Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Tujuh Belas

Seharusnya Ibra mencium gelagat mencurigakan Rin saat mendatangi apartemen untuk menginap. Dia harusnya paham kenapa gadis itu terlihat cemas dan ketakutan. Bukankah selama ini dia menjadi yang pertama? Melindungi sahabatnya sepenuh jiwa.

Kini Ibra sedikit menyesal ketika menyaksikan Ibnu yang menghajar Kim tanpa ampun, dan juga semakin tertinggal jauh begitu melihat Rin lebih memilih pergi bersama laki-laki itu.

Bukan bersamanya!

.

"Rumahnya berantakan," ucap Ibnu sambil membawa nampan berisi semangkuk air dingin dan handuk. Rin tersenyum canggung, ketahuan menilai perabot Tuan Rumah dan terkesan tidak sopan.

"Kakak tinggal sendirian?" Rin bertanya karena tidak menemukan siapa pun. Dia mengenal Ibnu dan keluarganya dengan baik, apalagi sekelas anak kesayangan Umi, tidakkah aneh mendapati rumah yang sepi juga berantakan?

Ruang tamu memang lumayan rapi, tapi di ruang tengah yang merangkap ruang makan terlihat sangat acak-acakan. Ada piring menumpuk di meja, juga gelas bekas minum yang digeletakkan asal. Mungkin Ibnu buru-buru berangkat sampai tak sempat membereskan.

Ibnu tersenyum, tidak menjawab. Dia menepuk sofa di sebelahnya yang kosong agar Rin segera duduk dan dirinya bisa mengompres lebam biru di kening gadis itu.

Memar tersebut cukup mengganggu. Apalagi disebabkan oleh laki-laki yang entah kenapa  mendorong Rin hingga gadis itu terantuk meja. Ibnu tidak akan bertanya siapa dan bagaimana, dia hanya perlu mengobatinya.

"Aku bisa sendiri." Rin menyingkirkan tangan Ibnu yang berusaha menyingkirkan anak rambutnya, juga karena ada debaran asing yang membuatnya menjadi gugup. Dia tidak bisa sedekat ini atau jantungnya akan semakin bermasalah.

"Baiklah. Aku akan beres-beres dulu agar tamuku nyaman dan tidak kabur." Ibnu mengedip dan tersenyum jahil, lantas beranjak dari duduknya, kemudian beralih ke ruang tengah di mana piring dan gelas seolah memanggil-manggil minta dibersihkan.

Sementara Rin merasa tidak enak. Berkat kelancangannya mengelilingi rumah saat ditinggal Ibnu untuk membuatkannya minuman tadi, kini laki-laki dua puluh delapan tahun tersebut sudah sibuk dengan spon dan busa. Namun aneh, Rin justru menikmati pemandangan itu, bahkan dia lupa dengan rasa sakit di keningnya.

Salahkan dua ruangan ini yang tergabung tanpa ada sekat, jadinya dia bisa mengamati punggung Ibnu dengan leluasa.

..

Ibra mondar-mandir di depan ruang bersalin. Bukan. Bukan karena menunggu istrinya yang melahirkan, dia belum menikah, bagaimana bisa punya anak?

Ibra tengah gelisah menunggu Deandra yang berada di dalam---membantu persalinan pasiennya. Sementara keluarga dari pasien tersebut merasa bingung karena laki-laki itu terlihat lebih  cemas ketimbang mereka.

Begitu pintu dibuka, dan seorang perawat akan memberitahu kondisi pasien dan bayi pada keluarganya, Ibra segera menerobos ke dalam---membuat bingung semua orang, termasuk Deandra.

Ibra hanya menuju Deandra, dia tidak peduli pada pasien yang mengernyit pada kedatangan laki-laki asing yang sangat tampan tapi sayang bukan suaminya itu---Ibra menarik Deandra ke sudut ruangan, bertanya tidak sabaran.

"Kamu tahu alamat Ibnu kan?"

Giliran Deandra yang mengernyit bingung. Belum habis keterkejutannya dengan kedatangan sang sahabat, sekarang dia ditodong alamat.

"Maksudmu?"

"Berikan alamat Ibnu padaku, De!"

"Ada apa?"

"Berikan saja!" Ibra semakin tidak sabaran.

"Buat apa?"

"Dea!"

Perlu lima detik bagi Deandra untuk menyadari jika Ibra bukan orang yang bisa menunggu. Maka setelah itu dia meminta seorang perawat agar memberinya pulpen dan kertas.

Ibra kemudian mencubit pipinya gemas dan segera meninggalkan ruangan bersalin dengan gembira. Orang-orang hanya menonton dan ikutan bengong melihat sikap dan kelakuan sang sahabat.

..

"Ada yang bisa kubantu?" Rin mendekat, dia merasa tidak enak membiarkan Ibnu repot sendiri biarpun dia adalah tuan rumah.

Ibnu menoleh, "kamu duduk saja di sana, nonton teve apa ngapain gitu."

"Aku mau bantuin," Rin bersikeras, tiba-tiba mengambil lap dan membersihkan meja makan.

Ibnu malah menghentikan aktifitasnya dan berganti mengamati Rin yang cekatan mengumpulkan sampah untuk dimasukkan ke plastik hitam.

Merasa diperhatikan, Rin pun menoleh, Ibnu tersenyum, tidak canggung karena ketahuan tengah mengamati secara terang-terangan. Berbanding balik dengan pipi gadis itu yang bersemu merah.

"Ada yang aneh?" Rin bertanya dan melihat ke bagian tubuhnya.

Ibnu menggeleng, "kita pernah dihukum bersama dulu, gara-gara ketahuan ngambil mangga Wak Ali. Kalau ingat seperti tidak percaya dengan penampilanmu hari ini."

Dulu Rin adalah anak yang bebas, meski terlahir perempuan, semua tingkah lakunya tidak mencerminkan sisi feminim sedikit pun. Lebih banyak bermain dengan laki-laki. Mengejar layangan, berenang di sungai, merecoki tanaman di sawah, bahkan ikut-ikutan memanjat pohon yang berbuah lebat dan saat ketahuan akan berlari kencang mencari tempat sembunyi di rumah terdekat.

Hal yang paling membekas adalah saat mereka digiring Wak Ali karena ketahuan mengambil buah mangga tanpa permisi. Pelakunya enam anak, tapi yang tertangkap hanya mereka berdua, dan sebagai putra dari seorang yang terpandang di kampung, mereka dibawa ke pondok pesantren sekaligus rumah Ibnu.

Wak Ali menuntut agar sang ayah yang menghukum kenakalan putranya, entah mau diapain. Ibnu bukannya takut malah nyengir kuda. Abahnya mengelus dada, ini sudah ke sekian kali.

Akhirnya mereka di hukum membersihkan dapur pondok. Segala wajan yang awalnya bersih sengaja diturunkan agar Ibnu tidak cepat selesai. Pantat-pantat panci yang hitam legam dibersihkan hingga bersih-sebersihnya. Para santri tidak boleh ada yang membantu, hingga keduanya jadi tontonan.

Ibnu tak berhenti tertawa hanya dengan membayangkan muka Rin yang cemol terkena abu gosok, padahal tubuhnya lelah setelah membersihkan dapur. Sementara gadis itu memberengut kesal karena begitu sampai rumah mendapat hadiah omelan sang ibu plus bonus tidak boleh main selama seminggu.

.

"Kakak dulu sangat nakal." Rin memecah keheningan mereka, tersenyum simpul. Mau tak mau Ibnu mengiyakan, kenyataan begitu.

"Kamu tidak merasa nakal?" sahut Ibnu telak, mereka tidak ada bedanya dulu. Sama-sama pembuat onar.

Rin manyun, itu dulu. Dia sudah banyak berubah sekarang.

"Aku kangen Ibuk," ucap Rin sedih. Suasana yang tadinya ceria mendadak suram. Setiap kali mengingat masa lalu, Rin juga harus mengingat kejadian menyakitkan itu. Kehilangan orang tua kemudian disusul kepergian Ibnu ke kota untuk meneruskan sekolah. Bagian yang sangat ingin dilupakannya.

Ibnu menunduk. Hal tersebut adalah keputusan yang disesalinya selama ini, meninggalkan gadis itu di saat membutuhkan banyak dukungan. Baik darinya, juga orang-orang di sekitarnya.

Lalu apa yang dilakukannya untuk Rin? Anak itu, gadis yang baru berusia lima belas tahun kehilangan orang tua, kehidupannya berubah drastis, dan dia hanya mengirim boneka sebagai teman?

Ibnu selalu berpikir, seandainya saat itu dia memiliki kuasa, dia akan membawa Rin turut serta ke kota.

"Terima kasih atas bonekanya," ucap Rin yang masih menunduk, dia menahan air mata agar tidak terlihat lemah di depan Ibnu.

"Aku senang Kakak masih memikirkanku. Kata Umi, Kakak tidak bisa datang karena sibuk dengan ujian kelulusan,"  sambung Rin yang kini malah tersenyum, membuat Ibnu semakin bersalah.

"Aku baik-baik saja, cuma kangen Ibuk." Rin mengusap airmatanya. Terlambat untuk menyembunyikan kesedihannya kan?

Ibnu mendekat, dan entah atas dorongan apa, laki-laki itu memeluk Rin, mendekapnya, "kamu bisa berbagi denganku, seperti dulu."

Rin mengangguk dalam dekapan tersebut. Tidak menolak.

Tanpa disadari keduanya, Ibra memperhatikan dari luar. Laki-laki itu berdiri di teras yang kebetulan pintunya terbuka lebar, dia ingin masuk tapi hati kecil menyuruh untuk pergi.

Ibra tersenyum kecut. Dia menuruti kata hati dan meninggalkan rumah tersebut dengan perasaan terluka.

***
Bersambung....

Satu kata, maaf  😊 ada banyak alasan nunda update PeHa, salah satunya karena sakit kepala yang akhir-akhir ini mendera. Mohon dimaafkan,

Terima kasih juga masih setia menunggu PeHa meski slow dalam update-

Salam sayang dari LoopiesFM  yang gaje.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro