Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵16. Sang Giok Hitam🏵

Embusan bayu
Di malam berbintang
Jangan lupa dukung Lian Dayu
Dengan komen dan klik bintang.

❤Happy Reading❤

Dayu mengikuti langkah kaki Bibi Tan yang cepat. Padahal kaki Bibi Tan begitu kecil karena dilakukan pelipatan pada kakinya sewaktu bayi. Sepatu yang dikenakan seperti memakai sepatu balita saking kecilnya. Padahal tubuh Bibi Tan terbilang besar. Gadis itu menyejajarkan posisinya di sebelah Bibi Tan, tak ingin terpisah di keriuhan pasar.

Bersama wanita paruh baya itu, Dayu menyeruak keramaian pasar yang menjajakan berbagai bahan makanan mentah, pakaian, kain, pernak-pernik, dan buku. Pasar di salah satu sudut kota Soerabaja itu lebih ramai dari pasar di Desa Pengging, salah satu Desa di wilayah kawedanan Banyoedono, tempat sang ayah menjadi pemimpin wilayah itu. Bila dibandingkan dengan pasar Gedhe atau pasar Legi di kasunanan Soerakarta, pasar itu juga jauh lebih riuh. 

Kebetulan daerah mereka dekat dengan pusat kota di area Jembatan Merah. Di daerah itu, pada masa Hindia Belanda menjadi pusat pemerintahan karena kapal kecil bisa melalui sungai yang dihubungkan dengan sebuah Jembatan yang bercat merah pada setiap sisi.

Keterpukauan Dayu disadarkan oleh Bibi Tan. "Kalau membeli sayur, kamu ke tempat ini. Nama penjualnya Mbak Tini. Dia janda beranak satu. Suaminya pejuang dan gugur saat peperangan. Akhirnya dia menyambung hidup dengan berjualan sayur." Ungkap Bibi Tan. 

Semua informasi disampaikan, siapa tahu akan berguna bagi Dayu. Bibi Tan lantas menyapa seorang wanita muda. Dayu menaksir usianya hampir sama dengan dirinya. 

"Mbak Tini, sayur apa yang kamu punya?" Wanita yang sedang menyusui anaknya itu mendongak memandang pelanggannya. Bayi mungilnya kira-kira berumur kurang dari setahun.

"Kupikir kamu tidak datang, Bi. Seperti biasa saya punya kangkung," jawab Tini sambil menepuk pantat putranya.

"Kangkung lagi. Yang lain?"

"Ada wortel. Khusus saya sisakan buat Bibi." katanya. 

Bibi Tan menyeringai. Dagangan Mbak Tini memang hanya terlihat kangkung, bayam dan kenikir. Tak ada yang lain.

"Mbak Tini, ini kenalkan, keponakanku dari Soerakarta. Nanti kalau ada sayur spesial sisakan buatku dan buatnya ya?" pesan Bibi Tan dengan nada merayu. 

Mbak Tini tersenyum mengerti, dan menyanggupinya. "Siap, Bi," kata Mbak Tini mengeluarkan wortel dari bakul. Bibi Tan mengulurkan keranjangnya yang kemudian dipenuhi beberapa buah wortel. Setelah membayar, mereka berkeliling di tempat yang lain.

Dayu menghafalkan wajah mbak Tini dan tempat di mana dia membuka lapak jualannya. Mbak Tini berambut sepanjang separuh punggung, bila gelungannya terurai. Tahi lalat di sudut bibir bawah mempermanis wajahnya. Sedang lapak jualannya berada di sisi depan sebuah toko kain. 

Selanjutnya Bibi Tan mengajak ke tempat ayam dan ikan. Untuk ikan, mereka hanya melaluinya saja karena Bibi Tan memutuskan untuk membeli daging ayam.

"Kalau kamu butuh daging ikan, beli di tempat Cak Sholeh. Ikannya segar." Bibi Tan menunjuk lantas berbisik di dekat telinga Dayu, "jangan ditempat Cak Wi. Kadang jual ikan busuk."

Dayu hanya mengangguk dan mengingat pesan bibi Tan. "Kalau ayam, belilah di tempat Cak Rohmad. Ayam kampungnya gemuk." 

Mereka mendatangi area di mana pedagang ayam berkumpul. Bibi Tan memicing memilih ayam mana yang akan dibeli. Seorang pria tua dengan baju yang tak dikancing, sedang duduk di lantai bergabung dengan ayam yang terikat. Lelaki berkumis lebat itu mengipasi wajahnya dengan topi. 

"Cak Rohmad, pithik sing iki ya (ayam yang ini ya)!" Tunjuk bibi Tan sambil berseru. Cak Rohmad mendongak dengan senyum mengembang. Rupanya Bibi Tan merupakan pembeli pertamanya hari itu. 

"Siap, Cik!" 

Bibi Tan tersenyum puas tatkala Cak Rohmad menangkap ayam yang dimaksud dan menyembelihnya.

"Sambil menunggu, kita berkeliling melihat-lihat," ajak Bibi Tan. Dayu lagi-lagi hanya bisa menurut, seperti anak kecil yang tak ingin terpisah dari ibunya.

"Kita makan es cendol ya?" Penawaran Bibi Tan disambut dengan jawaban binar di mata gadis itu. 

Minuman cendol dawet adalah minuman kesukaannya. Apalagi cuaca panas kota Soerabaja membuat badannya menjadi gerah. "Boleh." Dayu tersenyum senang, memperlihatkan deretan geligi putihnya.

Mereka duduk di depan angkringan dawet dan seorang penjual melayani pesanan mereka. Dayu makan dengan lahap. Mereka masih bercakap seputar pasar di daerah itu dan membicarakan denah yang tak langsung dimengerti oleh Dayu.

Setelah menunggu beberapa saat, mereka mengambil daging ayam yang sudah dibungkus daun jati, kemudian memasukkan ke ranjang.

"Ayo, kita ke toko!" ajak Bibi Tan puas melihat keranjang belanjaannya dan kepunyaan Dayu sudah penuh.

Tak butuh waktu lama mereka sampai di sebuah jajaran bangunan di tepi jalan besar. Letak toko relatif dekat dengan pasar. Bibi Tan menyapa semua yang ada di toko, diikuti Dayu yang ada di belakangnya.

Bau dupa menyeruak penciumannya. Wanginya mulai dikenal di hidung Dayu sejak menginjakkan kaki di rumah keluarga Yu. Aroma hio berpendar bercampur dengan wewangian rempah obat-obatan herbal yang justru menimbulkan sensasi menenangkan. 

Dayu mengedarkan pandang ke seluruh sudut toko herbal milik keluarga Yu. Berbagai macam tanaman obat kering diletakkan di toples kaca. Di sisi dinding ada lemari yang dipenuhi laci yang bertuliskan huruf kanji.

Tampak di mata Dayu, Lian sedang sibuk menimbang dengan neraca untuk meracik ramuan obat. Sungguh sisi lain Lian yang membuat Dayu terkagum. Kemampuan meraciknya pasti tak serta merta ada dalam dirinya. Pastilah Lian sebelumnya juga mempelajari ilmu pengobatan medis timur. 

Beberapa pelanggan baik dari etnis China maupun pribumi datang dan dengan sabar menunggu obat racikan Lian. Dayu masuk ke sisi dalam toko. Dia meletakkan rantang dan kembali keluar di area depan toko. Gadis itu duduk di depan Lian yang sedari tadi tidak menyadari kedatangannya.

"Dayu," sapa Lian saat menyadari istrinya di depannya. Bola mata lelaki itu mengerling ke atas tapi wajahnya tetap menunduk memperhatikan pergerakan neraca.

"Teruskan. Aku ingin melihat." Lian kembali fokus dengan yang dikerjakan. Setelah ukurannya tepat, Lian meletakkan obat kering itu di atas kertas menjadi beberapa bagian lantas membungkusnya.

"Aku layani pelanggan dulu," kata Lian. 

Dayu mengangguk. Matanya mengikuti gerak-gerik Lian yang terlihat ramah dengan pelanggannya. Berbeda sekali saat dengan dirinya. Sesudah pelanggan membayar, Lian menemui Dayu. Lelaki itu duduk tepat di depan gadis itu sedang menumpukan pantat di kursi kayu yang tinggi.

Lian mengambil minum. Udara Soerabaja begitu panas membuat badannya berkeringat.

"Ko Lian." Panggilan Dayu membuat Lian tersedak. Dayu merogoh sapu tangannya kemudian memberikannya pada Lian

"Ko?" Alis Lian terangkat sebelah kiri. 

Alis Dayu kini terangkat dua-duanya. "Iya, ada apa?"

"Sepertinya telingaku belum terbiasa." Lian menggosok telinganya yang tak gatal.

"Lama-lama Koko akan terbiasa." Dayu terkekeh.

Lian mengusap mulutnya. Mereka diam. Canggung akan berbicara apa lagi. Suatu situasi yang sangat menyebalkan bagi Dayu karena Lian selalu diam bila bersamanya. Lelaki itu tidak berusaha mencari bahan obrolan untuk memecah kebekuan.

"Ayo, makan," ajak Dayu menyerah dengan semua kekakuan yang terjadi. Lian berdiri, berjalan mengikuti Dayu. Gadis itu kemudian membuka tiap susunan rantang dan menatanya di atas meja bundar.

Lian melirik pergerakan gadis itu. Rasa kasihan terselip dalam hatinya. Seharusnya gadis itu bisa mengabdikan ilmu kedokteran untuk melayani sesama. Namun justru sekarang, Dayu terpaksa harus memendam ilmunya sendiri dan justru berperan menjadi istri yang baik dan menantu keluarga Yu. Berbeda dengan Lian yang menyerah tak ingin melanjutkan profesinya. 

Lian tahu mata jernih itu berhasrat ingin mengabdikan ilmunya. Gadis itu pasti rindu dengan detak jantung pasien yang terdengar dari membran stetoscopenya, melakukan pemeriksaan tanda vital dan menelusuri riwayat penyakit pasien. Lian paham istrinya pasti ingin mempraktekan seni pengobatan medis barat yang telah dipelajari. Dirinya seolah mengungkung bakat dan minat perempuan itu dengan belenggu gelar : Istri Yu Lian dan menantu pertama keluarga Yu.

"Dayu, alat makannya di sana." Suara Bibi Tan mengudara dan menunjuk ke arah sebuah lemari. 

Dayu mengerti dia diminta menyiapkan alat makan untuk orang-orang yang ada disitu. Dia membuka pintu lemari dan mengambil beberapa mangkok keramik dan sumpit sesuai dengan jumlah anggota yang hendak makan siang. 

Saat berbalik, gadis itu tertegun mendapati Jiayi yang berbincang intens dengan Lian. Entah apa yang diperbincangkan yang membuat Lian harus memperhatikan ucapan Jiayi itu dengan sepenuh hati. Yang jelas, Dayu merasa apa yang mereka lakukan kurang pas mengingat Lian sudah menikah dengannya. Namun Dayu bersikap masa bodoh. Dia berusaha tak memedulikan dengan kedekatan mereka.

Dayu bergabung dan mengedarkan mangkok serta sumpit kepada semua yang ada di situ. Gadis itu duduk di sebelah Baba Ji, satu-satunya tempat yang kosong di meja situ.

Mereka mulai makan dan bercengkerama dengan bahasan yang sama sekali tidak bisa diikuti oleh Dayu.

"Dayu, kamu mirip nama Daiyu artinya giok hitam," kata Baba Ji sambil memasukkan makanan.

"Daiyu??" Alis Lian mengerut. Otaknya mencerna apa yang dikatakan sang ayah. Kemudian dia mengangguk membenarkan. Dari ekor matanya, Lian menangkap Dayu hanya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Diam. Entah dia memperhatikan atau pikirannya sibuk dengan dunianya sendiri. 

"Dayu, Fuqin mengajakmu bicara." Lian menegur sikap Dayu yang larut dalam lamunannya.

"Hah!" Wajah Dayu mendongak, meletakkan mangkok dan sumpitnya.

"Dayu. Wo daiyu. Batu giok hitam keluarga Yu yang akan menghiasi dan mengobati luka hati kami." Baba Ji menatapnya dengan pandangan teduh. Mengingatkannya pada tatapan Romo.

Dayu tersenyum miris. Apakah dia bisa mengobati luka hati padahal lara di batinnya saja masih terbuka lebar dan terasa perih. 

Lian paham tarikan bibir Dayu yang sinis. Daiyu? Giok hitam? Bagaimana bisa Fuqin memperumpamakan gadis itu seperti giok hitam. Giok hitam tak hanya bisa digunakan sebagai perhiasan tapi juga bisa digunakan untuk terapi. Analogi yang sangat tidak menyasar dan terlalu mengada-ada. Batin Lian bergemuruh.

Dayu merasa tak enak. Harapan ayah mertuanya terlalu tinggi. Untuk menjadi seorang istri sehari ini saja terasa berat. Bagaimana bisa dia memenuhi semua harapan sang mertua? Pernikahan ini terlalu berat bagi Dayu. Harus berpura-pura pada pernikahan yang sudah diberkati langit dan bumi. 

Setelah makan siang yang ramai. Dayu membereskan alat makan dan mencuci di belakang. Semua dikerjakan sendiri karena pelanggan sudah berdatangan kembali.

"Dayu, Ayi pulang dulu. Kamu bisa pulang sendiri kan?" tanya Bibi Tan. 

Dayu merasa pertanyaan itu sangat aneh. Dia hanya mengangguk meyakinkan wanita itu bahwa dirinya bukan anak kecil.

"Dayu bisa pulang sendiri, Ayi." Tangannya masih sibuk mengelap mangkok yang akan ditata kembali ke dalam lemari.

"Baiklah. Kalau begitu Ayi tinggal ya. Setelah ini sebaiknya kamu pulang, karena pekerjaan rumahmu masih banyak," pesan Bibi Tan.

"Iya, Ayi." Seperti seorang kawula alit Dayu hanya bisa mengangguk, mengiyakan semua titah Bibi Tan. Dayu mendengkus. Benar-benar dunia sudah terbalik.

Setelah semuanya selesai, Dayu membereskan rantang bersih. Gadis itu menuju ke depan, tempat Baba Ji, Paman Tan, Jiayi, dan Lian melayani pelanggan. Tak lupa Dayu menjinjing keranjang belanjaan yang terbuat dari anyaman rotan.

"Fuqin, Dayu pulang dulu ya?" pamit Dayu dari belakang punggung pelanggan yang mengantri racikan obat.

Baba Ji mendongak, melihat sekilas menantunya. "Hati-hati. Segera pulang dan jangan mampir-mampir." 

"Baik." Selanjutnya Dayu menyalami Paman Tan dan Jiayi yang sedang mengambilkan bahan obat. "Paman, Jiayi, aku pulang dulu." 

Dayu mengerling Lian yang masih sibuk menimbang obat semacam potongan tanaman rimpang kering. Dia menunggu dulu sampai Lian meletakkan neracanya. 

Gadis itu berdeham, membasahi tenggorokannya yang kering. "Ehm, Ko." Pipi Dayu memerah. Semua orang melihatnya. Tidak mungkin dia melewatkan pamit dengan suaminya ketika pulang. Mau ditaruh mana muka keluarga Yu mempunyai menantu yang tak bisa menghormati suaminya. Akhirnya Dayu memilih mengalah. Gadis itu mengulurkan tangannya. "Aku pulang dulu ya?" Senyumannya terukir dengan paksaan di wajah. Lian tertegun mendapati sikap Dayu yang tak biasa. 

Dayu menaikkan alisnya. Gerakan dagunya memberi tanda agar Lian menyambut jabatan tangannya. Lian paham, dan menerima uluran tangan Dayu. Gadis itu lalu mencondongkan badannya dan mencium punggung tangan Lian, membuat raut muka Lian memerah. Baba Ji pun tertegun beserta semua yang ada di situ.

Lian mematung saat bibir Dayu menyapu punggung tangannya. Baru kali ini dia dicium punggung tangannya sebagai tanda bakti istri pada suami. Jantung Lian bergemuruh. Pernikahan ini terlihat nyata. 

"Aku pulang ya?" kata Dayu lagi

"Ah, iya," jawab Lian terbata.

Dayu tersenyum canggung. "Bisa lepaskan tanganku?" Bola mata Dayu mengarah pada tangan Lian yang masih menjabat tangan kecil Dayu. Sontak Lian terkejut dan melepas tangannya, membuat orang-orang di situ terkekeh melihat reaksi pemuda rupawan itu.

Lian berdeham. Kepalan tangannya terangkat menutup bibir. Dia mengatur ekspresi seperti sedia kala.

"Hati-hati," pesan Lian dibalas anggukan dan senyuman Dayu.

Dayu keluar dengan senyuman yang masih terpajang di wajahnya. Entah kenapa dia menikmati ekspresi Lian yang tertegun. Begitu aneh. Rasanya Dayu ingin sekali tertawa saat melihat muka konyol sang suami. Dia melipat bibir dengan wajah memerah. Kaki Dayu menendangkan kuat batu yang ada di pinggir jalan.

***

Toko tutup pada pukul 5 sore. Kepiawaian Baba Ji dalam mendiagnosa dan meracik obat cepat sekali dikenal oleh masyarakat kampung pecinan. Banyak orang datang ingin merasakan obat herbal racikan keluarga Yu.

Lian dan Baba Ji pulang dengan naik sepeda onthel. Jarak rumah dengan toko lumayan jauh. Dengan adanya sepeda onthel itu akan memudahkan transportasi mereka. Dalam perjalanan pulang sore itu, Lian melihat banyak sekali pasukan kempetai yang lalu lalang. Sosok tentara itu mengingatkan Lian pada kejadian yang tidak menyenangkan di masa lalu sekaligus peristiwa beberapa hari lalu di stasiun Djakarta. Jantungnya seketika berdebar dengan peluh tipis merembes di dahinya.

"Lajukan saja sepedanya. Jangan lihat kanan kiri." Baba Ji yang membonceng di belakang mulai merasakan laju sepeda yang oleng. 

Lian merasa tenang saat mengetahui sang ayah ada di belakang punggungnya. Otaknya kemudian teringat pada Dayu, istrinya.

Beruntung Dayu sudah pulang.

Tak memakan waktu lama, mereka sampai di halaman. Baba Ji segera turun dan mengetuk pintu. Namun, tak ada jawaban dari dalam.

"Ada apa, Fuqin ?" tanya Lian dalam bahasa China.

"Pintunya dikunci Dayu. Sepertinya dia tidur atau di belakang." Baba Ji mengeluarkan kunci duplikat lantas membuka pintu itu. 

Suasana rumah sepi dan gelap saat pintu terbuka. Baba Ji langsung masuk ke dalam kamarnya sementara Lian memosisikan sepedanya dahulu di sisi kanan dalam ruang tamu agar tidak menghalangi jalan. Sesudahnya dia masuk ke dalam kamar. Tapi, tetap saja  tidak mendapatinya Dayu. Kamarnya masih sama kosong seperti keadaan di ruang tamu. 

Mungkin dia di belakang, pikir Lian.

Lian memutuskan untuk segera mandi karena badannya yang berkeringat terasa lengket. Air sumur yang menyeka badannya sangat menyegarkan. Lian keluar dari kamar mandi bertelanjang dada dengan handuk terlilit di pinggangnya karena dia lupa membawa baju ganti.

"Xiao An, Dayu tidur?" tanya Baba Ji yang sedang memeriksa daun herbal yang kering.

"Dia tidak ada di kamar. Bukannya dia di belakang?" jawab Lian sambil menggosok rambutnya dengan handuk kecil.

"Di belakang pun tidak ada." Baba Ji akhirnya menoleh memandang Lian. 

Alis Lian mengernyit merasa terjadi ketidak beresan.

"Jangan-jangan." Lian teringat kembali kempetai yang berkeliaran. Lelaki lantas berlari menuju kamarnya, memasang asal baju yang ditariknya dari lemari.

Dayu, kamu sungguh menyusahkan! Jangan bilang kamu kebelet lagi.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro