Kuntum 14 - 第十四章
Siang itu, Leixin laoshi tidak masuk kelas. Kebetulan juga, Lynn sedang berminat mengerjakan skenario Zhao laoshi. Ide-ide mulai bermerbak ria dalam kepalanya, minta di tumpahkan. Berhubung tema yang diusung adalah musim semi di Beijing, seharusnya tidak begitu sulit. Tapi yang mengkhawatirkan adalah Lynn masih belum begitu banyak mengetahui hal apa yang bisa bermakna untuk ditontonkan dalam kebiasaan yang belum pernah ia alami.
Tapi ia merundingkan itu bersama Luo Yi dan Feifei.
"Musim semi, ya? Hmm." Fei menerawang, matanya memandang ke atas. Luo Yi, yang duduk di sebelah Lynn tak melepaskan pandangannya dari kesibukan gadis itu.
Lynn sedang mencatat ide-ide kecil dari memo kecil yang diberikan Luo Yi. Pemuda itu tidak bohong, ia senang. Itu artinya Lynn menghargai barang kecil itu, setidaknya ketika ia merasa berguna untuk seseorang yang disukainya adalah sebuah rasa kemenangan tersendiri untuk memiliki hatinya.
"Sebenarnya, aku memiliki ide kecil, sih. Kalian mau dengar?" sahut Lynn bangkit dari memonya.
Kedua temannya itu langsung mengangguk dan memusatkan perhatian pada Lynn yang mulai bercerita.
Di sebuah Istana Summer Palace yang terkenal itu, ada seorang Puteri yang sedih setiap hari karena pohon Peony yang dinantinya tidak mekar-mekar, karena saat itu matahari musim dingin sangat jelek. Padahal, bunga itu rencananya ingin di abadikan di istananya untuk minggu depan. Pemandangan Peony pasti sangat indah.
Tapi hingga dua minggu, Peony tidak tumbuh. Dan musim semi tinggal menghitung hari.
Puteri itu kian sedih. Hingga suatu hari, waktu Puteri itu mengunjungi pohonnya di kebun belakang istana yang luas, ia melihat seseorang sedang berdiri di samping pohonnya. Seorang pria gagah memakai pakaian kain berwarna biru penuh pesona. Rambutnya dikuncir sedemikian rupa. Saat itu, Summer Palace sedang dipimpin oleh Kaisar Qing. Dinasti lama, dan Puteri itu agak terpana waktu melihat pria itu menoleh kearahnya.
Wajah bagai mentari musim semi, yang hangat dan cukup menggetarkan jiwa menghardiknya. Lapisan kuntum bunga yang berterbangan mengikuti arah angin selatan layaknya senyum manis pada bibir itu. Pancaran mata sebening danau Kunming berkilau dan membuncah relung hatinya. Terenyuh dalam pesona itu.
"Aku melihat ada yang tidak beres di sini," kata pemuda itu menunjuk pohon Peony.
Tanpa sadar, Puteri yang tadi menitikkan air mata akibat memikirkan Peony-nya seketika menyeka sudut matanya dan menjawab agak tergagap.
"Peony-ku tidak tumbuh." Puteri itu menjawab, berjalan mendekat ke pohon bergelimpang dahan tanpa sehelai daun.
Pangeran itu tersenyum tenang, pancaran mata teduh itu seakan memberi waktu kalau hal itu akan baik-baik saja. Pangeran itu mengatakan, karena matahari musim dingin sangat tidak memungkinkan sekali tahun ini. Jadi, bisa jadi pohon ini tidak menumbuhkan Peony sebaik tahun-tahun sebelumnya.
"Sebenarnya, ada yang tidak beres juga akhir-akhir padamu, bukan begitu, Tuan Puteri?" tanya Pangeran itu sambil mengulik pandangan ke arah Puteri itu.
Tapi, Puteri itu diam saja. Entah kenapa, merasa Pangeran asing di sebelah ini membuatnya nyaman hanya dalam beberapa detik memandang matanya. Itu aneh, tapi Puteri tidak keberatan untuk menceritakannya pada pemuda itu.
"Aku khawatir tidak ada yang mau mempersuntingku selama satu tahun ini. Sedangkan umurku sudah hampir 25 tahun. Kaisar sudah menuntutku untuk menikah dengan seorang Pangeran yang dijodohkannya untukku. Tapi aku tidak suka cara itu. Aku ingin merasakan cinta yang sebenarnya. Seperti rasa cintaku kepads Peony. Murni dari hati yang sebenarnya. Cinta yang tahu arti setetes air mata kalau itu adalah sebuah butiran luka yang berharga. Bukan sekedar tahta atau kekayaan. Aku tidak menginginkan itu semua." Menceritakan hal itu, membuat pandangan Puteri itu buram. Napasnya mulai agak sesak, ia agak menunduk, mengusap air matanya.
Tiba-tiba dari depannya, Pangeran itu mengulurkan tangan, mengusap air mata di wajah Puteri itu dengan tersenyum lembut. Puteri yang melihat itu tak bisa melepaskan pandangan dengan sentuhan yang amat anggun itu. Bahkan ia merasa semua bebannya terlupakan jika menatap mata cerah dan hangat milik Pangeran itu.
"Jangan menangis," katanya seraya tersenyum teduh. "Sebenarnya aku punya satu rahasia untukmu. Tapi, kalau kau bersedia tidak membocorkannya, aku akan memberitahu rahasia itu." Pangeran itu kembali menegapkan punggungnya setelah tadi agak membungkuk ketika mengusapkan air mata Puteri.
Sang Puteri menatap Pangeran itu penuh tanya. "Rahasia apa?"
Pangeran itu tidak menjawab beberapa detik, malah mengangkat senyum teduh itu lagi dan menjawab, "Peony."
Mata bulat Puteri melebar, ia langsung mengangguk cepat. "Aku tidak akan memberitahu siapa-siapa. Ada apa sebenarnya?"
"Sebelumnya, aku ingin kau tahu, kalau kesedihan bukanlah hidupmu. Kalau aku tidak salah, kau adalah Dewi Bunga dari Selatan bukan?"
"Dari mana kau tahu?"
Pangeran itu tersenyum lagi. "Aku tahu banyak hal tentang dunia ini. Aku banyak melihat berbagai perasaan setiap orang, termasuk kau. Dan kedatanganku hari ini adalah salah satunya, untuk membuatmu merasa sedikit lebih tenang."
Sang Puteri terdiam dalam sorot mata Pangeran itu. Bingung ingin mengatakan apa karena ia sudah terlalu jauh untuk bertanya identitasnya. Karena entah berapa kali, senyum itu membuat dirinya tiba-tiba saja lupa pada segala masalah. Senyum itu seperti keindahan surga yang belum pernah ia lihat di wajah Pangeran manapun kecuali pangeran di depannya ini.
"Sebenarnya, yang membuat Peony tidak tumbuh adalah karena kau, terus-terusan bersedih. Kau tahu, ketika Dewi Bunga bersedih hal pertama yang paling berpengaruh pada bunga-bunga di dunia apa?"
Puteri itu menggeleng.
"Seluruh bunga di dunia ini tertutup kebahagiaannya karena emosi-mu Tuan Puteri. Air matamu adalah rasa bersalah mereka, dan keluh-kesalmu adalah layu mereka. Mereka tidak berani menghiburmu takut hal itu sia-sia. Kau tahu, bukan kau saja yang mencintainya. Tapi mereka juga mencintaimu. Dan emosi itu akan terus bertahan jika kau terus bersedih seperti sekarang," tutur Pangeran itu bijaksana.
Padahal Puteri sangat bingung kenapa Pangeran itu bisa berkata demikian. Tapi tak ada niatan untuknya menyelak dan bertanya alasan lain. Entah kenapa, ia seperti percaya perkataan Pangeran itu.
"Jadi, aku harus berhenti bersedih?"
Pangeran itu mengangguk lembut. "Kau sudah terlalu lama bersedih, tanpa dirimu sendiri ketahui. Kau melukai dirimu sendiri tanpa kau tahu. Dengan banyaknya ketakutan di sekelilingmu."
Giliran sang Puteri yang kembali tertunduk. Mendengar Pangeran itu berkata demikian membuatnya kembali teringat permasalahan perjodohan itu. Ia sedih karena cinta yang ia cari sesungguhnya belum ditemukan. Bahkan Puteri sempat berpikir, menjadi Dewi Bunga bukanlah berparas cantik, tapi berparas seperti bunga. Cantik jika hanya sedang berbahagia atau mekar. Dan ia merasa, wajahnya sangat jelek sekarang hingga tak menarik satupun Pangeran di luar sana, yang sungguh-sungguh ingin ia cintai.
Kemudian Pangeran itu tertawa lembut. Suara tawanya seperti desir angin pembuka rindu. Tanpa sadar terasa merekat dalam hati Puteri itu.
"Cinta bukan soal cantik atau jelek. Tapi soal kebaikan hati, karena cinta bisa tersentuh ketika mereka saling merengkuh untuk menemukan. Kau akan mengerti cinta ketika kau tahu kesederhanaan dalam kebahagiaan itu. Kau akan paham kalau cinta itu seperti matahari yang tidak pernah lelah menemanimu, memperhatikan dan mencintaimu diam-diam."
Perkataan itu membuat sang Puteri tertegun. Ia tidka tahu kalau kalimat demi kalimat yang meluncur dari Pangeran asing itu benar-benar tertanam dalam jiwanya. Ia tahu ia butuh kata-kata itu, tapi Pangeran itu kian membuatnya sadar, ada banyak hal yang patut untuk disedihkan dibanding hal ini.
Kemudian ia mengangkat wajah, menatap Pangeran yang lebih tinggi darinya.
"Jangan bersedih lagi, Dewi Bunga," pinta Pangeran itu.
Puteri itu agak terenyuh. Matanya membulat pelan-pelan. Lalu tanpa sadar, ia merasa dunia berhenti sejenak dalam manik kuning kecokelatan yang amat mengagumkan itu. Seakan dari hatinya tumbuh sebuah perasaan baru yang sangat meneguhkan jiwa.
Akhirnya, si Puteri menanyakan sesuatu yang seharusnya ia tanyakan sedari awal tadi.
"Pangeran, sebenarnya kau siapa?"
Sorot mata itu kian mengisi relung hati ketika pemuda itu tersenyum lembut ke arahnya. "Aku adalah Pangeran Matahari Pagi. Aku adalah orang yang tahu berbagai perasaan di dunia ini. Termasuk perasaanmu. Kau tahu, aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Dan aku tidak memiliki kekuatan lebih untuk membuat Peony mekar karena sebagian hatiku juga sedih melihatmu sedih."
Tiba-tiba perasaan haru yang tadi tertahan memuncak dalam tenggorokan si Puteri. Ia terperenyak, menatap lapisan keindahan penuh teduh mata Pangeran itu. Entah bagaimana, pernyataan itu membuat sesuatu dari dalam hatinya membuncah lepas, dan pergi terbawa senyumnya. Senyum ajaib dari segala kegundahan yang tiba-tiba menghilang. Ia seperti menerima semacam kekuatan yang tak kasat, mengisi penuh seluruh hatinya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal?" Si Puteri malah merasa sedih. Ia jadi merasa sangat bodoh memberitahu segala alasan kesedihannya selama ini.
Pangeran itu tersenyum sampai matanya menyipit. "Kalau kuberitahu dari awal, aku yakin kau tidak akan mengenalku sebaik setelah ini."
Si Puteri tersenyum haru, terus menatap pemuda itu seakan meminta jangan pergi.
"Ketika melihat senyum itu, seharusnya aku tahu aku tidak layak. Karena senyum indah itu hanya untuk orang yang kau cintai dengan layak."
"Kenapa?" tanya Puteri bingung.
"Karena aku bukan orang yang layak menerima itu. Kehadiranku hanya untuk sementara waktu. Aku datang ke dunia dan meminta bantuan Dewa Surga memberi sebagian kekuatannya untuk mendatangkan aku sebagai manusia yang turun ke bumi dan menyelamatkan kebahagiaanmu. Dan melihat senyummu sekarang, itu artinya tugasku telah selesai. Dan perasaanku pun, sudah lebih baik karena kau sudah melepas kesedihanmu."
Si Puteri terus terdiam, tidak mengerti kata-kata Pangeran. Tapi kemudian, pemuda itu maju selangkah dan berkata, "Tuan Puteri, tutup matamu."
"Ada apa?"
"Aku akan memberikanmu kebahagiaan terakhir untukmu."
Tanpa meminta alasan lain, ia pun menutup matanya. Gelap menguasai pandangannya. Hampir lebih dari tiga puluh detik, ia tidak mendengar suara apa-apa di sekelilingnya kecuali angin yang mendesir lembut menerpa wajahnya. Dan juga wangi...
Wangi Peony?
Dewi Bunga seketika membuka matanya. Pandangannya beradu dengan pohon Peony-nya yang sudah mekar dan tumbuh layaknya musim semi. Tak tahu sejak kapan senyum itu melebar di bibirnya, seketika ia teringat oleh Pangeran Matahari Pagi tadi.
Ia memandang berkeliling. Tapi ia tidak menemukan satupun kemungkinan kalau pemuda itu masih di sini.
Dan sekarang, Dewi Bunga baru menyadari satu hal.
Ia menengadah, menatap dahan-dahan Peony yang penuh dan rindang itu. Perasaan bahagia itu menyesakkan dada. Dari keindahan yang terpancar itu, Puteri Dewi Bunga itu seperti mendengar suara dari sinar matahari yang menyorot di antara rindangnya daun.
Aku selalu ada di sini. Aku adalah kebahagiaanmu. Aku adalah Peony Musim Semi-mu. Dan indahnya, adalah ungkapan perasaanku padamu.
***
Unch, makasih banyak buat yg selalu cetia nunggu cerita ini. Hehe ditunggu lagi bab selanjutnya yaa!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro