Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏵11. Rumah mertua🏵

Hi..Dee up lagi..
Yuk yang dermawan ngasih komen n votenya..
Biar tambah semangat 45 nulisnya..
Happy reading ya readers

♥️♥️♥️

Perasaan Dayu masih kesal karena lelaki yang menjemputnya itu menyembunyikan status sebagai duda. Namun, lagi-lagi gadis itu tak bisa berbuat apa-apa. Hidupnya sekarang tak tentu arah, dan hanya Lian yang mampu menggandengnya.

Mereka masih duduk di tepi jalan. Masing-masing dengan pikirannya. Dayu dengan kekesalannya, sementara Lian berpikir lebih logis. Otak lelaki itu berputar untuk mencari cara agar bisa mencapai rumah tanpa diberondong keluhan dari Si Tuan Putri.

Tak terasa matahari menyapa mereka. Sinarnya membuat silau pandangan keduanya. Waktu di arloji gantung yang terselip di saku Lian sudah menunjukan pukul 7.

Dari jauh terdengar bunyi derap kaki kuda. Lian menoleh dan matanya berbinar saat melihat sebuah delman bergerak mendekat ke arah mereka. Lelaki itu segera berdiri dan berlari kecil menghampiri bapak kusir paruh baya yang sedang mengendalikan kuda.

Dayu masih merengut. Sesekali gadis itu memainkan ujung sepatunya untuk membuat goresan di tanah.

Kusir itu menarik kekang untuk menghentikan langkah kuda dan berhenti di depan pemuda jangkung berkulit terang.

"Pakde, permisi. Bisa antar kami ke alamat ini?" Lian menyodorkan kertas itu.

Pak kusir tertawa, menolak kertas itu. "Saya tidak bisa membaca, Den. Katakan saja Den Koko mau kemana, akan saya antar," kata Pak Kusir itu.

Lian memicingkan mata, mengeja kata-kata dalam huruf tegak bersambung yang seperti sandi rumput saking tidak jelasnya. "Kampung pecinan Tambak Bayan, Pakde. Tadi kami dari stasiun, tapi sepertinya kami tersesat."

"Jelas, Den. Arahnya saja berkebalikan. Tambak Bayan arahnya ke sana." Kusir itu menunjuk dengan pecut yang dipegangnya.

"Baik, Pakde. Antar kami ya?" Lian berbalik, memanggil Dayu yang terlihat masih merajuk. "Dayu, ayo naik!"

Dayu melirik dengan kelopak matanya separuh terbuka membuat wajahnya tidak enak dipandang. Lian menghela napas. Kalau saja gadis itu bukan adik Daru, dia akan meninggalkan gadis itu.

Sabar, sabar. Berulang kali Lian menggumam meminta kekuatan untuk memanjangkan ususnya.

Lian menghampiri Dayu untuk mengambil ransel dan koper. Lantas lelaki itu mengulurkan tangan, membuat sinar matahari yang berada di belakangnya memendarkan cahaya, sehingga tubuh dan wajahnya bersinar.

"Aku bisa sendiri."

Lian mengendikkan bahu. Dayu berdiri, lalu bergegas menghampiri delman yang akan membawa ke rumah baru keluarga Yu.

Lian berjalan di belakang Dayu yang kemudian naik ke atas delman. Lelaki itu berusaha memastikan Dayu naik dengan selamat, tetapi lagi-lagi gadis itu menolak pertolongannya.

Sungguh perempuan yang membuat susah! Tak tahu maunya apa? Apa pentingnya aku memberitahu statusku? Apa perlu di jidatku ditulis 'Duda'! Merepotkan!

Setelah Dayu duduk dengan nyaman, barulah Lian mengulurkan barang bawaannya yang diterima oleh kusir dan ikut naik ke atas delman itu.

Kusir mulai melayangkan pecutan pada tubuh kuda yang membuat dua kuda itu berlari menarik kereta yang ditumpangi Lian dan Dayu. Tubuh penumpang yang ada di dalam kereta kuda bergoyang seiring hentakan derap kaki kuda yang berlari. Angin pagi yang berembus mempermainkan anak rambut Dayu yang dikepang satu. Melihat rambut Dayu yang berulang kali menutup wajah tirusnya, membuat Lian gemas ingin menyibakkan ke belakang telinga.

Entah kenapa, Dayu dengan anak rambut yang sebagian terurai acak membuat gadis itu terlihat 'lain' di mata Lian. Sebagai lelaki, Lian menilai Dayu tak buruk-buruk amat. Bisa dibilang, wajah Dayu terbilang ayu sebagai perempuan Jawa dengan mata besar, bibir yang penuh, hidung yang lumayan menonjol, dan wajah bulat telur pas tak kurus dan tak gemuk.

Diakui Lian, gadis itu berotak cerdas, dan berkemauan tinggi. Tak hanya cerdas intelektual, namun pengaturan stressnya pun sungguh bagus. Melihat hal menakutkan seperti itu, Lian membayangkan gadis itu pasti akan menangis meraung sepanjang perjalanan. Namun, Dayu tidak melakukannya. Walau Lian tahu dalam diamnya, Dayu menyimpan lara.

Hanya satu kekurangan Dayu, sifat arogan dan tak mau kalahnya membuat Lian sepertinya harus segera memasok kembali cadangan kesabarannya. Seandainya sabar bisa dibeli, Lian akan memborongnya, karena pasti akan susah menghadapi gadis itu.

Dayu mendapati Lian memandanginya. Selisih umur mereka sebenarnya tak cukup jauh, tapi Lian terlihat sangat dewasa di mata Dayu. Gadis itu mencap mencep sambil memalingkan pandangannya. Ia memilih melihat pemandangan yang ditinggalkan di belakang mereka.

"Kok diam-diaman? Lagi berantem ya?" Pak Kusir membuka suara untuk mengusir kecanggungan situasi di atas kereta berkuda itu.

Lian tertawa canggung. "Biasa, Pakde. Membawa anak kecil harus sabar. Gampang merajuk."

"Siapa bilang aku anak kecil?" Dayu melotot.

"Itu. Sikapmu yang seperti anak kecil." Lian menunjuk Dayu dengan gerakan kepalanya. Alisnya terangkat membuat dahinya berkerut. "Kalau gadis dewasa, tidak sedikit-sedikit marah. Setahuku putri Soerakarta kalem-kalem, tapi kamu seperti singa beranak yang kelaparan."

"Yu Lian! Bisa tidak kamu tidak membuatku kesal sedetik saja!"

Pak Kusir tersembur tawanya. "Kalian pasangan muda memang penuh gairah," komentar Pak Kusir.
"Penuh gairah?" Bola mata Dayu membulat. Otaknya mempersepsikan gairah sebagai suatu dorongan hasrat terhadap 'sesuatu'.

"Maksudnya Pakde, kita terlalu bersemangat." Lian membetulkan pemahaman Dayu ketika mendapati reaksi gadis itu yang merah padam.

"Ya, ya. Semangat muda." Pak Kusir memperjelas.

Namun otak Dayu sudah terlanjur menangkap kata 'gairah'. Beberapa jam lagi, dia akan menjadi istri Yu Lian, dan malam nanti adalah ....

Malam pertama? jerit Dayu dalam hati.

Dayu memiringkan duduknya menghadap ke depan. Wajahnya dipalingkan ke arah luar delman membelakangi Lian. Gadis itu menggigit bibir. Ia tidak pernah terpikir kalau menikah akan berimbas ke urusan ranjang. Sekarang kepalanya berkelibatan kekhawatiran akan konsekuensi dari pernikahannya hari ini.

Duh Gusti, harus kah aku melakukannya? Aku belum siap. Hatiku belum siap. Bagaimana mungkin melakukan itu semua tanpa cinta. Sama halnya kami seperti binatang primata, yang melakukan kawin karena birahi semata.

Dayu mengepalkan tangan erat. Dia menggigit buku jarinya. Dia ingin mundur dari rencana buruk ini.

Apa yang harus aku lakukan? Apa dia termasuk lelaki hidung belang, yang bisa melakukannya dengan sembarang perempuan?

Riuhnya percakapan antara Lian dengan Pak Kusir yang sangat bersahabat tak dihiraukan oleh Dayu. Seolah semua samar dan kabur.

Tinggal dia sendiri. Dengan kecemasan yang meliputi.

Dayu, tenang. Atur napas panjang. Kamu bisa bernegosiasi dengannya nanti.

Dayu paham maksud Lian. Walau pernikahan ini paksaan, Lian mengatakan bahwa pernikahan ini bukan pura-pura. Pernikahan nyata dengan segala konsekuensinya.

Dayu mengembuskan napas panjang seolah ingin menghalau cemas. Akhirnya mereka sampai di depan rumah yang ditunjukkan dalam denah Paman Tan.

"Sini, Den."

Lian memicing. Ia bahkan tak mengenali rumahnya sendiri. Sebuah rumah sederhana berarsitektur Belanda yang dibeli dari Paman Tan, teman baik Baba Ji . Rumah itu terletak di tengah perkampungan etnis Tionghoa yang memang sudah ada sejak jaman pemerintahan Kolonial.

"Saya turun dulu, memastikan ini rumah saya, Pakde."

Dayu menyingkirkan kakinya memberi kesempatan untuk Lian melompat turun. Lelaki itu berlari ke dalam halaman dan mengetuk pintu yang terbuka.

Suara ketokan menggema, mengundang pemilik rumah keluar untuk melihat siapa yang datang. Baba Ji keluar dari ruang tengah. Wajahnya berseri melihat anak sulungnya datang dengan selamat dari perjalanan panjang.

"Haya, Xiao An, kamu sudah datang, Nak." Suara Baba Ji dalam bahasa China terdengar nyaring saat melihat siapa yang mengetuk pintu.

Lian tersenyum.

"Shi de, Fuqin (Iya, Ayah)." Lian menyalami dan memeluk ayahnya.

Lian melihat sekilas ke dalam rumah. Ruangan di dalam tampak ramai dengan beberapa orang yang belum ia kenal. Mereka bersuka ria mempersiapkan pernak-pernik pernikahan. Membuat Lian tersadar, bahwa hari ini adalah hari pernikahan. Hari dimana dia harus melepaskan bayangan Ke Yi Jie, untuk menerima Dayu masuk dalam hidupnya.

"Ayo, bawa masuk, Dayu. Kita sedang mempersiapkan pernikahannya." Senyum Baba Ji tidak bisa terhapus. Lelaki tua itu sungguh senang akhirnya anaknya mau menikah lagi setelah tragedi yang dulu terjadi dalam hidup mereka.

Lian melihat sekilas ornamen khas pernikahan sudah ditata di rumah. Warna merah yang menyala mendominasi, mengingatkan pada pernikahan pertamanya.

"Iya, Fuqin." Lian berbalik dan kemudian keluar mendapati Dayu.

"Betul di sini rumah saya," kata Lian pada sang kusir. Ia kemudian berjalan ke belakang delman. "Ayo, Dayu turun."

Gadis itu turun dengan canggung. Jantungnya berdetak keras. Bagaimanapun dia merasa asing dengan keluarga itu. Lian menerima koper dan ransel yang segera ditenteng di bahunya. Ia meletakkan koper di atas tanah, untuk mengambil dompet. Setelah membayar, Pak Kusir kembali menghentakkan tali kendali membawa delmannya berlalu dari depan rumah keluarga Yu.

Dayu berdiri sambil menatap nanar delman yang menjauh. Rasanya dia ingin ikut pergi bersama kereta kuda itu. Namun gadis itu tak punya tujuan. Satu-satunya yang menjadi tujuannya adalah rumah keluarga Yu. Untuk menutupi kecanggungan, Dayu menjinjing koper miliknya saat Lian memasukkan kembali dompet ke saku belakang celananya.

"Sini aku bawakan." Lian mengambil alih koper itu dan segera masuk ke dalam halaman. Langkah Dayu terasa berat seperti berjalan dalam lumpur hisap.

Lian sudah bergegas menghampiri undakan yang langsung berhubungan dengan pintu. Di ambang pintu depan, pria paruh baya yang wajahnya serasa duplikat dari Yu Lian menunggu keduanya.

Baba Ji tak sabar menunggu Dayu, kemudian bergegas menghampiri dan menyongsong gadis yang akan menjadi menantunya.

Lian tersenyum simpul mendapati wajah semringah ayahnya. "Fuqin, ini Dewi Andayu, adiknya Dewandaru." Lian memperkenalkan Dayu. "Ini ayahku, Dayu. Panggil beliau, Fuqin. Yang artinya ayah dalam bahasa China."

"Haya, selamat datang di rumah keluarga Yu. Mari masuk."

Senyuman yang tergambar di wajah Dayu begitu kaku. Ia canggung dengan keramahan Baba Ji. Gadis itu lalu masuk dengan tatapan kosong.

Semua baru baginya. Kota baru, budaya baru, keluarga baru.

"Mandilah dulu Dayu dan Xiao An. Setelahnya kalian bisa istirahat sebentar dan menjelang sore, Tan Ayi (bibi) akan mendandanimu," terang Baba Ji, "Oya, kamar kalian di depan, dan kamu Xiao An, pakailah kamar Fuqin dulu. Setelah kalian menikah barulah kamu boleh masuk ke kamar pengantin."

Lian menurut, lantas masuk ke kamarnya dulu untuk menaruh koper. Kamar itu sudah didekorasi seadanya sebagai kamar pengantin. Dayu masuk beberapa saat kemudian. Matanya mengerjap saat melihat kemeriahan kamarnya.

"Aku akan mandi dulu, kamu bisa istirahat dan menata isi kopermu di lemari itu." Tunjuk Lian, kemudian keluar dari kamar meninggalkan Dayu yang termangu sendiri.

Bola mata hitam Dayu menyisir semua ruangan yang tak terlalu luas. Di salah satu sisi ada tempat tidur berukuran besar dengan sprei merah dan kelambu transparan warna senada. Sebuah meja tulis di sisi lain kamar, dan terdapat satu lemari kayu yang dipakai berdua dengan Lian.

Dayu berjalan pelan menghampiri kasur kapuk yang terbilang keras. Tatapannya kosong. Dia menundukan wajahnya tak percaya dengan apa yang terjadi. Dia memendam apa yang dirasakan. Di saat sendiri seperti ini, gadis itu barulah bisa meluapkan perasaannya.

Tubuh Dayu bergetar dengan isakan yang teredam. Suaranya nyaris tak terdengar, walau dia ingin teriak. Guncangan punggungnya semakin keras tatkala kenangan Yudha yang terkapar tak berdaya melintas di otaknya.

Dayu merasa sendiri. Sepi, walau di luar riuh suara orang-orang yang mempersiapkan pernikahannya.

Sebentar lagi dia akan menikahi orang yang tak dicintainya. Dayu harus melepaskan semua kenangan dan rasa cintanya pada Yudha demi keselamatan dan rasa nyaman daripada hidup dalam pelarian.

Maafkan aku, Mas Yudha. Maafkan aku. Tidak seharusnya aku pergi. Seharusnya aku percaya kamu akan datang saat hari wisudaku.

Lian yang hendak mengambil baju ganti urung masuk. Dari pintu yang terbuka sedikit itu, matanya menangkap getaran hebat tubuh Dayu. Pendengarannya pun mampu menyerap gelombang suara pilu yang membuat hatinya miris.

Pernikahan ini memang dipaksakan, demi menyelamatkan hidup Dayu dari kecaman perburuan Dai Nippon. Lian tak menyangkal bahwa pernikahan ini akan menyulitkan Dayu. Menjadi bagian keluarga Yu tak semudah itu. Apalagi menantu keluarga Yu harus bisa mengurus rumah tangga, dan satu hal yang penting.

Meneruskan keturunan marga Yu.

===PEONY===

💕Dee_ane💕💕

Gaya judesnya Dayu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro