Bagian Satu
Jika kau berbicara tentang luka, satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan hanya menyembuhkan. Bukan menangisi, seperti bayi yang ditinggal ibunya.
.
Sebuah kecupan mendarat di pipinya ketika Rin tengah berkutat dengan laptop biru tua, hasil kerja keras dari otak cantiknya sebagai Gost Writer. Lumayan, sejak kuliah dan atas saran salah seorang teman, ia mencoba peruntungan mengirim tulisan ke berbagai media. Satu sampai tiga bulan tidak ada kabar, namun bukan Rin kalau dirinya sampai menyerah. Di bulan ke enam perjuangan, seseorang menghubungi, bukan untuk pemuatan tulisan, melainkan pekerjaan lain yang masih berhubungan dengan tulisan. Yakni sebagai penulis bayangan. Dan dikarenakan biaya hidup di kota mahal, apalagi dia juga butuh, tawaran tersebut diterima.
Jalannya sebagai Ghost Writer terbilang lancar, beberapa orang dengan cepat mengetahui serta memberikan pekerjaan. Hingga tak disangka setelah lima tahun ia bisa membiayai perbaikan rumahnya di desa.
Tanpa menoleh dia tahu siapa pelaku utama. Ibra, siapa lagi. Kini pemuda tersebut ikut melihat karya tulisannya.
"Begini saja?" Ibra berdecak kesal. Tadi dirinya mengira akan disambut suka-cita selayaknya orang yang saling merindukan karena tidak bertemu lama. Tapi apa? Rin biasa saja. Menyiapkan sarapan untuk mereka berdua kemudian setelahnya kembali ke kamar, menghadap jendela kaca, mengetik huruf---mengabaikannya.
"Jangan merajuk seperti anak kecil, kamu tidak lihat aku sedang menulis?" tahu apa yang dipikirkan Ibra, Rin memilih tetap fokus pada naskah yang digarapnya. Nanti malam harus sudah mengirimkan ke teman sesama penulis.
"Menulis? Itu mengetik," gumamnya tidak jelas. Rin tersenyum. Ke duanya masih tidak merubah posisi, Ibra berada tepat di belakang dengan pipi yang nyaris menempel, jadi mudah untuk mengetahui ekspresi masing-masing. Apalagi sekarang laki-laki dua puluh empat itu manyun. Seperti perempuan saja.
"Untuk apa kamu bekerja keras seperti ini? Ada aku, tinggal tunjuk. Kamu mau apa, rumah, mobil, penghasilan tetap tanpa harus susah payah, bisa."
Ibra beranjak, melihat-lihat sudut kamar 2×3 meter tersebut sembari sesekali memandang heran ke perkakas yang serba minimalis. Kolong tempat tidurnya bahkan berupa lemari sorong, rak buku tergantung pada dinding-dinding, juga sebuah meja kerja yang di atasnya hanya ada laptop, dia ingat ketika membeli barang itu kemudian berebut bayar. Ingatkan dirinya jika sifat keras kepala masih tertanam dalam diri Rin, mungkin selamanya.
Ya Tuhan, semiskinkah inikah Rin?
Rin memutar kursi, mengikuti arah pandang Ibra. Tersenyum simpul, dia sama sekali tidak sakit hati atas ucapan Ibra tadi.
"Lalu menjadi parasit seumur hidup?"
Ibra mematung.
"Aku tahu maksudmu baik, dan terima kasih selalu memikirkanku," Rin ikut beranjak dari tempat duduknya, mendekati Ibra yang mematung karena rasa bersalah.
Ke duanya diam. Cukup lama sampai Rin tersenyum lebih dulu, "ayo keluar!"
"Kemana?"
"Jalan-jalan. Kamu masuk ke sini ingin mengajakku keluar kan?"
"Iya," jawabnya sembari tersenyum canggung. Terkadang dia sulit membedakan sikap Rin antara saat marah, kesal, atau biasa saja. Senyumnya selalu sama.
"Ayo!" Rin menggandeng Ibra keluar kamar. Meski masih merasa aneh dengan perubahan Rin, dia menurut saja.
.
Dua anak manusia, berjalan beriringan, satu sama lain tidak sungkan menunjukkan kedekatan. Kadang Ibra yang tiba-tiba jail memencet hidung mini Rin, kemudian empunya tidak terima---balas memukul kepala, hingga terjadi kejar-kejaran, membuat beberapa orang di taman menoleh. Iri. Mungkin itu yang ada di pikiran perempuan-perempuan yang kekasihnya tidak romantis, lantas menyenggol dengan sengaja, memberi kode, seperti itulah seharusnya sepasang kekasih.
Namun sayang, kenyataan bukan seperti itu. Rin bisa menjadi anak kecil, perempuan manja, yang jauh dari kesan kaku saat bersama Ibra saja. Itu pun di waktu tertentu, hanya ketika dia merasa lelah dengan tuntutan hidup. Dan Ibra akan selalu tahu harus bagaimana untuk menghibur.
"Mo es krim?" Ibra bertanya begitu melihat penjaja ice cream di dekat mereka, pikirnya Rin akan suka. Dan benar saja, perempuan tersebut menyambar tawaran dengan mengangguk antusias.
"Kamu di sini, aku ke sana. Mau rasa apa?"
"Cokelat," jawab Rin.
"Oke."
"Dua," sambung Rin sebelum Ibra jauh, dia sedang ingin makan yang manis-manis dalam jumlah banyak.
Rin mencari-cari tempat duduk yang sekiranya nyaman dan jauh dari orang. Dirinya kurang nyaman di area terbuka, terlalu ramai, juga biasanya akan menjadi pusat perhatian. Padahal dia merasa biasa saja, tidak mencolok, apalagi terlihat berbeda.
Ketemu.
Segera Rin menuju sebuah kursi kosong yang di sebelahnya berdiri pohon besar. Terlihat rindang dan nyaman. Namun saat akan mendekat, dari arah lain seorang perempuan yang terlihat kacau sudah lebih dulu duduk. Di tangannya menggenggam kertas kecil, entah apa, namun yang pasti di sanalah sumber masalah. Rin bisa menebaknya.
"Kau mau duduk juga?" Perempuan itu bertanya karena Rin terlihat ragu untuk mendekat.
Tersenyum, "ya. Tapi kupikir tidak jadi, aku akan cari kursi kosong lainnya."
"Tidak apa-apa, kita bisa berbagi. Di sini masih muat," orang itu menepuk bagian di sebelahnya. Benar kosong. Namun rasanya tidak baik, dia seperti sedang menahan sesuatu untuk dikeluarkan. Jadi baiknya Rin mencari tempat lain agar dia leluasa menangis.
"Tidak, terima kasih. Kami akan cari tempat lain."
Itu bukan Rin, melainkan Ibra yang muncul membawa tiga cup ice cream. Rin mengiyakan, tampaknya Ibra tahu sesuatu yang ada di pikirannya.
"Untukmu." Rin menyodorkan satu cup es creamnya pada perempuan itu yang kini merasa heran.
Meski begitu, perempuan tersebut menerimanya serta mengucapkan terima kasih. Terlihat Ibra akan protes, namun dengan segera ditarik menjauh oleh Rin.
Bella. Nama perempuan yang begitu iri dengan pemandangan di depannya. Laki-laki yang dicintainya ternyata sudah memiliki kekasih, dingin, sangat berbeda dengan laki-laki yang baru saja datang untuk menjemput seseorang yang akan duduk di sebelah.
.
Lain dengan Rin yang menyambut biasa saja kepulangan Ibra, teman-teman yang tergabung dalam The Lion's sepakat mengadakan pesta di salah satu atap gedung.
Tidak banyak orang, hanya mereka dan pasangan masing-masing, itu pun jika punya. Seperti Rendra yang datang sendiri, Nugie bersama teman barunya. Asal tahu saja, The Lion's terdiri dari lima anak laki-laki sebelum Rin masuk dan diketuai oleh Ibra. Sekumpulan anak yang kurang perhatian orang tua hingga melakukan tindakan-tindakan di luar batas. Bolos sekolah, balapan, bertengkar, hingga berkubang dalam dunia malam.
Saat Rin bergabung, sedikit demi sedikit mereka berbenah. Tidak lagi bertengkar antar sekolah pada awalnya, kemudian bersedia untuk belajar agar dapat masuk universitas pilihan. Dan ya, harus diakui bahwa satu-satunya perempuan dalam geng mereka membawa perubahan yang baik. Lihatlah Alfa yang sekarang telah menjadi seorang manager pemasaran di perusahaan ayahnya. Membanggakan banyak orang.
Lalu Rendra, usahawan muda yang mengembangkan bisnis kuliner setelah memilih keluar dari kampus karena merasa itu bukan impiannya. Bersama Nugie dengan dibantu pemodal utama orang tua Alfa---mereka berdua bahu membahu saling tolong selayaknya saudara. Setelah empat tahun kini usahanya telah berdiri di mana-mana, gerai kebab.
Terakhir adalah Tanaka, satu-satunya warga asing yang kebetulan bergabung karena orang tuanya berteman baik dengan orang tua Ibra, maka oleh sesama orang tua menginginkan agar Ibra membantu keperluannya selama di Indonesia. Mau tak mau Ibra mengabulkan karena takut dengan ancaman pemotongan uang jajan.
Ironis. Ibra yang terkenal angkuh dan sok berkuasa kalah dengan ancaman sang ibu.
"Gie, lo ngundang Rin, kan?" Ibra bertanya agak kesal. Merasa dipermainkan jika anggota yang lain belum sepenuhnya menerima.
"Tentu saja." tidak terima, Nugie ikutan kesal. Selalu saja Rin.
"Udah malam ini, dia belum datang." Ibra berubah panik.
"Tenang ja, Pram. Bentar lagi pasti dia datang." Alfa ikut berkomentar.
"Nah loh, panjang umur kan tu anak?"
Semua menoleh. Dan Ibra tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya. Bukan karena penampilan, Rin akan selalu terlihat cantik. Namun dengan seorang laki-laki yang menggandengnya mesra.
Siapa laki-laki yang bisa membuat Rin-nya tersenyum sumringah?
"Hai...."
Tidak ada balasan. Hampir semua diam karena kaget dengan apa yang mereka lihat. Rin tak pernah terdengar menjalin hubungan dengan laki-laki selain mereka.
"Eh, hai...," Nugie yang menjawab duluan.
Rin tersenyum, "aku tidak terlambat kan?"
Menggeleng, Nugie menoleh ke Ibra.
"Aku mengajaknya. Kenalkan, ini Kim. Tunanganku."
Bagai ada petir, ke tiga laki-laki tersebut mematung tak percaya. Namun itulah kenyataannya. Rin sekali lagi tersenyum, dan kali ini berkedip ke arah Ibra seolah mengisyaratkan, 'kami cocok kan?' sedang empunya mengangguk tanpa daya.
Rin-nya akan menjadi milik orang lain.
***
Bersambung...,
Curhat penulis; begini, aku tidak punya harapan muluk untuk tulisan ini, hanya, semoga banyak yang baca dan aku bisa menyelesaikannya. Hahaha, sebagian pasti mengenalku, kadang tulisan terhenti di tengah jalan, kadang berakhir sedih, atau malah dilenyapkan.
Maka dari itu, bantu aku untuk tetap semangat menyelesaikannya. Ini tulisan lama yang berkali-kali dirombak karena kurang nyaman. Dan semoga kali ini cocok dengan jalan pikiranku.
Semoga,
Salam LoopiesFM yang agak gaje
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro