Kuntum 36 - 第三十六章
"Aku menang!"
"Ah!"
Tawa keempat orang ditengah ruangan itu lepas ketika Han Zi Tong melemparkan joker di atas setumpuk permainan kartu. Setelah selesai makan siang bersama, Ban Xiao Song menahan Wang Xian dan Zi Tong untuk bermain bersama dulu. Padahal malam nanti Zi Tong ada briefieng untuk wawancara besok. Dan Wang Xian ingin ke studio untuk rekaman kedua. Tapi karena Xiao Song sudah sangat dekat dengan mereka, bahkan Lei Han melihat kedua teman dari kecilnya itu menganggap Xiao Song seperti sahabat baru mereka saja. Dan karena keberadaan mereka pun, membuat Feifei jadi ikut tertawa bersama Xiao Song. Feifei yang sebenarnya, Feifei yang tidak berpura-pura bahagia di depan Xiao Song.
Lei Han melihat pemandangan itu dengan hati terenyuh. Dari balkon apartemen, angin menerpa-nerpa poni rambutnya. Siluet tanpa kebohongan itu meluncur tulus dalam hati mereka.
"Lihat. Sebenarnya Feifei cukup bahagia jika sedang bersama Xiao Song, tanpa ia sadari," kata Lei Han kepada Lynn yang beberapa menit lalu menghampirinya, ikut memandangi perkotaan dari atas balkon. Ia menunjuk gadis yang duduk melingkar di antara ketiga pemuda stylish itu.
Lynn tersenyum samar, tak mengomentari gagasan itu. Malah berpaling ke depan, meluaskan pandangan menatap kota. Rambut kecokelatannya dibiarkan terurai, terombang-ambing oleh angin sore. Semburat petang mengambang di permukaan sungai kota. Membuat siluet riak yang masih Lei Han ingat dengan jelas seperti di Summer Palace beberapa waktu lalu.
"Feifei bukan orang yang terbuka soal perasaan. Terkadang, anak itu terlalu dikuasai gengsi." Lynn menyahut tiba-tiba. Matanya menerawang jauh, menembus imajinasi perkotaan di kepalanya sendiri. Memandangi wajah sendu itu, membuat degup jantung Lei Han berdetak tak konstan perlahan-lahan. Lambat laun, ekspresi itu sama seperti memandangi langit yang syahdu. Begitu memikat sampai tak sanggup menggapai.
"Lynn, apa kau suka berada di sini?"
Kepala gadis itu berputar lambat menatapnya. "Suka sekali. Beijing adalah salah satu kota impianku."
Senyum di bibir Lei Han seketika terulas. "Apakah banyak perbedaan di Indonesia tempat kau tinggal?"
Lynn kembali menatap perkotaan, bergumam sejenak, "banyak sekali. Beijing sangat canggih. Kau tahu maksudku, di sini sudah memakai barcode ke mana pun. Bahkan hanya dengan satu aplikasi saja."
"Maklum, orang-orang di sini malas membawa dompet jadi mereka langsung mentop up keungan mereka menggunakan aplikasi. Sesimpel itu. Kami semua memulai karena kemalasan." Lei Han pernah membaca sebuah artikel kecil dari pembuat aplikasi yang Lynn maksud. Awalnya Lei Han setuju dengan Lynn. Menggunakan satu aplikasi untuk melintasi berbagai pembayaran sangatlah canggih. Tapi karena ini negaranya, maka siapapun lama-kelamaan akan terbiasa.
"Bagaimana dengan di Indonesia?" Lei Han menatap wajah samping Lynn.
"Masih jauh dari kecanggihan. Tapi, Indonesia punya sesuatu yang begitu melekat. Seperti keadaan alamnya. Suasana tropis yang kau maksud, mungkin suatu saat nanti kau bisa melihat dunia tropis secara langsung. Indonesia adalah dunia tropis yang sebenarnya."
"Kau tahu, Indonesia adalah negara impianku."
Lynn tersenyum lebar menanggapi pernyataannya. "Benarkah?" Gadis itu tergelak tak percaya, menatapnya takjub.
"Ya. Kau tahu, ketika kau datang ke kampus kami, aku sangat berharap kita bisa bicara banyak hal. Tentang suasana tropis yang kau miliki, dan berbagi pengalaman seperti seorang teman dekat saja."
Lei Han tak menemukan sahutan langsung dari gadis itu. Senyum cerah yang tadi terulas di bibir Lynn seketika hilang, berganti dengan senyum kecil seperti tersanjung. Kemudian gadis itu berkata dengan suara rendah yang memikat. "Kita sudah melakukannya, Lei Han. Kau adalah teman terbaikku."
Perkataan Lynn saat itu seperti mematahkan satu bagian di dalam hatinya. Namun, belum sepenuhnya patah. Hanya di ambang kepatahan yang tak pasti. Apakah teman adalah posisi yang ia inginkan? Apakah hanya dengan dunia tropis ia bisa sedemikian ingin memiliki gadis itu? Kalau iya, kenapa Lei Han berani mematahkan hatinya untuk negri tropis impiannya itu?
"Lalu..." Lei Han menatap gadis yang ikut menoleh ke arahnya. "Kenapa kau ingin sekali menjadi sutradara?"
Gadis itu tak menjawab langsung, menikmati serpihan angin pelan yang menerpa wajahnya sejenak. "Ada banyak hal kenapa aku ingin menjadi sutradara. Seperti menyampaikan suatu pesan atau inti kehidupan, atau terkadang hanya kebutuhanku menampung ide."
"Sama saja seperti jawaban sutradara yang lain." Lei Han menyisipkan tawa kecilnya. Kembali memandang Lynn yang berdiri lebih pendek di sampingnya.
"Sebenarnya, kalau boleh jujur, kau adalah salah satu wujud visual tersempurna menurutku."
Sebagian dari dalam dada Lei Han meletup hangat. Ia tersenyum kecil, tanpa sadar memandangi mata cokelat cerah gadis itu dalam-dalam.
"Wajah sepertimu itu banyak dicari sutradara manapun. Karena komposisi dan rasanya pas. Kau tahu, ketika kau tersenyum kau seperti memiliki kekuatan yang..."
Lei Han merenggangkan alisnya ke atas, memandang kelanjutan Lynn yang tertahan. Sorot mata gadis itu lagi-lagi membulat, lalu sadar atau tidak sadar, ia seperti melihat pipinya memerah. Lei Han tersenyum setengah, kemudian membuang wajah. Ekspresi itu adalah ekspresi yang selama ini Lei Han suka. Entah kenapa, di bagian ekspresi itu ada hal yany membuatnya terpikat untuk terus membayangkannya. Wajah malu-malu bercampur kepolosan. Lynn sampai kapanpun tidak akan bisa berpura-pura menutupi perasaannya. Setiap pemuda manapun yang melihat ekspresi itu tentu tahu apa isi pikiran para gadis.
"Lynn, visual itu hanya umur. Yang tidak membatasi seseorang dalam berkarya adalah otak mereka. Dapur pacu karya-karya mereka."
Ia kembali menoleh. Gadis itu kini tertunduk, meratapi kedua tangannya yang menggenggam erat di pagar besi balkon. Melihat itu, Lei Han merasa gemas.
Seorang gadis menyadari kalau dirinya malu terhadap sikap terbuka dan sembarangan bicaranya yang mengarah pada perasaannya sendiri.
"Lynn." Tangan Lei Han terangkat ke udara, menyisipkan rambut gadis itu ke balik telinganya hingga gadis itu bergerak menatapnya. "Kesempurnaan visual yang sebenarnya adalah berasal dari ketulusan hati seseorang."
Dan di detik menuju malam, mimpi indahnya akan tertutup dibalik bayangan bola mata cokelat itu. Di dalam sana, Lei Han ingin menetapkan satu rasa untuk Lynn. Lei Han ingin meyakini dirinya sendiri kalau visual tercantik yang pernah ia lihat hanya ada di mata gadis itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro