Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Sembilan Belas (END)

"Ada pertanyaan?" Ibra menatap peserta rapat, semua menggeleng.

"Baiklah. Aku rasa cukup sekian, jika ada yang perlu didiskusikan, silakan hubungi Jenny," ucap Ibra sambil berkedip pada asistennya tersebut. Wanita dengan potongan rambut sebahu tersebut merengut kesal. Sang Bos terkekeh geli, baginya sudah biasa. Meski terlihat keberatan, semua pekerjaan berakhir memuaskan.

Peserta rapat mulai membubarkan diri, kecuali Jenny dan Ibra.

"Ada dua wanita yang membuat janji dengan Anda hari ini, siapa yang harus didahulukan?" Jenny bertanya seraya membereskan dokumen.

Ibra menyerngit heran. Dua wanita? Ini rekor terbaik setelah lama dia tidak berhubungan dengan mahluk yang selalu merasa benar dan tidak pernah salah tersebut, kecuali rekan bisnis.

"Siapa?"

"Mrs. Caroline dan , " terjadi sedikit jeda karena Jenny tampak berpikir. Dia merasa asing dengan nama ke dua,"---Rin  Ai."

"Pak! Anda mau kemana?" Jenny menjerit ketika mendapati reaksi Ibra yang langsung berlari keluar begitu nama kedua diucapkan. Membuat sang asisten yang dipenuhi tanda tanya.

.

Satu kebahagian hadir lagi setelah sekian tahun. Ibra begitu bersyukur. Akhirnya---akhirnya hari ini tiba juga.

Dia hanya perlu menuju ke tempat gadis itu sekarang. Namun akses ke sana ada kendala. Lift tadi pagi rusak dan masih dalam perbaikan. Sedang jika menggunakan tangga darurat akan membuatnya lelah. Tapi tak apa. Dia ingin memeluk gadis itu.

.

"Aku baru akan turun dan menyeretmu ke sini," ucap gadis itu dengan tangan menyilang ke dada, penuh arogansi dan ejekan.

Ibra tersenyum meski nafasnya putus-putus. Sialan tangga darurat tadi. Berapa ratus anak tangga yang dipijaknya? Untuk ukuran orang sepertinya yang akhir-akhir ini malas berolahraga, menuju tempat paling atas gedung tiga puluh lima lantai adalah pekerjaan yang begitu melelahkan.

Ibra akhirnya berdiri tegak, meniru gerakan gadis yang berjarak beberapa langkah darinya. Tersenyum bahagia.

"Tidak mau memelukku?"

Tanpa menunggu lama Ibra segera menghambur, mengangkatnya hingga gadis itu menjerit takut.

"Ibra, turunkan aku!" ucapnya sembari memukul pundak

"I miss you." Ibra menurunkannya namun belum mau melepas pelukan.

"Miss you too," sahut gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Ini yang diharapkannya. Sambutan penuh cinta dari seseorang yang disayangi. Bukan tatapan benci dan permusuhan.

.

Rin, gadis dengan tinggi seratus enam puluh lima itu berkeliling apartemen. Dia merindukan tempat ini, begitu juga pemiliknya yang kini tengah membuat jus jambu biji pesanannya.

Sesekali ditelitinya sudut-sudut ruangan, berharap menemukan sampah atau baju kotor. Kamar laki-laki biasanya berantakan  tapi ini rapi dan bersih.

"Aku memanggil tukang bersih-bersih setiap hari kalau ingin tahu kenapa bisa serapi ini," ucap Ibra sembari menyerahkan gelas jus

Bibir tipisnya tertarik ke atas, ternyata Ibra mendengarkan sarannya dulu.

"Kamu bilang aku harus hidup sehat dengan cara tinggal di lingkungan yang bersih agar pikiran ikut bersih," terang Ibra tanpa jeda.

Rin takjub, laki-laki di depannya itu berubah cerewet---melebihinya.

"Pekerjaanmu?" Rin bertanya karena tadi seenaknya Ibra melenggang pergi meninggalkan seorang wanita yang menekuk muka.

"Aku bos di sana, bebas melakukan apa saja."

"Itu namanya tidak bertanggung-jawab," ucap Rin seraya memukul pundak Ibra

"Ya ampun, sudah berapa kali pundakku kamu tepuk?" ringisnya kemudian mengelus bagian yang dipukul Rin

"Mo lagi?" Rin bersiap mengangkat tangan. Keduanya duduk di sofa panjang yang menghadap pemandangan kota Jakarta.

"Ampun," ucap Ibra pura-pura beringsut sambil menahan tawa. Baginya, pukulan Rin tidak berasa. Hanya saja, dia menyukai kedekatan ini. Sudah sangat lama sejak gadis itu memutuskan meninggalkan negara kelahiran oleh satu hal.

"Gimana di sana, betah?" Ibra beranjak, mengambil minuman.

"Kalo nggak betah nggak sampai dua tahun," jawab Rin seraya tersenyum.

"Bukan karena Ibnu?" Ibra bersiap menghindar, takut kalau kembali dipukuli.

"Dia sibuk belajar." Rin tidak menjawab, justru menyelipkan satu curhatan.

"Ceileh, tapi dia tetep perhatian kan?"

"Bukunya aja yang diperhatiin, aku enggak."

Tawa Ibra meledak, sejak kapan Rin sesensitif ini? Dulu saja dia begitu mandiri. Apa-apa dikerjakan sendiri. Boro-boro meminta bantuan, orang suka rela tetap ditolak.

"Trus ke mana dia, nggak ikut pulang?" Ibra baru sadar jika dari tadi Rin tak menyebut nama suaminya.

Ya, akhirnya mereka menikah. Semua serba dadakan karena waktu keberangkatan gadis itu sudah ditentukan sementara Ibnu masih harus meyakinkan keluarganya jika Rin adalah pilihan terbaik sebagai pendamping.

Untunglah, satu minggu sebelum keberangkatan kedua belah keluarga menyetujui. Pernikahannya sederhana, hanya dihadiri orang-orang terdekat. Namun tidak mengurangi kebahagiaan masing-masing.

Putusan yang sulit mengingat Ibnu adalah putra yang diharapkan keluarga untuk melanjutkan kepimimpinan. Namun laki-laki itu memilih melepas. Tidak ingin kehilangan Rin sekali lagi.

"Sampai kutinggal ke bandara orangnya masih sibuk di rumah sakit." Rin terlihat biasa, tapi hatinya tidak.

Ibra mampu membaca itu, tapi dia mencoba tak melihat.

"Mau bertemu yang lain?" Dan serta-merta Rin menyambutnya riang.

...

Cheers!

Ibra, Deandra, Majendra, Alfa, dan Nugie mengangkat gelas tinggi-tinggi. Sementara Rin tidak, dia memikirkan Ibnu, suaminya yang belum ada kabar.

"Gimana di sana?" Deandra menghampiri Rin.

"Lumayan," jawab Rin singkat.

"Dokter Ibnu?"

"Jangan menyebutnya, aku sedang kesal." Rin menelungkupkan diri ke meja. Lelah. Sebenarnya sejak turun dari pesawat dia belum istirahat, ditambah mood-nya naik turun tak terkendali.

Deandra menoleh ke Ibra, mencari tahu. Namun yang dituju enggan memberi jawaban, malah asik makan.

"Kamu tak berencana kembali kan?" Pertanyaan tersebut sontak membuat semua yang ada di meja menoleh pada Majendra.

"Aku salah bicara?" Majendra beringsut mundur, kembali meminum minumannya.

Tepat saat itu muncul Ibnu seraya berisyarat tutup mulut. Jangan memberitahu perempuan yang enggan mengangkat kepala tersebut---dia ingin membuat kejutan.

Deandra menahan senyum dan teman-temannya yang lain menggeser tubuh untuk memberi ruang pada Ibnu agar duduk di sebelah Rin.

"Dia hanya mementingkan rumah sakit dan rumah sakit. Di dunianya hanya ada rumah sakit. Entah aku ini dianggap apa?" Rin masih belum mengangkat kepala, belum sadar jika ada Ibnu di sampingnya. Mendengar pengakuan itu.

"Belum lagi kalo profesornya telpon, buru-buru menyanggupi. Coba aku yang minta, tiga hari baru dituruti."

Deandra tak bisa lagi menahan tawa.

"Kamu nggak percaya, coba aja nikah sama Nugie. Pas belum dapat aja usahanya maksimal, begitu dapat? Cih, dianggurin."

"Kenapa bawa-bawa aku?" Nugie tidak terima. Deandra memintanya mengalah. Dia tahu apa yang dialami Rin, bisa ditebaknya dari pembawaan perempuan itu yang tak seperti biasanya.

Sementara itu Ibnu masih tak terpengaruh. Dibiarkannya sang istri meracau, meluapkan isi hati. Jarang-jarang melihatnya begitu lepas. Andai Rin tahu yang sebenarnya.

Ibnu memberi sang istri elusan sayang, Rin bergidik ngeri merasakannya. Siapa yang berani menyentuhnya? Baru akan memukul pelaku, teman-temannya tertawa, begitu juga sang empu.

"Sejak kapan di sini?" tanya Rin panik.

"Sejak kamu bilang aku hanya mementingkan rumah sakit," jawab Ibnu apa adanya.

Tetapi Rin tak merasa bersalah, dia malah menantang sang suami dengan dagu terangkat. Ibnu jadi gemas. Namun dia tak mungkin menunjukkannya di sini. Teman-temannya ikut menyimak pertikaian mereka.

"Pulang yuk, aku kangen." Ibnu berbisik di telinga Rin, membuatnya bengong.

"Aku masih ingin di sini." Rin berusaha jual mahal meski sebenarnya sudah ingin tidur.

"Jangan berbisik, ada aku di sini." Ibra tidak sengaja mendengarnya. Lagi pula mau pulang ke mana? Dua tahun di Jepang, apa yang tersisa di Jakarta jika semuanya sudah jadi bekal hidup di sana.

Ibnu berdecak, lupa di sebelahnya ada Ibra.

"Mana kuncimu! Malam ini menginaplah di tempatnya Majendra." Ibnu beranjak, mengajak sang istri pergi dari kafe ini. Kasihan, sudah terlihat lelah.

Ibra tidak percaya apa yang didengarnya. Dipalak kunci mobil, ditambah diusir dari apartemen? Benar-benar teman durhaka.

"Kamu tidak lihat, Rin sudah lelah. Mana kuncinya!"

"Ya ampun, nih!" Ibra menyerahkannya dengan terpaksa. Disambut tawa yang lain.

...

Rin dan Ibnu berjalan perlahan menuju parkiran.

"Kamu tahu aku di sini?" Rin menggenggam tangan suaminya dengan mesra.

"Ibra yang memberitahu," jawab Ibnu jujur.

"Anak itu menyalahi aturan. Dia menggunakan hape." Rin berdecak kesal. Harusnya dapat kesempatan memberi hukuman.

"Kita mengusirnya dari apartemen," sahut Ibnu, disambut tawa Rin.

"Benar, kita mengusirnya." Rin memeluk Ibnu dengan tangannya yang bebas.

"Aku mencintaimu," sambungnya sambil menyondongkan tubuh, memperpendek jarak.

"Aku juga." Ibnu menyambutnya dengan riang. Dia merindukan istrinya yang beberapa hari terakhir sering uring-uringan, menciptakan masalah demi menarik perhatiannya.

Apakah ini akhir? Tidak. Perjalanan keduanya belum selesai. Masih panjang membentang.

END.

Hallo ... setelah sekian bulan digantung, akhirnya ini yang bisa aku berikan untuk ending cerita ini 😄

Gimana? Bagus kan? Bagus pastinya.

Oke, lega bisa menyelesaikan ini. Jadi bisa tenang menulis yang lain.

Aku sayang kalian. Semoga beruntung.

Jangan lupa vote dan dukung.
Salam, Loopies08.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro