Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵15. Kelas Menjadi Istri🏵

Pelajaran menjadi istri yang baik bagi Yu Lian akhirnya dilaksanakan. Menurut Dayu, lebih mudah baginya belajar buku tebal tentang pelajaran kedokteran dan menghafal pernak-pernik kecil tubuh manusia daripada harus melakukan pekerjaan seorang istri. 

Teori menjadi istri tidak mempunyai diktat. Dayu mencatat cerocosan tiada henti Bibi Tan yang mendadak menjadi guru. Gadis itu terpaksa belajar otodidak untuk mengasah kemampuan menjadi istri dan menantu yang profesional. Belajar sambil melakukan secara langsung. 

Bibi Tan berpendapat bahwa menjadi seorang istri harus profesional. Tidak hanya para pria saja yang bekerja di luar yang memerlukan profesionalitas. Bila tidak, pekerjaan Dayu akan menumpuk setiap hari. Itulah yang disimpulkan dari kuliah kilatnya pagi ini. 

Dayu sudah membayangkan akan ada banyak sekali yang harus dikerjakannya dari pagi sampai malam. Dayu teringat, dulu dia sering mencak-mencak karena ada pekerjaan embannya yang tidak sesuai dengan kehendak hati. Ternyata memang melakukan pekerjaan rumah juga tidak mudah. 

Dayu mendengus dengan pemikirannya bahwa ibu rumah tangga tidak bekerja. Selama ini, dia menganggap para perempuan di desanya tidak bekerja karena sering terlihat mengobrol di depan rumah sambil mencari kutu rambut temannya. Ternyata mereka melepas lelah dengan bercerita, berbagi kepenatan dengan rutinitas sehari-hari yang sama. Entah itu dibumbui dengan cerita mertua yang galak, atau suami yang tidak pengertian. 

Ternyata memang banyak sekali yang harus dikerjakan seorang istri dari awal membuka kelopak mata sampai menutup mata lagi. Bahkan, masih harus melakukan pekerjaan tambahan, yaitu melayani suami atau menyusui bayinya. 

Dayu baru menyadari. Saat cita-citanya ingin berguna menjadi pelayan masyarakat, di rumah keluarga Yu, Dayu merasa tidak bisa apa-apa. Dia harus belajar dari nol. Sindroma Tuan Putri yang diidapnya begitu kronis. Membuat Dayu tak melek pekerjaan rumah.

Dayu juga merasa, roda kehidupannya berputar. Dulu saat gadis itu di atas, dia hanya tahu memerintah, atau marah bila ada sesuatu tak sesuai dengan kehendak hatinya. Sekarang Dayu berada dalam titik terbawah. Dimana dia harus bangkit, dan berusaha untuk menjalani semua yang tak pernah dia lakukan.

***

Setelah Yu Lian dan Baba Ji berangkat ke toko herbal, bersama Paman Tan dan Jiayi, tinggallah Dayu bersama Bibi Tan yang ternyata sangat mengerikan ketika berperan sebagai seorang guru. Wanita Tionghoa itu berusaha menjejalkan semua teori sekaligus praktek dalam waktu yang singkat. Dayu sudah siap dengan daun telinganya yang terbuka untuk menangkap semua informasi, sebuah catatan kecil dan pena.

"Dayu, catat resep masakan kesukaan keluarga Yu." Bibi Tan mendiktekan macam-macam resep makanan yang hampir semua masakan lokal dari Negeri Panda. Ada udang goreng saus tiram, capcay, fuyunghai, sup sarang burung, bakcang, bakpau, pangsit, dan menu lainnya.

Dayu harus mengeja dan sesekali melongokkan wajahnya ke arah Bibi Tan dengan pandangan bertanya. Membuat Bibi Tan geram karena harus mengulangi ucapannya. 

Hah, kapan aku akan makan sayur bening, ikan asin, sambel korek, tempe goreng.

Batin Dayu protes walaupun jemarinya masih menggenggam pena untuk menorehkan coretan di atas buku catatan. Kecepatannya menulis yang hurufnya terlihat seperti sandi rumput berhasil mengimbangi kecepatan gerak bibir Bibi Tan. Tulisannya kini menyerupai tulisan seorang dokter di kertas resep. Hanya peracik obat dan dokternya saja yang mampu membaca. 

Bibi Tan menumpukan sikunya di atas meja, sementara giginya menggigit kuku jempol kanan. Alisnya yang digambar bertaut satu sama lain. Wanita paruh baya itu masih berpikir apa saja yang harus ia beritahukan pada istri Yu Lian. Dia tahu sekelumit kisah Dayu. Mendengar menantu keluarga Yu yang merupakan 'tuan putri' di keluarga Raden Wedana membuat Bibi Tan harus memberikan banyak informasi.

Begitu ada jeda, Dayu bertanya, "Untuk makan siang kita akan masak apa, Ayi?" Dayu menatap resep makanan yang telah dia catat. Tatapannya pasrah seperti menemukan kasus penyakit yang sulit ditangani.

"Untuk makan siang, kita akan masak tumis brokoli dan ikan goreng." Dayu mendongak, melongo karena menu itu tak ada di dalam resep yang dia catat.

"Tapi disini tidak ada."

"Eh, menu ini tidak setiap hari dimasak. Bisa bangkrut nanti keluarga Yu. Kalau harian kamu masak seadanya. Macam tumis kangkung, bayam kuah bening, tempe goreng. Apapun yang biasa disantap oleh orang sini. Lidah mereka cepat beradaptasi dengan makanan lokal." Mata Dayu berbinar.

"Ah, kupikir aku tidak akan bisa memakan itu makanan lokal." 

Bibi Tan terkekeh. "Memang kamu bisa memasak?" tanya Bibi Tan yang meragukan kelincahan Dayu di dapur. 

Dayu meringis konyol. "Saya bisa belajar memasak mulai sekarang, Ayi," jawab Dayu membuat Bibi Tan tersenyum. Ternyata ada gadis lain yang lebih parah dibanding Jiayi.

"Mereka ada di perantauan. Harus irit dalam pengeluaran. Kamu sebagai istri juga harus bisa atur keuangan. Mengerti?" 

Dayu mengangguk. 

Bibi Tan menepuk punggung tangan Dayu. Dia merasa kasihan gadis itu terlihat tak siap untuk menikah.

***

Siang itu, Bibi Tan langsung mengajak Dayu ke dapur untuk praktek memasak. Dayu berusaha mengikuti instruksi wanita itu, mulai dari mengupas bawang putih dan memotong brokoli.

"Dayu, brokoli itu terlalu besar 
irisannya. Usahakan yang memakan tidak perlu repot memotong atau menggigit makanannya lagi!" 

Seruan Bibi Tan terdengar, disusul seruan yang lain. "Bawang putihnya digeprek saja, Dayu." 

Belum selesai melakukan perintah yang satu, Bibi Tan sudah menginstruksikan yang lain. "Ini bersihkan ikannya." 

Tidak ada lima menit membersihkan ikan, suara melengking terdengar lagi. 

"Dayu! Ikannya hancur kalau kamu mencucinya seperti itu!" 

Dan semua seruan keluar dari bibir Bibi Tan dari awal sampai akhir membuat Dayu pening. 

"Sudah goreng ikannya? Sambil goreng kamu bisa memasak brokolinya!" perintah wanita paruh baya itu.

Dayu memastikan minyak dalam penggorengan telah panas. Dengan hati-hati gadis memasukkan ikan ke dalam wajan. Lebih tepatnya melempar ikan berbumbu itu. Kaki Dayu mundur teratur, saat minyak panas memercik kemana-mana.

"Dayu! Kamu kira kamu sedang main lempar batu ke sungai? Bukan seperti itu memasukkan ikan dalam minyak," sergah Bibi Tan tak sabar. "Seperti ini cara memasukkan ikannya supaya minyak tidak memercik kemana-mana." Bibi Tan memberi contoh, membuat Dayu takjub. Tangan Bibi Tan terlalu dekat ke permukaan minyak, tapi justru minyaknya tak memercik kemana pun.

"Ayi hebat,"puji Dayu tulus. Bibi Tan mencibir

"Dengar, Dayu! Bibi tahu pernikahanmu ini tiba-tiba. Namun supaya kamu bisa mengambil hati suamimu, beri dia makanan enak. Karena cinta bisa datang ketika kamu mampu memanjakan lidahnya."

Dayu mengernyit.

"Memanjakan lidah?" Dayu kemudian memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan lidah. Tapi yang dibayangkan justru bibir Yu Lian yang merah dan permainan lidah yang dibacanya dalam novel-novel dewasa. Pipi Dayu memerah memikirkan imajinasinya.

"Apa yang kamu pikirkan?" Bibi Tan terkekeh karena melihat reaksi Dayu yang aneh. "Maksud bibi, dari makanan enak yang tersaji, suamimu bisa jatuh cinta denganmu. Ehm, dari mulut turun ke perut. Bukankah hati ada di perut? Perut kenyang hatipun riang." Dayu mengangguk-angguk.

"Untuk mencuci dan menyetrika aku tidak perlu mengajari, karena pasti kamu sudah bisa." Bibi Tan mengambil sendok lalu menyarukkan ke kuah tumisan untuk mengetes rasa. "Nikmat! Sekarang kamu persiapkan semua di rantang. Kita akan berangkat ke pasar dahulu sebelum ke toko."

Setelah semua siap, Dayu mengikuti Bibi Tan berjalan ke pasar. Kedua wanita itu berjalan beriringan sesekali berceloteh. Ada saja topik obrolan Bibi Tan. Mulai dari awal mula pertemuannya dengan Paman Tan Liang sampai pengalamannya melahirkan Jiayi.

"Ayi, kalau boleh tahu kenapa istri Koko Lian  meninggal?" tanya Dayu dengan ekspresi bahwa percakapan itu tidak terlalu penting. Padahal dalam hati rasa penasarannya begitu tinggi.

Bibi Tan menengok ke arah Dayu. Alisnya menyatu di pangkal hidung. "Loh, kamu tidak tahu ceritanya?"

Dayu menggeleng. "Saya hanya tahu Koko sudah pernah menikah dan istrinya meninggal."

Bibi Tan mendesah panjang. Pandangannya menjadi sendu dan menerawang jauh. "Yu Lian dulu ikut bergabung dalam pasukan pemberontak di tanah airnya. Dia berjuang mati-matian melawan Jepang begitu dia lulus dari Leiden. Kamu tahu, dia seorang dokter sama sepertimu!" Dayu membelalak tak percaya yang didengarnya. 

"Dokter?" Mulut Dayu menganga

"Lulusan Universitas Leiden di Kerajaan Belanda." Bibi Tan menambahi, membuat mata Dayu semakin membulat. "Tapi nahas, pada hari pernikahannya, Kempetai menyergap dan menembak semua yang hadir. Dalam keadaan yang tak menguntungkan, istrinya diperkosa di depannya. Sementara adiknya juga mengalami nasib yang sama. Bibi ingat, Xiao An hanya mengerang, berteriak dan menyampaikan sumpah serapah yang mengerikan. Setelah selesai melampiaskan nafsunya, istrinya menghujamkan katana itu ke lehernya."

Dayu menutup mulutnya yang menganga lebar dengan kedua tangan. Matanya berkaca tak pernah menduga nasib menyakitkan yang pernah dialami oleh suaminya. 

Tiba-tiba dada Dayu merasakan sakit yang luar biasa. Kesedihan merambat di hatinya. Dayu bisa merasakan luka batin Lian saat yang dikasihi tertembak.

Dayu termenung larut dalam pemikirannya. Yu Lian seorang dokter? Bagaimana bisa dia seolah bukan siapa-siapa?

Ingatan Dayu melayang pada peristiwa beberapa hari lalu di rumah bordil. Cara Lian mengobati lukanya memang bukan seperti orang awam.

Yu Lian adalah dokter lulusan Universitas Leiden dimana para guru besar di GHS belajar?

Dayu bergidik. Yu Lian lagi-lagi mempunyai sisi lain yang tak ia ketahui.

Yu Lian, siapa kamu sebenarnya? Alis Dayu mengernyit. Matanya menatap nanar, dan sudut bibir bawah kirinya digigit erat.

Suara Bibi Tan menyadarkan Dayu saat mengajaknya menyeberangi jalan.

"Dayu, ayo menyeberang. Pasarnya ada di depan!" tunjuk Bibi Tan.

Dayu mempercepat langkah. Dirinya teringat akan adik Yu Lian yang tadi disebut Bibi Tan. Ia pun meneruskan topik itu, "Ayi, adik Ko Lian dimana sekarang?"

"Meninggal. Dia juga diperkosa. Saat melihat kakaknya hendak ditembak kempetai yang merupakan sahabat kecilnya, gadis itu lari untuk menjadi tameng. Kamu tahu mengingat hari itu Ayi jadi sedih karena sejak saat itu Lian tak mau mengamalkan ilmunya lagi. Dalam keterpurukannya dia berusaha menolong istri dan adiknya, alih-alih mengobati luka yang ada di punggungnya. Meraung dia memanggil Yi Jie dan Yan Ni berharap mereka selamat." Bibi Tan mengembuskan napas panjang. "Sudahlah, jangan diingat-ingat dan jangan bilang Xiao An, Ayi sudah menceritakan semuanya. Sekarang dia sudah hidup dengan tenang sebagai seorang pengobat medis timur, keahlian warisan keluarganya. Dan tentu saja, dia sudah mempunyai istri berparas manis dan cerdas seperti kamu Dayu."

Dayu tersenyum simpul. Dia bersyukur nasibnya masih lebih bagus dari lelaki itu. Gadis itu sempat berpikir dengan menyembunyikan keahliannya sebagai seorang dokter akan membuat hidupnya menderita. Sebenarnya Dayu ingin jauh bertanya pada Bibi Tan tentang Yu Lian. Kenapa dia menjadi pasukan pemberontak, kenapa kempetai menyergapnya? Kenapa dia menyembunyikan identitasnya sebagai dokter? Semua ganjalan pertanyaan itu menyergap hatinya. Sungguh Yu Lian menjadi sosok misterius bagi Dayu.

"Dayu,"panggil wanita yang masih berparas cantik walau bertubuh subur di usia 50 itu "tolong jaga Xiao An. Belajarlah menyayanginya. Dia membutuhkan kasih sayang dari seorang wanita. Setelah kehilangan ibu, adik dan istri, hidupnya seolah ikut mati. Dan sepertinya kehadiranmu memberi warna bagi dia."

"Saya seperti cat ya, Ayi?"

Bibi Tan memajukan bibir mengangguk-angguk. "Bisa jadi dan tugasmu adalah mewarnai hari Yu Lian dengan kebahagiaan."

Dayu berjalan dengan langkah gamang. Semua informasi baru itu tercerna di otaknya menimbulkan rasa ingin tahu yang besar. Benar kata orang jaman dulu : "kita jangan selalu menengadah tetapi juga kita kadang harus melihat ke bawah". Selama ini Dayu terlalu merutuki nasib buruknya, sehingga tak menyadari bahwa orang yang mengulurkan tangan kepadanya mempunyai nasib yang tak kalah mengerikan dari dirinya.

Mungkin Dayu selama ini tidak bersyukur. Selalu mengeluh dan tidak ada rasa terima kasih karena sudah ditolong oleh keluarga Yu yang sudi melindunginya dari ancaman tentara Jepang.

Lambat laun Dayu sadar. Gerutuannya selama ini bukan apa-apa dibanding rasa pedih yang dipendam seorang anak sulung keluarga Yu. Dayu pun malu, karena mengagung-agungkan gelar dokternya, tanpa mengetahui seorang dokter lulusan Kerajaan Belanda ada di hadapannya. 

Dokter itu pun bukan dokter biasa. Selain ilmu pengobatan medis barat yang dikuasainya, dia juga mempunyai keterampilan turun temurun keluarga Yu. Serasa ilmu yang didapatnya di bangku kuliah hanya seujung kotoran kuku. Membuktikan peribahasa di atas langit, masih ada langit.

Dayu tertampar.

Malu ….

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro