Kuntum 12 - 第十二章
Kelas Zhao laoshi akhirnya tiba pagi itu. Seluruh mahasiswa duduk teratur di kursinya masing-masing. Feifei sudah membantu menyiapkan pidato untuk aksi pemilihan sutradara sekaligus menyiapkan ide kasar untuk skenarionya. Mengingat Zhao laoshi ingin temanya tidak jauh mengenai musim semi di Beijing, jadi harusnya tidak sesulit seperti yang sebelum-sebelumnya. Hanya saja, film ini harus lebih bermakna dalamnya. Makanya, ketika pria itu memasuki kelas dan berdiri di belakang mimbar, ia sibuk menyetel sesuatu dari laptopnya.
"Hari ini, saya akan menunjukkan film pendek salah satu teman kita, Lynn." Seluruh mahasiswa menoleh ke arah Lynn sejenak, merasa kagum. Lynn hanya tergagap kaget, terus memperhatikan Zhao laoshi yang berkepala botak itu mencerocos.
"Film ini adalah film yang membuat Lynn bisa sampai ada di sini. Film ini sangat bagus dalam segi ide, kamera, sound dan sudut pandang. Juga yang paling penting adalah," Zhao laoshi bangkit dari bungkuknya, menatap seluruh mahasiswa dengan serius, "adalah maknanya. Kalian harus ingat, film bukan hanya sekedar hiburan semata, tapi harus ada pesan yang membuat film itu jadi bernilai. Film yang membuat orang-orang mau membayar kursi di bioskop, menonton film kalian. Dan menurutku, film Lynn ini sangat pantas di tonton seluruh orang di dunia. Oh ya, setahuku film ini sudah pernah ditayangkan di salah satu ajang penghargaan, bukan begitu Lynn? Penghargaan apa itu?"
Kembali lagi, pandangan penuh kagum itu menghardik Lynn sesaat. Sedetik, Lynn merasa bingung sekaligus tak enak hati. Ia paling resah kalau seluruh orang memusatkan perhatian padanya. Ia tidak terlalu suka jadi bahan perhatian orang. Tapi, posisinya kali ini, mau tak mau memaksanya menjadi pusat perhatian.
"Penghargaan film. Indonesia Film Award. Itu adalah penghargaan tua dan ajang bergengsi para sesepuh pembuat film."
Dari depan, Zhao laoshi mendesah takjub lalu bertepuk tangan--yang otomatis diikuti seluruh mahasiswa. Lynn tertunduk, pipinya panas.
"Hebat. Hebat. Pantas saja banyak PH (Production House) yang ingin menarikmu. Hm, baiklah, sekarang, semuanya lihat ini adalah film pendek yang Lynn buat. Silakan menikmati."
Setelah berkata begitu lampu kelas dimatikan, dan hening kelas semuanya tertuju pada video yang disorotkan dari proyektor depan papan tulis.
Semua orang sangat memperhatikan film itu. Lynn melirik Feifei yang serius, Ban Xiao Song, juga Brandon Jun yang saat itu eksperesinya sulit dijelaskan. Mata sipitnya diguyur cahaya redup dari depan kelas jadi terlihat sangat manly. Pemuda itu menopangkan dagunya, menonton pembukaan film itu serius. Sementara semua orang serius memperhatikan--walau Lynn sudah bosan--tapi, sebaiknya ia tidak merusak konsentrasi mereka dan balik menonton film buatannya sendiri itu.
Lynn masih ingat film ini dibuat ketika dosen Ray, salah satu dosen sinematografi di ISN mengumumkan kalau ia mau anak-anaknya nonton film yang bermutu. Karena ketika itu, perfilman Indonesia sedang dilanda keprihatinan dengan maraknya sinetron tidak baik. Dan tanpa sadar, Lynn teringat film-film masa kecilnya. Sedikit terinsipirasi dari beberapa tokoh dongeng dan salah satunya, ia alami sendiri ketika menonton salah satu acara di stasiun TV.
Di acara itu ada seorang anak yang tidak memiliki pendidikan baik, dan ingin sekali kuliah di perkotaan tapi tidak memiliki biaya. Jadi, saat itu Lyn langsung memutuskan untuk membuat cerita anak itu, hingga tanpa sadar mendoakan impian anak itu terwujud ketika membuatkan akhir masa depan bocah kampung itu.
Terdengar Feifei mendesah, gadis itu melirik ke arah Lynn. "Lynn, tema sederhana ya?"
Lynn tersenyum, mengangguk. Feifei kembali menonton, begitu juga Lynn. Di dalam video itu, sudah berjalan tiga menit. Sudah sampai dibagian seorang anak kecil bernama Ujang tinggal di Mereuke ingin sekali menempuh pendidikan yang lebih baik ke Papua kota. Tapi perjuangannya di mulai ketika orangtuanya melarangnya merantau. Mereka berpikir lebih baik membantu orangtuanya membuatkan Sagu Sei (makanan khas Mereuke) dari pada belajar yang rajin. Karena menurut orangtuanya, belajar itu hanya menuntut kebenaran. Pemerintah bahkan tidak membantu orang miskin seperti mereka. Tapi Ujang tidak menyerah begitu saja. Walau bapak dan ibunya hanya berjualan makanan itu setiap hari, Ujang selalu berpikir keras untuk menempuh pendidikannya lebih jauh. Ia ingin seluruh dunia tahu kalau orang pemimpi besar sepertinya bisa memiliki kesempatan jauh dari beruntung.
Malam-malam, Ujang berlari ke pondok terpencil guru sekolahnya. Ujang kenal dengan guru itu karena nilai Ujang sangat baik di sekolah, dan guru itu sangat segan terhadapnya. Jadi, dengan tinggi hati, Ujang yakin guru itu mau membantunya sekolah di Papua Kota yang jauh dari rumah. Tapi betapa mengejutkan ketika yang Ujang dapati juga sama. Sebuah kata-kata penjatuh semangat. Kata guru itu, dunia perkotaan sangat kejam. Berbeda tidak seperti di desa damai mereka. Banyak orang berkepala dingin, tidak mau kalah, dan orang baik seperti Ujang akan ditindas dan diinjak-injak. Sama seperti presiden. Jika presiden itu tidak mau menjalin tindak korupsi bersama oknum-oknum, mereka akan menindas presiden itu karena presiden itu terlalu baik dan bodoh. Tidak mengerti permainan politik yang sebenarnya. Dari sana, Ujang tidak tahu kenapa seluruh orang menjatuhkan tekadnya. Lalu, tanpa disadari Ujang menangis dan berlari pergi ke danau dekat pondoknya.
Menatap danau itu membuat hati Ujang selalu damai. Ia sesenggukkan. Ingin marah kepada dunia kenapa perjalanan hidupnya sebagai orang pedalaman sangat sulit. Bahkan, kalau diingat seluruh temannya membual, mengolok Ujang kalau tinggal di perkotaan itu sebuah penghinaan karena telah mengkhianati desanya. Tapi maksud Ujang bukan itu. Ujang ingin belajar lebih baik supaya apa yang masyarakat Mereuke tidak kesusahan mendapat perhatian dari pemerintah. Ia ingin menjadi salah satu tokoh berpengaruh seperti salah satu pahlawan favoritnya selama ini. Soekarno. Ia ingin menjadi Soekarno untuk desanya. Ia ingin menjadi Soekarno yang orang-orang impikan.
Lynn meluaskan pandangan ke seluruh kelas, ia agak terperenyak melihat sebagian mahasiswi matanya mulai berkaca-kaca. Di bagian itu, Lynn memang sangat sempurna meletakkan sound dan segala sudut pandang kamera hingga lebih berdramatisir. Tapi, ini cuma film pendek, Lynn tidak tahu kalau emosi itu bisa menempel dan menjalar masuk mengaduk-aduk perasaan seluruh mahasiswi itu.
Kembali memusatkan perhatiannya, film itu akhirnya tiba di puncak penyelesaian. Karena guru itu mendengar tangisan keras Ujang yang berteriak kenapa seluruh orang tidak percapa padanya. Dunia begitu kejam, karena bahkan sebelum Ujang melangkah ia tidak memiliki pegangan jika ia jatuh utnuk bangkit. Maka itu, guru Ujang jadi seperti terbakar api semangat. Besoknya guru itu menghubungi kantor pusat sekolah di kota Papua. Bertanya apakah semester berikutnya ia bisa memasukkan siswa baru dengan beasiswa. Guru itu ternyata memiliki kesempatan. Besoknya, ia menghampiri pondok Ujang.
Kebetulan Ujang tidak ada di tempat. Ibunya bilang Ujang ada di danau, sedang memancing. Ibunya sempat bertanya kepada guru itu kenapa mencari anaknya. Tapi kemudian guru bilang dia akan menjelaskannya nanti. Lalu ia pergi ke danau dan menemui Ujang yang sedang duduk di tepi danau tenang itu, melemparkan kerikil ke dalam air dengan perasaan tak tentu.
Guru itu memulai percakapan dengan Ujang. Awalnya Ujang menghiraukan guru itu, sebab, Ujang berpikir katanya dunia itu kejam, kenapa sekarang gurunya tiba-tiba mau membantunya? Ujang melepas kepercayaan gurunya, ia terlihat terpukul karena semangatnya sudah dipatahkan beberapa orang bahkan orangtuanya sendiri. Tapi gurunya bilang, itulah kekejaman hidup. Mereka tidak tahu sekuat apa semangat yang bisa dipatahkan. Maka itu, Ujang harus memiliki dobel tekat, sehingga ketika ia sudah jatuh, ia bisa bangkit lagi. Lalu bagian yang menyentuh dan membuat derai air mata meluruh adalah saat guru itu berkata, "aku akan menjadi tongkat untukmu berdiri lagi, Ujang. Kau boleh memegang kata-kataku sekarang. Berjuanglah, anakku."
Suasana kelas yang tenang seketika mulai terdengar sengguk-sengguk samar. Lynn tak sanggup untuk menonton bagian itu karena ia sendiri juga tersentuh. Dia harus berterima kasih dengan bantuan skrip skenario itu, kata-kata indah itu jadi sangat menyentuh ketika dipadukan dengan ekspresi dan seluruh emosi yang tumpah dalam jiwa masing-masing tokoh.
Setelah sampai di ujung film, seperti akhir yang bisa ditebak, Ujang berhasil sekolah di luar kota, bahkan kehidupannya berlanjut jadi orang penting dalam kepolitikan Indonesia. Hanya saja Ujang sempat dipenjara. Dan ketika ia jatuh, ia selalu ingat desa kecil di Mereuke itu. Kata-kata gurunya--yang sudah meninggal--selalu diingatnya. Ia bisa menggunakan banyak tongkat untuk mendobelkan tekat. Ia tidak akan kehilangan kesempatan selama semangat itu selalu ada dalam diri Ujang. Jadi, ketika itu berakhir, Ujang tidak akan pernah menyerah walau sudah di dalam penjara akibat tidak mau diajak korupsi oleh oknum itu. Melainkan, ia akan menuntun semua orang ke dalam kebaikan. Seperti yang guru itu bilang.
Film selesai. Tepuk tangan tumpah ruah mengisi kelas. Zhao laoshi kembali menyalakan lampu. Seluruh mahasiswi buru-buru menyeka air mata, dan kembali fokus. Sedangkan Lynn hanya tersenyum memandang Zhao laoshi di depan kelas.
"Sebenarnya konflik film ini sangat sederhana. Tapi, kalian lihat, di konflik sederhana itu ada banyak pesan yang bisa diambil dari sana. Dan Lynn mengolahnya sangat sempurna. Hebat-hebat," puji Zhao tak habis-habisnya. Seluruh kelas bertepuk tangan lagi. Dari sebelah Lynn, Feifei menyenggol pundaknya main-main. Lynn hanya tertawa sipu, lalu berdiri di tempatnya sambil membungkuk mengucapkan terima kasih karena filmnya sudah diputar dikelas ini.
"Sebuah karya yang bagus, harus disebar luas. Bukan begitu, Brandon?" Zhao melempar senyum ke arah Brandon yang terbangun dari lamunannya.
Lynn menoleh ke belakang, Brandon meliriknya sekali, lalu beralih ke Zhao laoshi di depan kelas. "Benar, laoshi."
"Lynn, mungkin kau bisa belajar mengerti dunia juga dari artis cilik kita ini," sahut Zhao kepada Lynn tapi menunjuk Brandon. Lynn melemparkan pandangan terperangarah ke arah pemuda yang tersenyum singkat itu lalu mengangguk, mengiyakan perkataan Zhao laoshi.
Selesai bercengkrama, Zhao laoshi kembali pada pelajarannya. Sudah disebutkan nama dua sutradara yang akan di pilih memimpin tugas itu. Yan Zi Wei dan Federica Lynn. Satu kelas dibagi jadi dua kelompok. Karena kebetulan juga kelas tidak begitu banyak mahasiswa, jadi perhituangan untuk kru seharusnya cukup.
"Ingat, ya. Skenario harus diserahkan lusa. Supaya kalian bisa memilih kru di kelas berikutnya. Oke?"
"Oke laoshi," jawab seluruh kelas kompak.
"Khusus Lynn, karena aku takut kau kesulitan bahasa, aku akan mengutus Luo Yi, untuk jadi co sutradara resmimu, oke?"
Lynn melirik Luo Yi yang menoleh ke arahnya dari depan kelas. Pemuda yang duduk di kursi depan itu tersenyum, memperlihat gigi ratanya. Lynn mengangguk, lalu menyahuti Zhao laoshi. Setelah itu kelas berakhir.
Tapi, sepanjang suasana film tadi, tidak ada yang memperhatikan Zi Wei dari tempat duduknya yang mengepalkan tangan, merasa sangat kesal pada simbahan pujian kepada Lynn.
Gadis itu tidak akan menerimanya lagi.
Sudah cukup untuk hari ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro