🏵10. Tersesat🏵
Lian mengulurkan tangan sambil memberikan senyuman. Dayu terpana, laki-laki berwajah datar itu bisa tersenyum. Gadis itu pun tak menyangka pemuda berdarah asli dari Negeri Tirai Bambu itu mengucapkan kata selamat datang di Soerabaja dalam bahasa Jawa yang halus.
Dayu menerima uluran tangan Lian. Dengan sekali tarikan, badannya bersatu dengan udara dan mendarat dengan manis saat kedua kakinya menginjak di permukaan lantai peron. Lian melepas pegangan tangannya saat yakin Dayu berdiri sempurna di sebelahnya.
Hari masih subuh. Jarum di jam dinding besar yang menggantung di stasiun menunjukkan pukul 04.30. Udara Soerabaja di pagi hari tidak dingin, layaknya desa tempat Dayu dulu tinggal. Bisa dipastikan suhunya hampir sama dengan Djakarta.
Suasana subuh itu sangat ramai karena ada penumpang yang turun, dan ada beberapa yang naik hendak melakukan perjalanan menuju Banyoewangi, kota paling ujung timur pulau Jawa.
Lian masih sibuk menjinjing koper dan menggendong tas punggungnya. Sementara Dayu berjalan cepat di sebelahnya dengan untuk mengimbangi langkah lebar kaki Lian saat berjalan.
"Tunggu! Jalanmu terlalu cepat!" seru Dayu berusaha menyusul Lian.
Lian hanya menoleh sedikit, mengerling lantas melanjutkan perjalanannya.
Saat tiba di depan stasiun, Dayu dan Lian hanya bisa mengerjap. Tidak tersisa satu pun becak dan delman bagi kedua orang itu karena sudah keduluan penumpang yang turun lebih dulu.
Dayu menoleh ke kanan dan kiri dengan pandangan nanar. Kota itu teramat asing baginya. Lian pun celingak celinguk berharap ada kendaraan yang akan mengantar mereka ke rumah baru keluarga Yu, tetapi sia-sia. Halaman stasiun perlahan kosong. Satu per satu becak dan delman meninggalkan stasiun.
"Kita berjalan menuju rumah!" kata Lian akhirnya.
Dayu belum sempat menjawab, tetapi Lian tiba-tiba berhenti, mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Kepalanya menunduk mengamati kertas di telapak tangannya.
"Ada yang tidak beres?" tanya Dayu memperhatikan ekspresi bingung Lian.
"Aku bahkan tidak tahu denah yang diberikan oleh Tan Shushu." Lian mengulurkan kertas itu ke arah Dayu. Gadis itu mengamati baik-baik gambar yang tertera di atas kertas putih itu.
Kalau Lian saja tidak paham letak rumahnya, bagaimana dengan Dayu yang baru menginjakkan kaki di Soerabaja?
"Maksudmu ... kamu tidak tahu letak rumahmu?" tanya Dayu memastikan.
Sambutan anggukan Lian membuat Dayu tercengang. Bagaimana bisa orang yang membawanya tidak tahu letak pasti rumahnya sendiri.
Dayu memijat tengkuknya yang tiba-tiba terasa pegal. Mempercayakan dirinya pada lelaki yang tidak tahu letak rumahnya? Haaahhh ... pasti dirinya sudah sangat gila!
Dayu mendesah melihat kebodohan pemuda itu. Kenapa pemuda itu tidak berinisiatif untuk meminta jemputan atau apalah yang membuat mereka tidak seperti orang hilang di tengah kota.
Lian merebut kertas itu lagi. Matanya memicing, tampak berkonsentrasi. Bibirnya mengerucut memikirkan sesuatu di kepalanya.
"Ehm … kalau ini stasiun ..." Lian memutar-mutar badannya menyesuaikan peta seadanya yang dibuat Paman Tan. "berarti setelah keluar dari gerbang kita harus berbelok ke kanan."
"Tunggu! Kamu ini hilang ingatan apa bagaimana? Kenapa kamu tidak tahu letak rumahmu?" Dayu menginterograsi lelaki yang sedang kebingungan.
Lian mendesah mendengar 'tuan putri' di sebelahnya yang masih saja memberondonginya dengan pertanyaan aneh. Padahal otaknya masih mencerna informasi yang sangat minim dari selembar kertas itu.
"Aku juga baru pindah di sini! Aku selama ini tinggal di Soerakarta, dan gara-gara ka-mu ... " Lian menunjuk Dayu tepat di depan pucuk hidungnya membuat bola mata Dayu menjuling. Nadanya pun dipertegas pada kata 'kamu'. "keluarga kami harus pindah ke Soerabaja yang bahkan kami tidak tahu tempatnya! Dan sekarang kamu seenaknya mengataiku hilang ingatan? Haloooo Tuan Putri, kita dalam pelarian! Dan sekarang aku bahkan tak tahu jalan pulang ke tempat kita akan tinggal!"
Dayu mendecih. Kenapa harus bernada seperti itu menjawabnya. Membuat Dayu merasa sangat merepotkan dan berhutang budi. Gadis itu menghela napas, menetralkan emosi. Selalu saja Dayu dibuat jengkel dengan Lian, tetapi ia tak dapat membalas atau mencak-mencak karena kelakuan Lian adalah imbas dari permasalahan yang dihadapinya.
"Jadi, apa yang harus aku bantu?" tanya Dayu lirih, tak ingin berdebat.
"Diam saja, dan ikuti aku."
Dayu mencebikan bibir. Bibirnya manyun beberapa centi ke depan. Mau marah, tak bisa. Bagaimanapun hidup Dayu sementara ini tergantung pada Lian. Terlebih saat mereka berpapasan dengan tentara Jepang, Dayu merasa bulu kuduknya berdiri. Ingatannya memutar kembali apa yang dia lihat kemarin pagi. Gadis itu beringsut di belakang tubuh Lian, melindungi diri dari sorotan Kempetai.
Mereka berjalan keluar dari kompleks stasiun. Berbelok ke kanan adalah keputusan Lian, dan diikuti begitu saja oleh Dayu yang tak tahu apa-apa. Mereka berjalan menembus pagi yang masih gelap. Dayu berjalan mengimbangi langkah kaki Lian yang panjang. Sekali langkah bagi lelaki itu sama dengan dua kali langkah Dayu.
"Tunggu! Jalanmu terlalu cepat!" seru Dayu ngos-ngosan.
Lian tak menghiraukannya. Dia hanya ingin cepat sampai di rumah yang ditunjukan oleh Paman Tan. Namun setelah satu jam berjalan, Lian merasa ada yang tak beres.
Pemuda itu berhenti.
"Dayu." Lian berbalik, melihat gadis itu sudah bersimbah keringat dengan napas yang tersengal. "Sepertinya kita salah jalan."
Dayu membelalak tak percaya. Satu jam sudah mereka berjalan dan Lian dengan santainya mengatakan salah jalan. Dayu ingin berteriak dan menangis saat itu. Kakinya sudah menunjukkan tanda protes. Betisnya sudah pegal. Dan, makanan yang ada di lambungnya semalam sudah tercerna sempurna, menyisakan perut perih karena lapar dan haus.
Dayu berjalan melalui Lian dan duduk di tepi jalan. Mukanya tampak merajuk, seperti balita yang tak dituruti keinginannya. Dia meluruskan kaki, sedikit memijat-mijat lutut dan tulang kering, memberi kode keras pada pemuda itu bahwa Dewi Andayu lelah.
Penampilan Dayu pun tampak kacau, membuat wajahnya kelihatan memelas. Anak rambut sudah keluar dari kepangan kuncir kudanya, bersatu dengan wajahnya yang basah oleh keringat.
"Dayu, ayo kita kembali ke stasiun."
Dayu mendongak, memberikan tatapan mengiba. Dia tidak sanggup lagi kalau harus berjalan kembali ke stasiun dan mengurut rute yang lain.
"Kita sudah berjalan satu jam dan ternyata sia-sia?" Dayu mendecak tak percaya. "Kenapa kamu tidak percaya padaku, supaya kita mengambil arah ke kiri."
"Sudah, jangan berdebat. Ini sudah terjadi." Lian yang merasa bersalah tak mau disalahkan.
Dayu mendengkus. "Kamu bilang sudah terjadi? Aku lelah Tuan Muda Yu!" Nada suara Dayu meninggi.
"Memang aku tidak lelah?!" sergah Lian tak kalah emosi, memperlihatkan urat leher yang dibasahi peluh. "Lihat! Aku membawa barangmu dan bawaanku. Dan aku juga sudah susah payah menjemputmu ke Djakarta. Itu semua bukan untuk aku sendiri, tapi kamu!"
Dayu manyun, tapi tidak bisa berkutik karena apa yang dikatakan Lian benar adanya.
"Baiklah. Istirahat dulu. Aku lelah!" Dayu mengalah. Percuma juga bertengkar karena akan menguras banyak energi.
Lian menuruti perkataan Dayu dan ikut duduk di undakan kecil di tepi jalan. Koper di taruh di sebelah kanan dia duduk.
Lian mengibas- kibaskan kemeja bagian atas. Dia merasakan keringat yang deras mengucur di dalam bajunya, sehingga lelaki itu membuka dua kancing bajunya paling atas.
"Lian." Dayu menoleh dan tatapan matanya langsung disuguhi dada bidang yang sedikit terbuka. Tetesan keringat yang mengalir di bagian tengah dada Lian membuat bola matanya membulat. Dayu buru-buru berpaling menutupi pipi merahnya.
"Kenapa memanggilku seperti itu? Aku lebih tua empat tahun darimu, Gadis Kecil ?" Lian masih sibuk dengan dirinya. Udara Soerabaja membuatnya tak nyaman. Terlalu panas, dan dia merasa lebih panas dari musim panas di China.
Lagi-lagi Dayu mencebik. Otaknya menghitung umur lelaki di sebelahnya. 30 tahun. Umur yang cukup matang untuk menikah.
"Eh, lantas aku harus memanggil apa?"
"Ko Lian?" jawab Lian sekenanya.
"Aku tidak terbiasa. Mas Lian?"
Lian tersembur tawanya. Baru kali ini ada yang memanggilnya begitu.
Dayu justru lupa apa yang hendak dikatakan. Perbincangan tak penting itu merusak fokusnya. Ditambah perhatian gadis itu teralihkan dengan pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Dayu heran, tubuh Lian sangat putih. Warna kulit wajah dan tubuh yang tidak tertutup baju saja masih terang, apalagi yang terlindung oleh baju.
Dayu menunduk melihat kulit tangannya yang berwarna sawo matang. Diiringkan sedikit tangannya menyampingi tangan Lian.
Seperti zebra. Hitam … putih ....
Dayu bergidik dalam hati. Satu yang gadis itu sadari. Perbedaannya dengan Lian bagai bumi dan langit. Membuat Dayu berpikir akankah pernikahan ini akan berjalan dengan mulus?
Dayu memeluk tubuhnya. Menyembunyikan tangan eksotis khas wanita Jawa. Lian yang sedari tadi sibuk menyeka wajah dengan punggung tangan tiba-tiba teringat ada benda kesayangannya yang terbawa Dayu.
"Dayu, kamu membawa sapu tangan sutraku kan?" tanya Lian.
"Yang mana?"
"Ehm, yang untuk menyumpal mulut cerewetmu kemarin."
Dayu berdecak pelan. "Aku lupa. Sepertinya sudah kubuang," kata Dayu berbohong.
Lian membelalak mendengar jawaban dari mulut Dayu. Dia menaikkan nada suaranya saat berkata."Apa? Kamu bilang kamu membuangnya? Kamu tahu itu sutra! Mahal harganya!"
Lian mengeratkan rahangnya gemas dengan reaksi Dayu yang masa bodoh. Gadis itu hanya mengendikkan bahu, tak merespon. Dalam hati Dayu geli. Dia ingin memberi pelajaran lelaki itu karena membuatnya jengkel.
"Aku harus mengirim telegram pada Son Shushu." Lian memijit pelipis yang tiba-tiba pening.
Mendengar reaksi berlebihan Lian, Dayu menoleh. Dia memperhatikan wajah Lian dengan mata memicing.
"Kamu berlebihan! Itu hanya sapu tangan. Kamu bisa membelinya lagi!" protes Dayu tak senang.
"Itu tidak bisa dibeli karena di dunia ini hanya ada satu!" tandas Lian tajam.
"Oya? Bahkan di pasar-pasar mungkin juga ada yang menjual."
"Itu ..." Suara Lian tiba-tiba lirih dan dalam, membuat Dayu semakin memfokuskan perhatian pada pemuda itu. "milik istriku. Dia menyulamnya sendiri!!"
"Istri?" Dayu membelalak. "Kamu sudah menikah? Lantas kenapa menikahiku? Aku mau kau jadikan selir?" Dayu berdiri berkacak pinggang, tak menyangka dia jauh-jauh ke Soerabaya hendak dijadikan istri kedua. Atau jangan-jangan istrinya banyak?
"Jangan ngawur!" Lengan Dayu ditarik Lian sehingga Dayu terduduk di sebelahnya kembali. Gadis itu mencebik, dengan kedua lengan bersedekap di dada. "Dengar! Kalau istriku masih ada, mana mau aku ikut pernikahan gila ini!"
"Maksudmu?" Kedua alis Dayu menyatu.
"Istriku meninggal."
Dayu tertegun menangkap ekspresi kesedihan dari bola mata Lian. Dayu tahu sulaman bunga peony yang berwarna cerah di tengah sapu tangan itu. Dia tidak menyangka itu hasil karya istri Yu Lian.
Terbersit rasa heran pada diri gadis itu, Lian, menyimpan rasa cinta pada istrinya. Namun Dayu bungkam. Dia ingin memberi pelajaran Lian karena menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya duda.
Aku menikah dengan duda? Ya Allah, apa dosa hamba-Mu ini? Apa yang dipikirkan Mas Daru sehingga menyerahkanku pada lelaki ini?
Dayu menghentak-hentakkan kaki. Dia menutup wajahnya kecewanya.
Duda? Duda? Sudah menikah tanpa cinta, dan masing-masing dari kami menyimpan rasa pada orang lain? Dan dia bilang pernikahan ini bukan pura-pura? Lihat saja Yu Lian, aku tidak akan memberikan sapu tangan itu. Itu ganjaranmu karena membohongi statusmu.
Dayu menghela napas. Dia tidak terima baru mengetahui status Yu Lian sebagai duda, beberapa jam sebelum menikah.
"Kenapa kamu tidak memberitahuku kalau kamu pernah menikah?" tanya Dayu dengan mata menyipit. Rahangnya mengerat.
"Apa pentingnya?" Lian kembali sibuk mengusap keringat di dalam kemejanya dengan sapu tangan yang ia ambil dari tas.
Dayu gemas, baginya itu penting! Setidaknya itu menjadi salah satu pertimbangannya dulu.
"Kamu juga tidak bertanya."
"Aku menceritakan kalau aku sudah bertunangan," kilah Dayu tak mau kalah.
"Bagiku tak penting. Tetap saja kamu punya tunangan atau tidak, pilihan terbaikmu adalah menikah denganku." Lengan Lian lurus ditopang lutut yang ditekuk, jemarinya sibuk melipat sapu tangan yang kini basah.
"Hah! Percaya diri sekali kamu!" Dayu mendecih.
"Kenapa kamu selalu bernada tinggi seperti itu? Bisa-bisa tekanan darahmu tinggi," timpal Lian membuat Dayu semakin naik pitam.
"Aargghh!" Dayu mengembuskan napas kasar malas menjawab Lian. Gadis itu mengacak rambut frustrasi menghadapi, pemuda bermata sipit itu.
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro