Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian ke Tujuh

Dua hari menunggu kabar seperti dua tahun digantungin tanpa kejelasan status, membuat Rin lebih banyak mengurung diri di kamar sejak kepulangannya. Kim, yang kenapa selalu susah dihubungi dan Ibra yang bilang akan menyusul entah tersesat di mana juga ikut-ikutan tidak mengangkat telephone.

Rin merasa khawatir atas keduanya. Kim dan Ibra.

"Nduk, bisa bantu Budhe?" Budhe-nya memanggil dari lantai bawah, sedikit berteriak. Sebenarnya Rin malas, tapi karena dia menumpang di sini, mau tak mau memaksakan diri keluar kamar. Menyeret tubuhnya yang terasa lebih berat dari biasa.

"Ya, Budhe?" Rin melongok ke bawah, di sana Budhe-nya tengah menata kardus snack kecil-kecil untuk dimasukkan ke kardus yang lebih besar. Rin menebak itu pesanan salah satu pelanggan.

Rin baru tahu jika uang yang selalu dikirimkannya tidak sepenuhnya dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Ternyata sejak tiga tahun lalu Budhe-nya berinisiatif membuka bisnis kecil-kecilan, menerima pesanan untuk hajatan. Hasilnya lumayan, dan karena lingkungan dekat beberapa kantor instalasi dan sekolahan, Budhe Fina melobi orang-orang tersebut menawarkan jasa dan mereka menyambutnya. Apalagi makanan yang dibuat cocok di lidah juga kantong.

"Budhe minta tolong antarkan pesanan ke sekolahnya Abah," tangan Budhe-nya masih memasukkan kardus-kardus kecil itu, belum berhenti sambil berhitung.

"Ndak ada orang lain, Budhe?" memang tidak seharusnya Rin membantah, tapi mengingat tujuan pesanan itu harus diantar membuatnya sedikit keberatan.

"Ndak ada, Sayang. Mbak Narti bantuin Mbak Sumi ke pasar. Sepupumu itu masih di sekolah."

Rin mengangguk lemas. Niat hati seharian berbaring di kasur kini harus dipaksa ke tempat yang tidak ingin dikunjunginya.

"Rin bersiap dulu," jawabnya malas. Budhe-nya di lantai bawah tersenyum simpul karena berhasil membuat keponakannya keluar rumah.

.

Gedung sekolah yang didatangi Rin sekarang amat berbeda dengan bangunan tempatnya dulu menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu.

Lihatlah, dulu bangunan itu hanya satu lantai, kini menjadi tiga. Belum lagi masjid yang kemungkinan merupakan bangunan baru berdiri kokoh di tengah-tengah, kemudian di sekelilingnya merupakan ruang kelas. Sangat berubah hingga Rin kebingungan harus ke mana untuk menyerahkan pesanan yang dibawanya.

"Mbak dari Fina Catering?" Seseorang menegurnya dari arah belakang, membuat Rin hampir terlonjak kaget.

"Eh, iya." jawab Rin gagap

Wanita itu tersenyum, menilik penampilan Rin yang begitu mencolok karena membiarkan rambutnya tergerai bebas, ditambah lagi celana training berwarna biru tua dan kaus putih yang dilapisi jaket warna senada membuatnya benar-benar salah kostum. Sedang lingkungan di sekitarnya merupakan kawasan dimana para perempuan setelah usia baligh menutup mahkota mereka dengan selembar kain atau kerudung instan.

Rin sendiri merasa risih dengan tatapan wanita di hadapannya, seolah-olah ingin mengulitinya hidup-hidup, "aku mengantarkan ini."

"Lurus ke sana sampai mentok dan naik ke tangga, lantai tiga, lurus lagi sebelum pojokan ada ruang kantor."

"Enggak bisa saya titipkan?"

"Eh," wanita itu mengernyit heran. Oke, itu tanda penolakan dan Rin segera mengerti, "terima kasih."

Sepeninggal wanita bermata tajam itu Rin segera menuju tempat yang dimaksud. Dengan membawa beban yang lumayan berat, padahal tadi berharap kemurahan hati tapi mendapat tatapan mencemooh membuatnya urung, dia merasa cukup dilukai. Meski sedikit tertatih dan kesusahan saat naik tangga, namun akhirnya sampai juga.

Rin menaruh kardusnya sebelum mengetuk pintu kemudian dibuka oleh seorang guru laki-laki setengah baya. Tersenyum ramah, setidaknya tidah sesinis wanita tadi, "ada yang bisa dibantu?"

"Dari Fina catering," jawab Rin ramah juga.

"Wah, sudah ditunggu dari tadi. Nyasar ya?" jawab Pak Guru sambil membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan masuk. Dan rupanya benar, di dalam ruangan banyak yang menyambutnya bahkan ada yang menawarkan diri membantu membawa kardus.

"Sani?"

.

Saat perempuan itu masuk, pandangan Ibnu hampir tak lepas darinya. Dari pakaian yang dikenakan, hampir saja dia tertawa lepas. Bagaimana bisa Rin percaya diri memakai kostum olahraga di siang yang terik ini? Tidakkah dia merasa kepanasan?

"Sani," panggil Ibnu hingga membuat orang-orang menoleh. Merasa aneh saat anak pemilik sekolah yang baru kembali dari perantauan mengenal seorang pengantar pesananan.

"Kak Nu?" sahut Rin seraya tersenyum.

.

Mereka berjalan beriringan ke lantai bawah, saling bertanya kegiatan selama dua hari ini. Orang-orang yang melihatnya mulai berbisik tentang kemungkinan-kemungkinan, termasuk sang ayah yang kebetulan melihat keakraban keduanya dari ruangannya di lantai dua.

*

Impian yang sederhana, menikah dengan Rin. Gadis itu mengubah hidupnya yang hancur untuk ditata lebih baik.

Senyum gadis itu membayanginya setiap waktu. Ada sesal, kenapa dia baru dipertemukan setelah menjalani hidup yang buruk? Kenapa tidak dari dulu ketika dia baru mengenal dunia kelam agar dirinya tidak jatuh lebih dalam? Dan kenapa-kenapa lain yang kini membuatnya semakin membenci diri sendiri.

Kim tersungkur di lantai, dia benar-benar kacau sekarang, seperti keadaan kamar yang perkakasnya berantakan. Kursi, meja dan perabot lain menjadi korban amuk perasaannya. Dia merasa hidup tidak adil, Tuhan menghukumnya di saat dia mulai membenahi diri.

Kim bergelung seperti bayi. Menangis.

**

Di tempat lain, gadis yang tidak tahu menjadi pikiran banyak orang, kini tengah menikmati suasana malam di kampung halamannya bersama anak-anak. Bermain permainan tradisional. Dia tidak sulit membaur, meski paling dewasa. Dia tidak malu bertingkah layaknya anak-anak. Tertawa lepas, bersorak, bahkan ikut jingkrak-jingkrak.

'Ular naga panjangnya bukan kepalang, menjalar-jalar selalu riang menari~~~ suara anak-anak mengalahkan keheningan malam, membuat ramai hingga para orang tua pun merasa ikut bergembira. Peraturan permainan ini adalah tidak boleh terputus, harus terhubung satu sama lain. Jadi anak di belakang berpegangan pada baju anak di depannya, begitu seterusnya hingga menyerupai ular. Rin kebagian kepala jadi berdiri paling depan, menghalau pencuri yang ingin mengambil ekornya---anak paling belakang. Terjadilah adegan tarik-menarik dan penghadangan yang juga dilakukan anak-anak bagian tengah, tidak rela kalau ekornya disentuh atau akan kalah.

Beberapa orang dewasa yang secara kebetulan menyaksikan ikut memberi sorak-sorai hingga semakin ramai jalanan. Mereka seolah menjadi bagian dari permainan itu sendiri, ingin bermain tapi malu akan usia.

Rin gagal melindungi ekornya karena anak yang menjadi pencuri ternyata lebih gesit dan bisa menyelinap lewah bawah, jika kepala mudah dilewati maka anak-anak tengah pun kocar-kacir membubarkan diri, kesempatan itu digunakan untuk menangkap dan 'hap' ekor menyerah.

Gagal dan Rin kini berpindah bagian menjadi pencuri. Beberapa anak mundur tidak mau menjadi kepala, minder duluan melihat fisik Rin yang lebih tinggi besar dari mereka.

"Kakak jadi kepala saja," usul salah seorang anak yang diiyakan oleh lainnya.

"Ya nggak bisa gitu, dong. Permainan harus sportif," ucap Rin yang sebenarnya ingin menguji seberapa mereka menjunjung nilai kesportifitasan, tidak bisa pilih-pilih lawan, dan penggunaan strategi.

"Enggak papa. Kakak jadi kepala," anak itu masih ngeyel.

"Kakak mo jadi pencurinya ja," suara Rin dibuat-buat seolah amat menginginkan posisi itu. Dalam hati bersorak gembira.

Dasar curang!

"Enggak papa. Kakak jadi kepala."

"Baiklah kalo it---"

"Kalo aku ikut main jadi apa?" seseorang masuk ke arena permainan. Anak-anak mengerubunginya riang, terlihat akrab dan dekat. Membuat Rin mengerucutkan bibir.

"Kak Nu jadi pencuri," sambar Rin cepat. Dia tidak mau kejadian dulu terulang.

"Tidak bisa gitu. Sesuai rule-nya, kalo gagal jadi kepala ya harus mau jadi pencuri. Iya, kan?" ada sedikit penekanan di akhir kalimat tadi. Rin semakin mengerucutkan bibir. Pertanda buruk baginya.

"Tapi mereka tadi," terhenti. Ibnu mendekat ke arahnya, semakin dekat sampai Rin meringis. Jarak mereka tinggal sejengkal. Laki-laki itu selalu berhasil mengintimidasinya.

Ibnu sedikit menunduk untuk menatap netra cokelat gadis itu, memberinya penekanan jangan karena lebih besar bisa seenaknya memonopoli anak-anak.

"Oke, aku jadi pencuri," cicit Rin. Hal tersebut membuat Ibnu tersenyum dan tak sengaja terlihat oleh gadis itu. Permen kapas. Manis. Ada sesuatu yang menyentuh sisi hatinya, Pelindung-nya kembali.

"Ayo main!" seru Ibnu dan dengan segera anak-anak mengambil bagian masing-masing.

"Hey, Pencuri. Ayo mulai," teriak Ibnu yang melihat Rin mematung.

Rin merengut sebentar namun segera bersiap. Dia berhadapan dengan Ibnu sebagai kepala. Tersenyum, begitu juga sebaliknya. Ketika laki-laki itu mulai merentangkan tangan, Rin terlihat mengecoh. Tapi bukan itu tujuan sebenarnya, dia ingin bermain-main sebentar, menunggu waktu yang tepat untuk melakukan strategi sesungguhnya.

Rin berdiam diri sementara Ibnu bergerak ke sana-sini agar tidak tembus pertahanannya. Anak-anak mengikutinya, orang-orang bersorak menyemangati.

Rin masih diam hingga, "Kak Nu."

"Ya," jawab Ibnu tak berhenti bergerak

Rin tersenyum menggoda dan itu membuat Ibnu sedikit goyah, "apa-apan dia?" batinnya kesal

"Kak Nunu," panggil Rin berulang-ulang sambil mendekat ke arah laki-laki itu, menipiskan jarak hingga hampir menempel kemudian sengaja meniupkan udara hingga mengenai pipi. Ibnu menoleh tak percaya dengan tindakan lawannya. Gadis itu berkedip manja lalu menundukkan kepala, menerobos lewat bawah rentangan tangangnya.

Semua terjadi begitu cepat.

Ibnu melongo, terpedaya. Anak-anak di belakangnya kocar-kacir, berhamburan untuk melindungi seorang anak. Namun Rin lebih tangkas dan berhasil mendapatkan ekor. Tawa Rin terdengar lepas dan penuh suka-cita.

Penonton bersorak sedang Ibnu yang baru sadar dari keterkejutannya mendengus kesal. Dia tertipu dan gagal melindungi ekornya. Rin membawa anak itu berkeliling sambil memeluknya bahagia. Memamerkan kemenangan sambil mencibir lawannya.

Ketika melakukan selebrasi itu, Rin tak sadar jika ada sepasang mata yang terus mengabadikan tawanya. Tawa yang lepas dan tanpa beban. Ibra. Ya, orang tersebut adalah sahabatnya sendiri yang datang jauh-jauh untuk menjemput dirinya.

Rin masih belum menyadari hingga tubuhnya berbalik dan dia menangkap sosok tak asing yang menatapnya juga. Senyumnya mengembang sempurna. Dilepas anak dalam pelukan dan segera berlari menghambur ke laki-laki itu.

"Hey...," sapanya riang.

Ibra tak langsung menjawab, lebih dulu melirik laki-laki yang tadi bermain bersama Rin, "aku seperti melihat kekasihku selingkuh." dia tidak cemburu, hanya ingin memastikan.

Rin tertawa, tidak mengerti maksud ucapan dari Ibra sahabatnya. Lantas mengikuti arah pandangnya. Di sana tampak Ibnu memaksakan senyum padahal hatinya tidak suka melihat kedekatan dua orang di hadapannya.

"O..., dia Kak Nu. Tetangga," Rin memberi tahu. Kedua tangannya menggapai pipi Ibra, menangkupnya agar pandangan laki-laki itu berpindah padanya, "mau kuhajar?"

Ibra meringis. Niat hati ingin mengerdilkan laki-laki tetangganya Rin, dia malah mendapat ancaman, "no!"

"Good boy. Ayo pulang!"

"Kamu nggak main lagi? Aku tungguin di sini deh-------" namun Rin sudah lebih dulu menyeret sahabatnya menuju rumah, dan melambai pada anak-anak temannya bermain.

Ibnu tersenyum masam. Ternyata dia tidak mengetahui apa-apa tentang Sani-nya. Terlalu lama mereka berpisah dan terlalu banyak yang dilewatkannya mengenai gadis itu.

Seseorang menepuk bahunya. Ibnu berbalik dan pura-pura memasang senyum.

***
Bersambung...,
Hey..., malming, Gaes 😄 apa kabar? Tetep sehat? Alhamdulillah.
Mamaknya Yamkuk alhamdulillah juga udah sehat jadi bisa nulis meski agak kemaleman. Hehehe, semoga belum pada tidur. Tapi tetep, Gaes. Siapkan baju-baju hangat ya, mulai lagi nih hujannya. Seneng sih, bunga-bunga bisa main air sepuasnya.

Kalo mo gabung sama Mamaknya Yamkuk, boleh banget. Kunjungi ja akun Farin Muis ya, di sana bisa gaje-gajean ria.

Oke, selamat membaca.
LoopiesFM

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro