartini.

Nanti malam kita ketemu kisah Sekar, Angga dan Naro yak.

Semoga suka.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro