Kuntum 48 - 第四十八章
Dua hari mengurusi naskah dan berbagai tugas lain di kampus, akhirnya skrip Lynn sudah jadi. Dan mulai hari ini ia siap untuk brifieng bersama para aktris dan aktornya. Syuting akan diadakan selama lima hari. Seluruh tim bekerja keras pada bagiannya masing-masing.
Feifei yang kian waktu nampak bersemangat mengatur posisi kamera, Melody Tai dan A Shi yang semakin hari banyak menawarkan pakaian busana menarik bagi Lynn untuk dipakai saat pengambilan gambar nanti. Lalu Leo Lee, Vincent, dan Li Bei, berkonsentrasi penuh pada bagian set. Juga si dua kembar sipit, A Bo dan A Bi yang mendengarkan arahan kamera dari Feifei dengan seksama. Saat berkunjung ke Summer Palace beberapa hari yang lalu, Feifei sengaja mengajak A Bo dan A Bi untuk melihat kondisinya supaya mereka ada bayangan.
Mungkin Lynn akan merasa sangat berterima kasih kepada seluruh timnya. Sebagian dari mereka sangat percaya bahwa posisi Lynn yang terbelah dua, antara menjadi sutradara sekaligus aktris di bagian yang berbeda membuat seluruh tim tidak menuntut banyak-banyak, dan tidak membuat Lynn tertekan. Bekerja dalam tim ini, ia sangat nyaman dan seru. Seperti saat-saat mereka meriung, mengobrol bersama di salah satu jam istirahat, lalu Lynn menceritakan pengalamannya di Indonesia, pelajaran dan model belajar yang bagaimana, mereka seperti membagi waktu dalam hal yang membuat mereka secara tak sadar semakin dekat.
Pelan-pelan, Lynn jadi semakin mengenal kepribadian seluruh timnya satu-satu. Bagaimana cara berpikir Melody Tai yang sangat cermat, gesit dan penuh cekatan. Bagaimana cara A Bo dan A Bi dengan cerdas dan otaknya yang selalu menyatu dengan keinginan Lynn, atau dengan Vincent yang sangat tenang seakan seluruh tugasnya berada aman di tangannya. Hingga tanpa sadar membuat Lynn semakin nyaman berada di dalamnya, dan lupa kalau waktu telah berlalu semakin cepat.
Tinggal dua bulan lagi waktu Lynn berada di sini. Ia tidak tahu kenapa setiap hari rasanya berlalu sangat cepat. Karena semakin ia tidak bisa merasakan waktu berlalu lambat, semakin ia tidak rela meninggalkan tempat ini. Bahkan Lynn tidak pernah membayangkan ia harus pergi dari sini dan kembali ke Indonesia. Ke kehidupan normal dan realita yang sesungguhnya. Di mana ia harus belajar mencapai mimpinya, tanpa bantuan memo-memo kecil dari tangan seseorang yang ia selalu harapkan datang di setiap harinya.
Kalau dipikir-pikir lagi, empat bulan berlalu, memo-memo baik dari Lei Han atau Luo Yi sama-sama sudah terisi penuh. Pasalnya, keberadaan memo itu bukan hanya ditulis-tulis untuk ide. Banyak kejadian unik yang tanpa sengaja Lynn ceritakan di dalamnya. Termasuk bagian ia menumpahkan seluruh isi hatinya pada memo tersebut. Kadang menggambar sebuah siluet yang hanya terpintas masuk dalam kepalanya lalu berlembar-lembar tanpa sadar Lynn sudah menumpahkan semuanya di atas kertas itu. Ada juga poin-poin kebutuhan setiap hari, atau ucapan-ucapan Feifei dan Luo Yi yang berupa permintaan di salah satu lembaran khusus supaya ia tidak lupa memenuhinya. Maka, memo itu selalu ada di pelukan tangan Lynn kapanpun dan di manapun ia berada.
Kelas sudah usai. Pukul tiga sore di kantin Gedung F yang lengang, Lynn menghabiskan waktu sambil makan siang dan mencatat beberapa kebutuhan akhir-akhir ini di memonya. Feifei dan Xiao Song sedang menghabiskan waktu di toko buku karena ada tugas lain dari dosen produksi. Sedangkan sebagian timnya memilih pulang untuk mengerjakan tugas lain atau istirahat dan bersiap untuk dua hari ke depan proses pengambilan scene yang sesungguhnya.
Memikirkan proyek filmnya sendiri, Lynn baru sadar, hari ini Zi Wei tidan berkoar-koar di grup Weixin yang di buatnya. Chat grup itu sepi. Mungkin karena sudah di beritahu proses pengambilan gambarnya di mulai dua hari ke depan, jadi Zi Wei tidak lagi membuang tenaga untuk mengingatkan posisi Lynn di filmnya.
Pada dasarnya, pekerjaan Lynn pasti sangat berat. Tapi ini demi nama baik dan harga dirinya yang pernah diremehkan oleh gadis itu. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri kalau apa yang Zi Wei katakan hanya sebuah kata pematah semangat. Lynn, di penyemangat yang lapisan berlipat-lipat, tidak akan mungkin terima begitu saja. Kalau ia menerima begitu saja, untuk apa ia ada di Beijing sekarang? Kalau bukan membuktikan kepada seluruh teman-temannya di Indonesia ia bisa membanggakan nama Indonesia dalam kancah dunia perfilman, ia tidak pernah segan-segan untuk merasa direndahkan atau diremehkan. Baginya, itu adalah salah satu kesempatan untuk membuktikan diri. Dan bagi Lynn, selama ia ada di sini, waktu enam bulan ini adalah waktunya ia membuktikan diri sambil belajar.
Mengesampingkan skrip skenario miliknya sendiri, ia merogoh map plastik di sebelah mejanya. Mengeluarkan sebuah skrip tebal yang cetakannya di ulir binder, lalu membuka lembaran-lembaran itu untuk membaca sekilas dialog miliknya.
Sebenarnya, untuk menghapal, Lynn tidak pernah mengalami kesulitan. Sekilas membaca dan memahami maksud cerita tersebut, ia bisa mengimprove beberapa. Tapi, mungkin karena ia tidak menyukai jalan cerita Zi Wei, atau mungkin karena ia tidak suka perannya yang menyedihkan, jadi seringkali ia membenarkan alur cerita Zi Wei sesuai keinginannya. Hingga ia selalu tidak konsentrasi pada alur cerita yang seharusnya berjalan demikian.
Di sudut meja kantin yang kosong, Lynn menikmati waktu sendirinya sampai tak sadar ada orang yang mengendik-ngendik hendak mencolek punggungnya dari belakang.
"Sedang berusaha menghapal dialog, ya?" Suara rendah dari belakangnya itu tiba-tiba mengejutkan Lynn sesaat. Ia menoleh cepat ke belakang dan mendapati Lei Han dengan senyum hangatnya berdiri setengah menunduk di sampingnya.
Seketika Lynn mengunyah cepat mi ramen di mulutnya seraya menggangguk. "Hmm. Ya. Iseng-iseng kubaca ulang." Lynn berkata, ia menarik satu tisu lalu mengelap bibirnya. Tanpa di suruh, Lei Han menduduki kursi di sebrang mejanya.
"Sebenarnya aku tidak pernah ingin mencoba bertanya ini, tapi.." suara Brandon Jun melemah, pandangan matanya agak menunduk, membuat kotak penasaran Lynn malah berjingkat.
"Bertanya... apa?" tanya Lynn ragu.
Lei Han mengangkat wajahnya, menatap Lynn sambil tersenyum tipis. "Kau tidak membutuhkan latihan sedikit untuk mencoba dialog-dialogmu? Kau tahu, akhir-akhir ini kau agak sibuk dengan timmu, jadi kupikir, kalau kita latihan bersama, aku bisa membantumu untuk melatih saat pengambilan gambar nanti," jelas Lei Han.
Lei Han mengajaknya latihan bersama?
Mata Lynn mengerjap beberapa saat, ia merasa kuah mi ramen dalam tenggorokannya tersumbat kenyataan hingga ia harus menenggak air putih untuk melancarkannya.
Kemudian seraya tersenyum lebar, seperti menuruti kata hatinya, Lynn mengangguk tak ragu. "Kalau kau tidak keberatan, aku sangat senang kau membantu!" serunya tanpa sadar membuat jantung dalam dada Lynn berdenyut hangat. Pancaran mata pemuda itu, bagaimana senyumnya mengembang tulus, bagaimana seluruh kenangan di lapisan cakrawala yang hanya bisa disentuh dalam ruang waktu, semuanya, Lynn bisa merasakan semua perasaan hangat itu khusus untuknya dan hadir untuknya. Seumur hidup, Lynn tidak pernah merasa seberuntung ini memiliki perasaan yang begitu ingin ia rengkuh dalam dan tak ingin ia lepas pergi. Ingin ia simpan baik-baik ketulusan Lei Han di dalam tumpukan hidupnya, supaya selamanya ia bisa merasa demikian.
Namun, Lynn tidak bisa.
Waktu tidak mengijinkannya.
Karena hari di mana ia harus pergi dari sini, hari di mana ia harus merelakan itu lepas dan tak pernah kembali.
***
Dari sudut kantin yang sepi, didih dalam dada Zi Wei kian meningkat. Tak sadar sudah berapa lama menatap sepasang mahkluk itu duduk saling berhadapan di kursi kantin membuat matanya pedih tak kuasa menahan geram dan remuk dalam hatinya.
Lei Han yang memegang buku skrip di tangannya sesekali tertawa pelan bersamaan dengan Lynn yang seperti salah mengucapkan kata. Kemudian mereka akan mengucapkan suatu kalimat bersamaan, lalu mengangguk beriringan. Dan suatu hal yang seakan-akan Zi Wei ketahui adalah sesuatu yang tak ingin ia akui.
Apakah memasukkan Lynn dalam perannya bersama Lei Han justru berbuah kesalahan seperti ini?
Seketika Zi Wei menunduk, berusaha menghilangkan pandangan yang merusak pandangannya, memilih menyingkirkan semua pikiran dari suara hati yang kian menyuarakan lukanya untuk berhenti dan berpikir logis.
Tidak.
Akhirnya tidak akan seperti itu.
Ia yang memegang kendali. Ia adalah sutradaranya. Dan ia yang memiliki skrip dari akhir kisah sesungguhnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro