Bagian Lima Belas
Ibnu turun dari sedannya ketika mobil lain menghadang di depan. Adalah Ibra yang saat itu juga menyusul setelah memastikan Rin sudah masuk ke rumah.
Kebetulan Ibnu belum jauh dari rumah Deandra.
Dengan sikap angkuhnya, dagu terangkat serta tatapan tajam, Ibra menilai dari penampilannya, apa yang ditumpangi . Namun respon Ibnu justru bersahabat, dia mengulurkan tangan, mengajak jabat tangan.
"Kita pernah bertemu di rumah sakit, temannya Deandra." karena tak kunjung mendapat sambutan, Ibnu menurunkan tangannya.
Ibra tampak berpikir. Ingatannya memang payah.
"Kau juga yang waktu itu menjemput Rin di kampung." sambung Ibnu, namun kali ini dengan tatapan benci. Itu adalah saat dimana dia gagal menyatakan keinginannya untuk bersama dengan perempuan tersebut.
"Ini peringatan pertama dan terakhir kali, jauhi Rin!" Ibra menepuk pundak Ibnu, dia tidak mau seseorang mendekati sahabat-nya jika hanya disakiti.
Mereka saling memberi peringatan melalui mata, mengimitidasi satu sama lain. Baik Ibra atau pun Ibnu tidak ada yang mau mengalah.
.
"Sedang apa kalian di sini?" suara familiar itu membuat keduanya menoleh. Deandra yang baru saja keluar dari sisi kiri segera menghampiri Ibra.
"Dokter Ibnu, bagaimana acara hari ini?" Deandra menoleh ke Ibnu, laki-laki itu kembali bersikap ramah.
"Rin hanya minta ditemani ke perpustakaan. Aku baru tahu kalau dia sekarang jadi kutu buku, seharian hanya membaca."
"Kau ini katanya teman lama, tapi soal hobinya saja tidak tahu." guman Ibra, dia tersenyum sinis, merendahkan. Ini yang katanya teman dekat?
"Rin dari dulu juga suka membaca, atau jangan-jangan kamu tidak tahu kalau dia seorang ...," belum menyelesaikan ucapan, Deandra sudah menutup mulutnya. Ibra menoleh kemudian mendelik kesal, apa-apaan ini?
"Seorang apa?" Ibnu menyipit curiga, kedua orang di hadapannya bersikap aneh.
"Kutu buku, iya, Ibra mo bilang kutu buku." Deandra memasang muka ragu-ragu, membuat Ibnu semakin curiga dengan apa yang disembunyikan.
Ibra melotot sebal, tapi mengiyakan pernyataan Deandra. Dari dulu urusan profesi Rin yang sebenarnya selalu dirahasiakan. Tidak ada yang tahu bukan kalau gadis itu adalah novelis yang buku-bukunya selalu best seller, bahkan sampai cetakan ke berapa tetap habis dan masih saja diburu fans lainnya.
Bukankah karena Rin juga dia jadi membaca novel picisan yang hanya berputar di percintaan sepasang anak manusia? Ibra bahkan rela membeli novel-novel tersebut untuk dikirim ke sekolah-sekolah, menyuruh pegawainya merekomendasikan ke orang-orang, dia bekerja keras agar Rin bersedia kembali ke Jakarta meski alasannya demi novel---bukan dirinya.
Gadis itu melarikan diri dari kegagalan hubungannya bersama Kim dengan menulis. Dia juga memakai nama samaran dan menjadi penulis misterius. Hanya beberapa orang yang tahu.
.
Di sinilah mereka berempat, di rumah Deandra, menyantap makanan masing-masing. Ketiga orang yang datang bersamaan langsung diarahkan Tuan Rumah menuju dapur, memergoki Rin yang tengah memasak.
Maka jadilah mereka makan bersama, dengan Ibra yang melirik Deandra tidak suka karena mengajak Ibnu sekalian. Dia tidak mau masakan dari tangan Rin dinikmati juga oleh pemuda itu.
Ibra kembali melirik Deandra, mengisyaratkan agar mengusir Ibnu dari rumahnya, sudah malam. Gadis itu balas mendelik sebal, kenapa harus dia?
"Kenapa, tidak enak ya?"
Pertanyaan Rin membuat keduanya hampir tersedak. Mereka menoleh ke sumber suara, tersenyum canggung, lantas menggeleng bersamaan.
Ibnu memperhatikannya dalam diam. Melihat bagaimana kedekatan persahabatan mereka, pantas jika Rin tidak pernah pulang. Dia diperlakukan layaknya saudara, saling menyayangi satu sama lain.
Bahkan orang yang baru pertama kali melihat pun pasti akan berpikir sama dengannya.
"Hey, kapan kamu pulang?!"
Ibnu menatap Ibra tidak suka, tanpa diingatkan dia juga tahu batas waktu berkunjung. Lagi pula makanannya belum habis. Lama-lama laki-laki di depannya bertindak seolah kakak dari dua gadis di depannya.
"Jangan pedulikan dia, Kak San, nikmati saja makananmu. Habis ini bantu aku mencuci, ya?"
Ibnu mengangguk seraya tersenyum.
"Aku bisa membantumu mencuci," potong Ibra cepat.
"Biar Dokter Ibnu saja, Pram." dia heran kenapa Ibra bersikukuh tidak suka pada teman Rin, padahal sepanjang mengenal laki-laki itu, Deandra merasa tidak ada yang terlihat buruk dari dokter muda tersebut. Baik malah.
Ibra menatap Deandra sebal.
.
Sepanjang perjalanan, Ibnu terus memikirkan tentang Rin. Benarkah perasaannya? Tanggapan gadis itu pun terlihat biasa, tidak menunjukkan antusiasme seperti masa remaja mereka.
Rin mengubah seluruh kehidupannya, dari anak yang ceria menjadi gadis dewasa tertutup. Atau, itu hanya padanya? Mungkin Ibra benar tentang dia yang tidak tahu apa-apa.
Ibnu tersenyum kecut, dirinya memukul kemudi dengan kesal.
.
"Kenapa tadi kau mengajaknya?" Ibra mengomel sepanjang menuju mobil, diantar Deandra hingga halaman sementara Rin memilih untuk segera tidur. Masuk ke kamar.
"Kau masih membahasnya? Wajar kan kalo aku mengajaknya mampir? Rin menelpon, memberitahu jika tamunya diusir oleh orang asing." terang Deandra yang tidak mau disalahkan.
"O, jadi kalian bersekongkol?" Ibra mendongak ke atas, melihat ke arah balkon rumah Deandra. Di sana Rin melambai dengan ceria, menambah kekesalan pria itu.
"Kalo ya, kenapa?" tantang Deandra sembari bersedekap.
"Damn it!"
"Ibra ... hati-hati di jalan!" Rin berteriak dari lantai dua, sekali lagi melambai, tersenyum.
Ibra mendengkus sebal, lantas meraih ganggang mobil dan menutupnya keras. Berlalu. Deandra menoleh ke arah Rin, mereka berdua tertawa bersama.
.
Esok harinya, ketika matahari belum sempurna menampakkan diri, Rin telah berkutat dengan laptop. Tanaka, sahabatnya yang kemungkinan besar menuju kantor mengirim email.
"Rin, kamu sudah bangun?" Deandra mengucek mata, menguap, kemudian beringsut mendekat, memicingkan mata.
Seperkian detik dia mencoba menerjemahkan email yang dikirim Tanaka karena berbahasa jepang. Hingga, dirinya menoleh, menatap Rin tak percaya.
Sementara yang ditatap bergeming. Dia tidak tahu harus bereaksi apa, jika dulu dirinya akan berjingkrak, bersorak penuh bahagia. Sekarang? Entah kenapa tidak ada sedikit pun uforia di hatinya. Email itu justru terlihat seperti spam.
"Jangan beritahu siapa pun dulu!" Rin beranjak dari duduknya, menuju ranjang lantas menarik selimut. Gadis itu berharap bahwa semua yang didapatnya pagi ini cuma mimpi.
Tiba-tiba dadanya merasa sesak. Dia membutuhkan banyak oksigen.
Sementara Deandra masih menatap layar di depannya tidak percaya.
***
Bersambung....
Hai, masih ada yang nunggu Ibra? Lama banget liburnya, maaf ya **senyum paling imut.
Kemarin ada project menulis, jadi agak tersendat update-nya. Besok-besok semoga semakin rajin, biar cepet rampung dan bisa mulai cerita baru.
O ya, jangan lupa tinggalkan jejak dengan klik gambar bintang di pojok bawah 😉 terima kasih.
Salam dari LoopiesFM
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro